Page 8

516 50 0
                                    

Sorry lama gak up... ada kegiatan kemah authornya 😄

Sekaligus minta koreksinya...karena ini langsung upp 😄

################################

Dua buah mobil Toyota Fortuner telah memasuki wilayah perumahan yang lumayan besar, terdapat enam jiwa di dalam kendaraan itu. Jiwa-jiwa yang kebingungan, mereka tidak yakin kalau si detektif pembersih tinggal di tempat seperti itu.

Sepertinya Fortuner adalah mobil pilihan para detektif itu, mobil yang memiliki 2.7 ribu cc itu memang handal di segala medan. Tak diragukan lagi kalau seorang detektif harus memiliki kendaraan yang bisa menembus segala medan.

Pagi itu suasana langit sedikit mendung, akibat dari hujan deras yang mengguyur tadi malam, hujan yang berlangsung terus-menerus membuat banyak kubangan di jalan. Nyarak kabut yang jarang menghilangkan keberadaan sang surya pada pagi itu, warnanya yang menegas oranye laksana api yang menyala.

Dua kendaraan itu baru terparkir rapi di sebuah rumah yang cukup besar. Rumah bergaya klasik dengan warna putih terlihat sangat mewah bagi siapapun yang pertama melihatnya. Rumah bertingkat dua yang di GPS tertanda ‘detektif pembersih’ memang sangat tidak masuk akal.

Setelah mereka turun dan melihat pintu masuk rumahnya barulah mereka percaya kalau itu kediaman seorang detektif. Pintu depannya palsu alias gambaran yang sebenarnya semen dicat putih. Tidak ada bell ataupun penanda bila ada seorang yang ingin bertemu.

“Jadi ini sejenis teka-teki dari si pembersih?” Tanya Rusnade sembari mengelus-elus dinding mulus itu.

“Rumah yang mencolok memang berbahaya, tapi kalau pengamanannya seperti ini. Tidak diragukan lagi, dia tinggal disini.” Jawab Didi, tangannya yang sedang dilipat menandakan kalau dia sedang berfikir.

Hata yang berjalan mengelilingi bangunan telah kembali. “Bad news, gak ada pintu belakang. Gue yakin kalau si pembersih ini lagi cekikikan ngetawain kita di dalam sana.”

“Lo hebat Ta!!” Zaza menepuk pundak Hata, “pasti ada sejenis kamera pengawas yang ada di dekat sini, gue juga yakin kalau ada beberapa petunjuk.”

Nisa berusaha mengingat sesuatu. “kalau gak salah si Eza pernah ngomong ke kita, dia cerita gimana caranya masuk ke rumah ni detektif.”

“Sialan Eza!! Disaat gini dia malah gak ada.” Zaza menghentakan kakinya pada keramik bermotif kayu yang mereka jejak. Tekstur semu dari keramik itu membuat kesan sejuk pohon bagi siapa saja yang berada di sana.

Krak..!!

Sontak mereka semua mundur akibat getaran tiba-tiba yang muncul dari dalam keramik yang diinjak Zaza. Perlahan keramik itu berputar dan menghasilkan sebuah tangga dengan sudut miring 45 derajat.

“Kagetnya diriku, untung gue gak jantungan.” Keluh Didi sambil mengelus-elus dadanya.

Belum sempat detektif Didi menghilangkan rasa terkejutnya timbul sebuah kejutan baru bagi mereka, sesuatu yang sangat tidak terduga.
.
.
.
.
.
.
.
.

“KETOS!!” teriak mereka serentak. Benar-benar serentak. Seseorang yang berjalan keluar dari tangga yang muncul, mereka semua mengenalnya.

“Sstt…” dia meletakkan jari telunjuk di depan bibir. “Jangan teriak-teriak, ada masalah baru.” Orang itu memperlihatkan tangan penuh darah.

“Dasar pembunuh..!!” Zaza langsung menyerangnya dengan tubuhnya yang besar. Sebuah tendangan melayang pada orang itu. Tendangan yang langsung dinetralkan dan dikembalikan pada Zaza. Membuat Zaza terpental kebelakang.

“Masih sama kayak dulu ya Za?” desah Adi, mantan ketos di sekolah detektif. “dan masih suka salah paham.”

Kelima detektif lainnya langsung memasang posisi bertarung, sadar kalau lawan mereka sangat berbahaya dan mematikan. Mereka menggunakan formasi lima orang dengan Hata berada di tengah.

“Ya ampun, kita kan masih temen. Kenapa mesti bertarung?” ucap Adi santai tanpa beban.

“Teman?” ucap Zaza, “Yang menculik  temannya bisa disebut teman?” sindirnya.

“Menculik?” Adi berjalan mendekati Zaza dan menyentuh perutnya. “Cuma reuni sebentar kok.”

Wajah Hata sudah sangat merah laksana gunung nyaris meletus. “Banyak amat basa-basinya…Serang!!”

Mereka menyerang Adi secara bersamaan. Tapi sebelum mereka sempat menyentuhnya mereka dihentikan oleh sesuatu. Kepala detektif pembersih, Andrei.

Zaza yang tadi amat yakin menyerang kini terhenti, membatu. Suasana hening seketika seperti terkena elmen es. Yang lain menjadi memucat, jelas kekhawatiran yang tersirat di wajah mereka. seribu pertanyaan yang muncul di kepala mereka, mempertanyakan apa yang telah terjadi.

“Sudah gue duga, malah jadi gini.” Adi menghembuskan nafas panjang sembari meletakan tangan di kepalanya, isyarat menyesal. “Gini ya, gue jelasin. Pertama gue baru datang ke sini sepuluh menit yang lalu, dan saat gue masuk gue lihat si detektif hebat ini sudah keok kayak semut diinjak aja tanpa penjelasan. Kedua, artinya bukan gue yang bunuh ni orang. Jujur, gue juga binggung kenapa orang sehebat dia mati sia-sia gini. Dan yang terakhir jadilah gue selidiki kematian ni orang.”

“Bhaks…” enam detektif itu tertawa nyaring.

Adi memasang wajah bete. “Nah…sekarang kalian tertawa?”

“Gak..lucu aja gitu.” Didi berkacak pinggang. “Seorang psikopat paling mematikan menyelidiki? Yang seharusnya dilakukan oleh seorang detektif.”

“Terserah kalian aja.” Ucap Adi kesal. “Gini aja, kalian lihat sendiri apa yang ada di dalam sana, lalu pecahkan apa yang terjadi. Gua tunggu di sini, kita bandingkan hasil penelitian kita?”

“Setuju..” Sahut Didi.

Keenam detektif itu berjalan menuruni tangga, mereka berjalan pelan dan terhenti di dasar. Tidak ada keanehan di sana. Mereka berjalan memasuki pintu yang diarahkan oleh lorong dari tangga. Udaranya yang pengap mengisyaratkan bahwa ruangan itu berada beberapa meter di bawah tanah. Pencahayaan minim dari beberapa lampu memancarkan aura mencekam.

Didi menggerakan engsel pintu perlahan, semakin terbuka lebar pintu semakin banyak bau busuk yang keluar dari sana. Saat pintu benar-benar terbuka mereka mendapati tubuh seorang laki-laki, detektif pembersih. Tubuh itu sudah menggembung dan membusuk, tetapi darah yang keluar dari tubuhnya terlihat masih encer.

Mereka perlahan mendekat. Mayat tanpa kepala itu tergeletak dalam posisi seperti jatuh dari tangga. Darah yang ada di sana hanya yang berasal dari penggalan luka di lehernya.

“Darahnya belum mengering dan mengental, terasa hangat.” Ucap Didi setelah menyentuh darah itu.

“Bekas luka ini, tidak salah lagi.” Zaza berusaha mengingat sesuatu, “Gergaji.”

“Ini tangga yang menuju lantai satu. Hanya ada darah sedikit pada pegangannya.” Ucap Zahra setelah menaiki tangga.

Zahra menaiki tangga hingga berada di lantai satu. Matanya terbelalak bulat mendapati sesuatu yang ada di sana, tubuhnya bergetar hebat. Kakinya serasa lumpuh, dia seperti kehilangan seluruh kekuatannya. Dia berteriak sekuat yang dia bisa.

See you in page 9

TERORIS 7 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang