Page 16

357 41 5
                                    


Nama : Eza
Umur : 24 tahun
Status: Single

Semilir angin memasuki telinga, terasa sangat nyaman. Suara burung-burung yang berbahagia terdengar, angin ini tercium seperti makanan di hidung, terasa tenang sekali. Apakah pagi ini adalah pagi yang berbeda?

Tunggu… ini, dan aku kan ada di tempat yang seperti penjara, kan semua jendela sudah di tutup kenapa bisa?

Kubuka kelopak mataku perlahan, sekiranya agar masih Nampak tertutup. Seketika aku sadar apa yang terjadi.

“Nafas lo bau Ta.” Sindirku, “Di, lo juga gak bisa niru suara burung apa?”

“Hahahaha… ketahuan kita Di, komandan kita gak sebodoh yang kita kira.” Hata tertawa bersamaan dengan Didi. Keanehan yang mengganggu tidurku ini semua ulah mereka, saking kebosenannya yang tingkat dewa, di pagi-pagi buta gini mereka malah menggangguku.

“Eza… Eza, sampai kapan sih lo mau melandau terus?” Didi membalas sindiranku.

“Pantesan aja masih single, yakan….?” Seru Hata. Si Hata sialan ini malah membantu Didi.

“Silahkan aja ejek gue sepuasnya, gue mau lanjut tidur!!” Ucapku cuek.

Didi dan Hata bertatapan, dan aku mulai kebingungan di sini. Mereka kembali menatapku dan mulai berbicara, “Kalau lo memang mau tidur lagi silahkan, tapi kami saranin lo liat ke aula dulu deh.”

“Ada apaan emang?” Wajah mereka yang menyiratkan keseriusan menandakan hal buruk telah terjadi.

Aku kembali ingat kejadian semalam, kami baru saja bercerita tentang hal memalukan dalam hidup kami. Sebelumnya si sialan Jacob membagikan amplop kepada kami, memberikan kami modus baru untuk membunuh.

“Tidak ada kegaduhan kan malam tadi?” Tanyaku, mereka hanya menggeleng. “Kunci kamar ini lo pegang kan?” Aku kembali bertanya kepada Didi, dia mengangguk.

“Coba lo liat dulu.” Saran Hata. Kami segera bergegas ke aula lantai dasar. Aku merasa penasaran dengan hal ini, di benakku mungkin ada pembunuhan lagi yang terjadi, tapi apa modus ini benar-benar sanggup membuat seseorang berfikiran untuk membunuh.

Langkahku langsung terhenti begitu memasuki pintu aula, tidak salah lagi itu mayatnya, pembunuhan telah terjadi, bukan pembunuhan biasa, ini adalah pembunuhan ruang tertutup.

“Oyy detektif hitam, kau baru bangun ya? kami tidak bisa menyelidiki dengan kondisi yang masih segar begini, kau mau gabung?” Aku tau itu seruan dari Alcander, aku mendekat, bukan karena ikut menyelidiki tapi memastikan. Memastikan kalau itu benar-benar mayat Nisa.

Cukup dengan kematian dua detektif beberapa hari yang lalu, kami berhasil menutupi kalau Rusnade yang termakan amarah lah yang telah membunuh mereka, tapi bila ditambah dengan kasus baru lagi, mereka bakal mempertanyakan kenapa ini berhubungan dengan kelompok kami.

Detektif dengan kemampuan di atas rata-rata seperti Nisa bisa terbunuh, tanpa darah, tanpa memar, sepertinya tanpa luka sedikit pun. Dalam posisi berbaring terlentang di tengah-tengah aula, tanpa pakaian sehelai pun. Aku tau itu memalukan, tapi demi kepentingan insfestigasi tidak mungkin mayat itu ditutup, kecuali penyebab kematiannya terdeteksi.

Aku mendekat lalu jongkok di hadapan mayat Nisa, di samping kananku Alcander sedang melihat sekeliling tubuh itu, Kim dan detektif yang lain berusaha menahan agar nafsu dari para penjahat-penjahat itu tidak lepas kendali. Beberapa saat aku jongkok tiba-tiba Adi datang, dia jongkok di samping kananku.

“Gimana? Sekarang udah dua yang tewas kan?” Adi menaik-turunkan alisnya.

“Lo sebaiknya diam.” Aku membentak.

“Diam? Yang belum dapat bukti seharusnya juga diam.” Celutuk Adi, membuat Alcander yang tadi tenang kini geram.

“Lo diam aja ya mantan ketos, ini urusan kami!!” Aku menyarankan. Adi hanya menatap lalu menjauh dengan diam.

“Jadi top commander? Ada bukti apa?”

“Kasus ruang tertutup. Kasus yang sulit, pembunuhan ini seperti dilakukan oleh assassin.”

“Aku juga memikirkannya, lebih tepatnya kondisi mayat ini seperti tertidur.” Kukatakan itu setelah menyentuh mayat Nisa. “Hata!!”

Hata lalu jongkok di sebelah kananku, tanpa diberi aba-aba dia sudah tau tugasnya. “Kunci kamar saat pagi tadi berada di tangan Didi, hanya Nisa yang tidak ada di ruangan alias kamar.”

“Jadi kalian berenam sekamar?” Tanya Alcander pada kami dengan tatapan heran.

“Benar, demi menjaga keamanan kami.” Jawabku.

“Lalu tidak disangka-sangka salah satu dari kalian yang meninggal pagi ini?” Tanya Alcander untuk yang kesekian kalinya. Kami hanya mengangguk.

“Jangan negative thinking pada Didi, dia tidak mungkin melakukan ini semua. Dia terlalu lemah membawa Nisa yang lebih berat ke aula. Apalagi kalau harus menghindari sensor-sensor itu, lagipula aula dikunci untuk malam hari, pembunuh ini harus menemukan cara membuka aula sebelumnya.” Bela Hata.

“Kami tau walau lo ngak bilang!!” Aku dan Alcander melirik Hata sinis. “Lo ada sesuatu dengan Didi nih kayaknya.”

Hata berlalu dengan cepat, “Bye… moga berhasil.”

“Kembali ke topic.” Alcander meluruskan, mengembalikan renunganku yang mengarah pada Hata sejenak. “Jadi si pembunuh ini berhasil membunuh seorang detektif yang hebat, tanpa luka, tanpa memar, tanpa darah, tanpa suara, di ruangan yang terkunci.”

“Benar.” Aku mengangguk.

“Kedengarannya mustahil. Tapi aku bisa meluruskan satu hal!!” Ucap Alcander mantap.

“Apa itu?”

“Pembunuhan ini dilakukan oleh detektif.”

“Aku setuju, seorang penjahat, psikopat khususnya. Mereka membunuh demi hasrat yang ada pada diri mereka. pembunuhan ruang tertutup di penjara super ketat seperti ini hanya bisa dilakukan oleh pembunuh bayaran yang tau persis tempat ini.” Ucapku menambahkan.

“Assassin apa yang bisa melakukan hal sehebat ini? Maskudku apa ada assassin diantara para detektif kepolisian di sini?”

“Hanya si pembuat game menyedihkan ini yang bisa melakukan hal seperti ini.”

“Detektif hitam, apa ada yang kau curigai di sini?”

“Belum ada, kemungkinannya sangat kecil. Kita harus menemukan berbagai bukti agar bisa menebak si penjahat ini dengan benar.”

“Kita memang kekurangan bukti.” Alcander meggeleng. “Untuk sementara para detektif akan kuamankan.”

Aku berdiri dan berjalan ke sekitar sudut-sudut aula sambil memikirkan dimana kudapatkan bukti itu. Pembunuhan seperti ini pasti megandalkan obat-obatan agar darah mayatnya tidak beku, itu juga bisa membuat tubuh korban masih segar sehingga kami tidak dapat mengidentifikasi waktu kematian korban.

Aku berpaling, “Oh iya, lantai dua adalah kantor kepolisian. Alcander apa tidak ada alat yang bisa menemukan sidik jari dan sejenisnya?”

Wajah Alcander berseri-seri. “Kenapa tidak terpikirkan olehku, kantorku ada di sana.” Top commander itu berlari meninggalkan kami semua, menuju lantai dua, sendirian, tanpa kewaspadaan.

See you in page 17

TERORIS 7 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang