Page 11

414 50 0
                                    

“Adi?”

“Ketahuan ya… huft, padahal udah sembunyi.”

“Kalo lo gak ngomong gue gak bakal tau!”

“Hehehehe, reuni antara mantan ketos ma waketos nih.”

“Reuni? Emang sembunyi-sembunyi bisa dibilang reuni?”

“Maaf-maaf. Gak maksud ngagetin kok gue…”

Detektif Eza menyipitkan matanya “Btw kenapa lo ada di fentilasi gitu? Terus putar-putar terus?”

“Sebenarnya gue mau ngintip elo. Terus pas besok pagi gue bakal ada di sebelah elo tidur, tapi kayaknya rencana gue gagal.. hehehe…” Adi melompat dari fentilasi.”

“Gagal kenapa?”

“Lo tiba-tiba bangun malam-malam gini, gue lagi kebelet nih.” Adi menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal. Segera ia melesat bak kilat masuk kedalam WC.

“Mumpung dia di sini kenapa gak gue dskusikan aja ya masalah ini.” Gumam Eza. “Lagipula dari sikapnya tadi, aku rasa bukan dia penyebab semua ini.”

Beberapa waktu berselang, Adi keluar dari WC dengan wajah penuh kelegaan, “Sial, akhirnya keluar semua. Enaknya…”

Detektif Eza mendekat dan menyodorkan secangkir kopi yang sengaja dipersiapkannya untuk bisa bicara panjang lebar dengan Adi. “Nih… santai dulu.” Dia berjalan ke sofa tamu dan mengistirahatkan tubuhnya.

“Wah, disambut ya?” Adi menerima secangkir kopi itu lalu mengikuti Eza Duduk di sofa.

“Jadi gini Di…” Ucap Eza tertahan.

“Stop, ada yang ingin gue tanyain duluan ke elo!” Sela Adi. “Apa lo merasa ada yang aneh gak malam ini?”

Eza memasang wajah cemberut “itu yang mau gue tanyain juga. Ahh, dasar!” segera Eza menyandarkan kepalanya di kedua genggaman tangganya. “Iya, gue merasa ada yang aneh, kenapa suasana mala mini sedikit berbeda?”

“Bener Za, lo tau berapa orang yang gue jadiin percobaan malam ini?”

“Berapa?”

“Totalnya ada dua puluh orang. Semua gue tembak di hadapan petugas sipil yang gue yakin belum kenal gue, tapi semua pura-pura gak liat gue…. Bener-bener aneh.” Jelas Adi lalu menyeruput kopinya.

“Selain polisi, ada lagi yang lebih aneh. Malam ini begitu tenang, dimana semua penjahat yang beraksi?”

Adi termenung sejenak “Lo bener juga ya, biasannya banyak penjahat yang berkeliaran malam-malam. Waktu gue ngelakuin percobaan tadi gak ada satupun penjahat yang kelihatan. Yang gue temui Cuma rakyat jelata biasa.”

Detektif Eza bangkit lalu bersandar di samping jendela lebar yang memperlihatkan pemandangan kota Saracaz. “Apa pemerintah punya peraturan baru?”

“Gak tau lah Za, man ague urusin tuh pemerintah. Yang penting gue bisa dengerin jeritan-jeritan kebahagiaan korban gue, tangisan memohon ampunnya yang merdu, sama darahnya yang indah berkilau.”

“Coba lo cek internet!” Eza melemparkan ponselnya yang langsung ditangkap Adi dengan cekatan.

“Gak ada sinyal ya…”

“Yup, kelihatannya semua alat komunikasi diputus. Coba lo pikirin, siapa yang bisa ngelakuin itu semua?”

“TV juga berita semua isinya… gak karuan lagi.” Ucap Adi setelah menyalakan TV. “Siapa lagi kalo bukan pemegang wewenang terbesar di kota ini.”

“Gak ada kabar juga kan tentang sebuah peraturan baru?”

“Iya sih, lo bener. Emang apa yang sedang terjadi di sini?”

Jam di dinding sudah menunjukan pukul empat pagi, tapi mereka masih belum memecahkan sedikitpun masalah itu. Mereka terus memutar otak mereka, mustahil di kota penuh penjahat seperti itu tidak ada seorang penjahat satupun yang beraksi, padahal malam hari adalah waktu yang tepat bagi penjahat nocturnal beraksi.

Kota yang tadinya seperti pasar malam jika malam hari kini sepi, hening seperti kota hantu tak berpenghuni. Seluruh aktifitas seperti lumpuh pada malam itu.

“Ehh Di…” Eza menyadarkan Adi yang sedang hanyut dalam hayalannya. “Lo pasti tau kan tentang kecelakaan aneh yang terjadi pad gue kemarin malam?”

“Tau! gue juga tau siapa pelakunya.”

“Iya. Gue juga sudah menduga siapa pelaku dibalik kecelakaan itu.” Ucap Eza sembari mengusap dagunya. “Lo udah ketemu sama dia?”

“Udah. Dan apa lo tau siapa yang dia bunuh setelah gagal bunuh lo?”

“Siapa?”

“Andrei, sang pembersih.”

“Jadi, dia juga sudah jadi korban ya. padahal pembunuh ini masih amatiran.”

“Gue juga kaget awalnya, dilihat dia seperti anak-anak pada umumnya. Ternyata dia sebanding sama gue.” Adi menyilangkan kakinya ke atas meja. “Gue juga ketemu teman-teman alumni.”

“Gimana kabar mereka?”

“Seperti biasa, mereka masih hebat. Walaupun gak bisa mecahin siapa pelaku di balik semuanya.”

“Kalau itu sih wajar, siapa yang percaya ada pembunuh umur kisaran sepuluh tahun bisa membunuh detektif berbakat yang berpengalaman.”

Tok..Tok..Tok...

Suara ketukan pintu itu mengejutkan mereka. kedua orang yang sedang berdiskusi itu langsung menghimpitkan tubuh mereka disamping pintu, detektif Eza yang berada di sebelah kanan bersiap dengan senjata api miliknya sementara Adi yang bersenjatakan gelas kopinya menunggu di sebelah kiri.

“Buka!!” Perintah Eza. Adi langsung membuka pintu setelah Eza mematikan lampu dan member perintah.

Krakk…!!
.
.
.
.
.

Pintu dibuka, Adi langsung menyerah bagian kepala. Tidak kena. Mengetahui itu Eza menerjang si pengetuk pintu, dia merasa ada yang aneh.

“Om…!!”

“Di..nyalakan lampu!!”

Lampu dinyalakan, mereka berdua terkejut. “Nana!!?”

“Nana tadi ada diluar, tapi Nana jadi takut. Gak ada temen diluar, Nana takut sendirian.”

“Dari mana Nana tau tempat Om?” Tanya Eza kebingungan lantaran anak yang baru saja mereka bicarakan muncul tiba-tiba. Padahal kamar Detektif Eza berada di lantai sepuluh.

“Kan Nana mau bunuh Om!”

“Kenapa sekarang malah mau ketemu sama om?”

“Nana gak jadi mau bunuh Om, soalnya udah gagal dua kali. Om hebat deh.”

Detektif Eza merasa diremehkan. “Iya lah, Nana gak tau sih lagi berurusan sama siapa…”

“Om-om yang ada kumisnya.”

“Bhaks…ada kumisnya….” Adi tertawa tertahan mendengar pengakuan Nana. “Anak-anak itu jujur lo Za…”

“Diam lo.” Eza membentak.

Nana menarik-narik celana detektif Eza. “Om, apa orang yang bawa senjata diluar sana teman Om?”

Detektif Eza termenung. “Orang? Bawa senjata? Sejak kapan?”

Klontang…. Sesuatu memasuki kamar detektif Eza dan mengeluarkan asap yang sangat banyak.

“Sial… semua, larrii!!” Detektif Eza berteriak namun suaranya tak sampai lantaran dia merasa sangat mengantuk.

“Ghassh tidur hinii…” Adi tergeletak pulas. Disusul Nana dan juga Eza.

Kamar yang disewa dengan harga mahal itu dipenuhi oleh gas tidur. Ketiga jiwa didalamnya kini sedang tertidur pulas. Mereka tidak tau apa yang sebenarnya sedang menyerang mereka, sebuah kejutan akan menanti mereka semua.

Beberapa orang bersenjata lengkap dengan masker menutupi wajah memasuki kamar. “Tiga target sudah lumpuh.”

“Cepat, bawa mereka!!”

See you in page 12

TERORIS 7 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang