Setelah sampai di Jakarta dengan penerbangan sore, akhirnya aku sampai malam hari di Jakarta. Sewaktu boarding aku sangat-sangat merasa bersalah. Mama sakit karna aku yang melarikan diri atau ah, semua hanya ada pikiran negative.Ketika tiba di Soeta, aku langsung keluar dan mencari taksi. Menyebutkan alamat rumah sakit yang selalu mama datangi. Mudah-mudahan aku tidak salah rumah sakit. Aku masih belum menyalakan ponselku, bahkan aku tidak kepikiran untuk menyalakan lalu menelpon Anne. Saat petugas informasi memberitahu dimana kamar mama, aku langsung berlari menuju lorong rumah sakit. Sebenarnya aku takut jika malam-malam harus ada dirumah sakit, tapi ini sudah keadaan yang tidak bisa memikirkan hal takut.
Sesampainya di ruang VIP, aku mengetuk pintu rumah sakit dan membukanya. Semua mata tertuju padaku. Diruangan ini ada papa, Anne, Arsherie, Mami, dan Bima. Aku sedikit berlari menghampiri papa dan memeluknya.
“Maaf pa, maaf”
Papa tidak menjawab kata-kataku, membuat hatiku tidak enak. Semarah itukah papa padaku? Anne dan Arsherie juga memelukku.
“Pa, maafin aku.”
“Tidak apa nak, yang penting kamu pulang.”
Lalu mami menghampiriku, memelukku dan aku menangis. Ketika mataku bertemu dengan mata milik Bima, tembok yang sudah aku bangun runtuh tidak tersisa. Rasa sakit ini semua masih ada, pergi ke Bali tidak menghasilkan apa-apa. Aku masih lemah dan tidak mudah untuk melupakan Bima dan kesakitan ini. berbeda dengan kasus Vincent aku langsung bisa melupakan tanpa mellow-melow drama.
Aku sedang berjalan kea rah mama yang tertidur pulas di kasur rumah sakit. Selang yang terpasang di hidung, tangan dan dada nya membuat aku meringis.
“Mama kenapa Anne?”
“Mama pingsan nasz, masih belum sadar dari 4 hari yang lalu. Kamu dari mana aja 3 bulan ini?”
Saat ini kami sedang duduk di pinggir kasur mama tidur, “Aku ke Bali Anne, aku jadi relawan di panti asuhan. Aku tidak ada akses internet sama sekali, jadi baru membaca emailmu kemarin ketika aku menemani salah 1 anak yang membuat tugas di warnet.”
“Ponselmu?” ini suara papa yang sudah sedikit meninggi.
“aku sama sekali tidak menyalakan pa. tuh ada di koper. Maafin aku”
“Kamu punya masalah selalu saja lari, memangnya kamu pikir kami apa? Tidak bisa membantumu? Tidak ada untukmu? Membiarkan mu terluka?”
“Maafin aku pa, aku gatau harus apa. Jadi aku pergi.”
Aku mencuri pandang ke arah Bima, aku melihat wajahnya sangat kusut. Disekitar matanya masih ada lebam biru, di ujung bibirnya sedikit terlihat luka yang sudah mengering, bulu-bulu halus di sekitar wajahnya sudah tumbuh, kucel sekali dia!
“ selesaikan masalahmu baik-baik. Jika kamu pergi itu bukan solusi baik apa lagi tanpa member kabar.”
Aku lalu menghampiri mami yang sedang menangis, aku memeluknya “Maafin mami nasz, maafin mami.”
“Maaf kenapa mi? aku yang salah mi. aku yang harusnya minta maaf.”
“iya mami telah gagal, mendidik Bima menjadi pria brengsek.”
Aduh, bagaimana ini? di satu sisi aku senang Bima di katai oleh mami. Di satu sisi lagi aku tidak terima Bima di bilang seperti itu.
“Kita memang dipersatukan tidak dengan keadaan baik mi. kita memang tidak jodoh. Aku juga gabisa memaksakan Bima harus sama aku mi. kebahagian dia bukan sama aku, aku udah relain dia mi. “ aku mengusap airmata yang turun tanpa lampu merah. Seketika mata Bima menatapku tajam. Ini kan yang kamu mau Bim?
KAMU SEDANG MEMBACA
Every New Step to Make a New Journey
Literatura Kobieca"cuma kamu yang bisa bantu papa" "aku?" "menikah lah dengan nya" kembali ke negara asalnya setelah melewati berbagai kesulitan adalah hal terburuk! disaat hidup nya menjadi lebih baik Anasztazia harus dihadapkan dengan pilihan sulit. menikah untu...