Part 5

494 53 8
                                    

"Hyung"

"Iya aku hyung mu? Kenapa? Kau kecewa aku yang datang?" tanya soonyoung santai saat memasuki kamar seokmin. Keringat masih mengalir di pelipisnya. Nafasnya sesekali tersengal sengal setelah berlari mencari kamar seokmin dirawat, meski dia sudah mengatur nafas sebelum membuka pintu kamar seokmin. Dia terus menyembunyikan kecemasannya dengan berusaha berbicara dengan nada sedatar mungkin. Kelegaan sekilas terpancar di matanya saat melihat seokmin baik-baik saja.

"Apa hyung bertemu yuna?" Tanya seokmin lemah di tempat tidurnya.

"Yuna?" tanya soonyoung.

"Hyung aku lelah. aku ingin tidur" potong seokmin sebelum soonyoung melanjutkan pertanyaannya, lalu ia mencoba merebahkan diri di Kasur empuk rumah sakit dan pura-pura menutup matanya.

Keheningan beberapa saat hadir di antara mereka. Sebuah nama yang cukup mengusik dua bersaudara itu membuat suasana diantara mereka menjadi kikuk.

"Aku tidak tahu, dari sekian banyak wanita yang mengejarmu, kenapa harus yuna yang kau pilih?" soonyoung membuka suara. Seokmin memilih untuk diam dan berpura-pura tidur. "Jaga dia. Aku tidak akan memaafkanmu jika sesuatu terjadi padanya", lanjut soonyoung sambil membenarkan selimut seokmin.

***

Krrrrriiiiiiingggg, suara jam weker berbunyi nyaring membangunkan seorang gadis yang sedang tertidur di kursi sofa ruang latihan tari di rumahnya. Dia nampak kelelahan setelah menyiksa dirinya sendiri dengan agenda latihan tari yang tiada habisnya. Sinb itu memulai hobi menarinya sejak ia masih berusia 6 tahun. Orang tuanya sangat mendukung hobi anaknya itu, hingga menyekolahkannya ke sekolah tari terbaik di kota kelahirannya.

Sayangnya kehebatannya menari tidak diiringi dengan pengetahuan tentang bagaimana batas tubuhnya menerima beban yang berat. Sering kali dia kalah dari lomba hanya karena dia terlalu lemah untuk mengikuti lomba itu akibat terlalu lama berlatih.

Sinb menggeliat sambil berusaha menjangkau jam weker yang ada di meja tamu di depan sofanya. Tiba-tiba seseorang dating dan menjauhkan posisi jam weker itu dan membuat sinb jatuh dari sofa.

"Aduh", kata sinb sambil memandang sinis orang yang sedang berdiri di depannya sekarang. "Apa maumu?"

"kenapa kau tidur disini?" Tanya orang di depan sinb sama sinisnya.

"bukan urusanmu"

Pria dengan tindik kecil di telinganya memandang keaarah sinb dengan emosi yang berusaha ia tahan karena sekali lagi murid bimbingannya itu tidak mendengarkan apa katanya. Dia mematikan bunyi jam weker itu dan meletakkannya kembali di atas meja. "Aku berhenti" lanjut pria itu. Lalu perlahan pria itu meninggalkan sinb yang masih terduduk di lantai. Nafas sinb menjadi semakin cepat karena menahan emosi yang tidak bisa ia keluarkan saat itu. Perlahan air matanya turun saat bayangan pria yang menjadi guru tarinya itu menghilang dari pandangannya.

"kumohon pikirkan lagi permintaanmu. Sinb membutuhkanmu soonyoung-a", terdengar suara ibu sinb dari luar ruang latihan berusaha membujuk soonyoung untuk terus meneruskan pekerjaannya menjadi guru tari sinb.

"tidak ada gunanya saya disini, eomoni. sinb tidak pernah mendengarkan saya", jawab soonyoung.

"kau sudah lama mengenal sinb, kau tahu bagaimana sinb jika sedang marah. Dia akan terus berlatih menari untuk menyalurkan kemarahannya. Dia akan mematuhimu lagi saat kemarahannya sudah hilang", lanjut ibu sinb.

"biarkan saja dia pergi eomma. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi", sela sinb tiba-tiba dari pintu ruang latihan.

"SINB! Jaga mulutmu. Dia gurumu", bentak ibu sinb.

NostalgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang