Aku duduk di halte menunggu bus yang menuju ke rumahku datang. Aku masih tidak bisa berpikir jernih, rasanya hidupku terlalu paranoid dengan ini itu hal yang menyangkut Dirga. Aku merasa malas dan enggan melanjutkan kegiatan mingguku, termasuk berkunjung ke rumah Lina. Aku pun mengambil ponselku untuk mengabari Lina.
"Lin, sorry gue gak jadi datang ke rumah lo."
"Kenapa?!" teriak Lina. "Gue udah nunggu lo daritadi,sih,Key. Dasar PHP."
"Sorry." Dan aku langsung mematikan sambungan telpon. Sebodo amat lah si Lina mau misuh-misuh sama aku, aku hanya perlu sebuah ketenangan untuk menjernihkan pikiranku dan menghilangkan semua memori Dirga yang tadi tersaji secara gamblang di depanku.
Tapi, semakin aku mencoba, semakin aku tersiksa.
Wajahnya, senyumnya, lagunya, semua kembali membanjiri otakku tanpa ampun. Memenuhi seluruh ingatanku tanpa permisi dan menghadirkan perasaan rindu membuncah yang tak pernah bisa kuterima dan mengerti, dan ujungnya air matalah yang menjadi pelampiasan untuk segala kegundahan hati. Menangis, untuk kesekian kali, menangis untuk sepercik hal sepele yang tersaji tadi. Terlalu ironis.
Aku menyeka air mataku ketika aku merasa seseorang duduk di sampingku. Aku segera menoleh dan sejurus kemudian aku terpaku. Seolah seluruh kegiatan di sekitarku berhenti, pandanganku hanya tertuju padanya, pada sosok yang kini duduk khidmad memandangku.
"Mmm, apa kabar?"
Aku diam.
"Tumben gak dijemput."
Aku diam, tapi aku bisa merasakan seluruh syarafku menegang karena suara (yang kurindukan) itu terdengar lagi. Rasanya sudah sangat lama aku tidak mendengarnya. Sedikit terkejut, tapi aku berusaha mengontrol emosi, meski ujung-ujungnya aku tak mampu memaksa diriku untuk tidak memandangnya, menumpahkan rinduku padanya dan memeluknya untuk sekedar mengobati kegundahanku. Tapi, itu tidak akan baik. Lalu, kuputuskan untuk mengeluarkan suaraku, hanya sekedar untuk menghargai sapaannya.
"Baik, kamu?"
Bersyukur, untuk suaraku yang tidak terdengar bergetar.
"Aku baik." Ia mengulum senyum. Demi Tuhan! Aku merindukan senyum itu! Jerit batinku meronta. Bisa kurasakan aku semakin tidak mampu melihat ke arah lain kecuali dirinya. Menenggelamkan diriku pada bola mata coklatnya yang indah dan menawan, berusaha mengorek informasi tentang tatapannya padaku yang kurasakan masih sama seperti dahulu.
"Mbak, ngapain di sini?"
"Les musik,Ga."
"Oh.." Dirga membulatkan bibir tipisnya yang merona. Setelah itu lengang. Tapi tatap mata kami tetap beradu, seolah kami masih berbicara saja. Terkutuk untuk diriku yang terlalu lekat memandangnya, karena aku semakin ingin memeluknya.
"Edelwaiss, apa kabar?" Bibirku bergetar saat mengucapkan nama itu. Nama perempuan yang kini telah bersama Dirga untuk menggantikan posisiku.
Dirga terlihat sedikit salting dan terkejut karena bertanya perihal ini padanya. Wajahnya merah padam. "Hm, Baik. Adel baik-baik saja."
"Syukurlah." Perkataan paling munafik yang pernah aku lontarkan tahun ini.
"Mbak, kudengar sudah punya lagi? Mm, selamat, Mbak, aku turut senang mendengarnya."
Deg! Gemuruh itu tak bisa kutahan lagi. Manabisa aku melupakanmu,Dirga? Mana bisa secepat itu aku mendapatkan penggantimu?! Sedikit meluap, aku menjawab pertanyaannya dengan kata-kata yang tegas.
"Gak, aku gak punya."
Baik, lengang lagi. Aku membenci pertemuan ini! Pertemuan yang menghabiskan energi yang sangat banyak, pertemuan yang menguras emosi. Dan tambah menyebalkan lagi karena bus tidak kunjung datang. Sialan!
"Mbak, maaf untuk kesekian kalinya."
"Untuk apa?"
"Untuk semua alasan yang mengaharuskanmu menangis."
Aku tidak mengerti, dahiku berkerut dalam. Bocah tengil ini sedang meminta maaf rupanya.
"Aku sudah lupa." Berusaha tegar di hadapannya meski rapuh, kupikir adalah jalan yang terbaik untuk kali ini.
"Aku gak tahu sedalam apa aku menyakitimu, tapi aku benar-benar minta maaf. Semuanya begitu rumit."
"Rumit atau tidak itu urusanmu. Itu keputusanmu."
"Aku benar-benar minta maaf karena menjadikanmu korban dalam segala kesalahanku,Mbak. Aku minta maaf karena aku melanggar janjiku. Aku minta maaf atas segala waktu yang tak bisa kusediakan untukmu. Aku minta maaf untuk segala luka yang kubuat."
"Cukup,Ga. Lupain semuanya dan lanjutkan hidup kita masing-masing. Kita udah berakhir, jangan buat semuanya semakin rumit karena ulahmu." Napasku kembang kempis karena emosiku semakin meluap. Aku semakin sakit, meski ia telah meminta maaf. Goresan luka yang begitu dalam, tidak akan sembuh begitu saja hanya karena ia meminta maaf.
Memang benar aku masih mencintainya, bahkan sangat, tapi logikaku sudah lelah mengijinkan hatiku untuk terus terpaut padanya. Logikaku menyuruhku menjauh, sejauh-jauhnya karena percuma, semua kesalahan yang dibuatnya terlalu besar hingga untuk memaafkannya saja sesulit ini. Dan aku belum bisa menjadi setegar batu karang. Aku sudah rapuh, sangat rapuh.
"Untuk semua yang sudah aku sia-siakan darimu, aku meminta maaf. Terserah Mbak mau memaafkanku atau tidak. Aku tidak memaksa."
"Aku sudah bilang, dan aku yakin kamu mendengarnya tadi."
"Aku mau kamu memaafkanku ketika kamu sudah benar-benar memaafkanku,Mbak. Apa aku seburuk itu,Mbak?"
Lagi, Dirga menyulut emosiku. Aku mengatupkan rahangku keras, berusaha untuk tidak mengumpatnya atau bahkan memukulnya karena kelakuan tengilnya itu. Dari semua perlakuannya, dia masih bertanya apa dia seburuk itu? Terlalu sok lugu untuk ukuran lelaki selingkuh yang terang-terangan.
"Ya. Bagiku iya."
Dan seketika bus datang. Aku segera beranjak tanpa mau mendengar omong kosongnya lagi. Sudah cukup aku melihat Dirga yang benar-benar naïf. Baru kulihat segala sifat buruk Dirga yang dulu selalu tertutup karena kelucuan dan keromantisannya. Aku pun tidak tahu bagaimana bisa aku seberani itu berkata dengan tegas dan berusaha tegar, padahal sebelum itu aku sangat rapuh. Bahkan untuk mendengarkan lagu all of me saja tidak mampu.
Sial!
*

YOU ARE READING
Dear Dega
Romance"Hal terbodoh yang pernah kulakukan, adalah ketika aku mengikuti nafsuku untuk meninggalkanmu. Padahal aku tahu bahwa perbuatan itu berdampak pada diriku sendiri. Dan akhirnya memang aku harus kecewa. Bahkan teramat rumit kujalani" ~Keyza Farahnia A...