Bab 1 "Ketika Aku Belajar, Sabar"

223 12 0
                                    

Aku menatapmu, masih menatapmu dengan wajah sendu. Tanpa cahaya. Fotomu ada di sana. Dengan terus menghampiri seluruh rasa rinduku yang semakin menggebu. Aku tersenyum untuk ke sekian kalinya dengan rasa amat tertekan. Mengecam! Pikirku. Tak ada tanda-tanda dirinya akan menyapaku, sekedar mengatakan "Hai" pun tidak. Entahlah, sejak kejadian tiga hari lalu, aku semakin sering merindukannya.

"Dirga, Dirgantara Azaki." Aku menggumam di hadapan foto yang kugenggam, kemudian memeluknya erat untuk waktu yang cukup lama.

"Kau memang selalu tersenyum, dan aku terus merindukanmu." Aku memandang wajahnya di foto itu lagi. Suara jantung berdetak yang begitu cepat masih kerap kurasakan. Padahal, aku sudah sering bersamanya. Sejak membuat perjanjian dan mengikat perasaan diantara kami enam bulan lalu, aku memang tidak pernah berhenti merasakan degupan luar biasa ini. Ya, kupikir ini wajar saja. Mungkin, itu pertanda, bahwa aku sangat mencintainya. Melebihi apapun.

Aku bahkan tidak tahu, mengapa aku bisa memiliki perasaan begitu besar kepadanya. Sehari saja ia tidak memberiku kabar serasa aku hidup tetapi mati. Karena entah mengapa aku selalu merasa khawatir. Takut kalau-kalau dia pergi meninggalkanku. Entahlah apa yang akan terjadi pada diriku jika benar aku berpisah darinya. Mungkin, aku akan depresan. Menganggap semua hidupku tak berarti. Yeah, mungkin pada hal ini aku terlalu berlebihan. Tapi, jujur saja, Dirga adalah cowok pertama yang hadir dalam hidupku. Dan aku benar-benar merasakan nyaman yang begitu luar biasa. Tak dapat kuungkap lewat kata-kata.

*

Hari ke empat!

Aku berdiri di sekolah ini,serasa hampa. Tiada wajah konyol lagi yang mau, tanpa kusuruh selalu menghiburku. Tiada dribelan indah tangan yang telah mengusap pipi memerahku. Tiada lagi celetukan aneh yang selalu ia lontarkan. Tiada lagi nasehat-nasehat yang selalu ia berikan ketika aku sedang merasa benar-benar berada di ujung jalan ketika nilai akademikku meluncur bebas dari lantai tujuh. Huft! Aku seharusnya sadar, dia sedang berjuang untuk cita-citanya. Dia sedang berada pada ambang impiannya. Dan untuk sementara waktu, aku rela (meskipun sesungguhnya aku belum merelakan) dia tidak mengabariku melebihi sehari. Yah, aku harus terus bersabar.

Kini aku tengah menikmati waktu istirahat bersama Lina. Sahabatku satu-satunya yang mengerti akan seluk beluk kehidupanku. Hingga cerita Dirga setiap hari. Aku duduk bersama dengannya di bangku panjang depan kelas dengan menatap kosong ke arah lapangan basket.

"Lo kenapa,sih, Key? Murung aja tiga hari. Enggak capek?" ujar Lina yang saat itu sedang memakan snacknya. Bunyi kress..kress.. pun terdengar setelah itu.

"Dia berubah,Na!" aku mengadukan keluhanku pada Lina. Keluhan yang sama selama dua hari terakhir ini. Lina mengembuskan nafas sembari meletakkan jajanannya.

"Ya ampun,Key!" teriak Lina. "Keyza, gue kan udah pernah bilang. Dan tanpa gue perjelas pun lo yang bakalan lebih tahu. Dia kan lagi ada turnamen! Provinsi loh, tingkatnya! Ya, jelas dia sibuk. Dirga kan juga udah bilang sama lo. Dia juga bilang sama gue, buat jagain lo terus. Jangan pura-pura amnesia gitu,deh!"

"Ya, gue tahu."

"Harusnya lo dukung dia. Doain terus dia. Lo sendiri juga kan yang cerita, kalo Dirga itu pengen banget ikut turnamen tingkat Provinsi. Nah,ini saat yang tepat buat lo tunjukin ke dia. Lo bisa jadi pacar yang baik. Buktiin itu,Key. Hari ini kan tinggal penutupan. Besok paling dia udah berangkat. Mana betah,sih, Dirga ninggalin ceweknya yang satu ini lama-lama?" kata Lina dengan santainya. Aku menjadi sedikit tenang mendengar nasehat Lina. Aku tersenyum menanggapi.

"Jadi, gue sabar lagi,nih?" kataku Polos.

"Iyalah!" dan seketika bel masuk berbunyi.

"Masuk,yuk. Udah bel." Ajak Lina sambil menarik tanganku untuk memasuki kelas. Ya, Dirga sibuk. Itu sudah pasti. Dan, dia besok akan kembali menginjakkan kaki di sekolah ini. Rasanya aku tidak sabar menunggu kehadirannya. Dalam hitungan kurang dari dua puluh empat jam, aku akan berhadapan lagi dengan Dirga. Sungguh, bayangan seperti itu saja sudah membuatku teramat bahagia. Jantungku berdegup kencang lagi. Ya, Key, buktikan! Buktikan lo yang paling baik buat Dirga!

*

Perjalanan pulang sekolah yang teramat sepi membuatku semakin merindukan Dirga. Kuhabiskan waktu pulang ini untuk berkutat dengan pikiranku perihal Dirga. Dia lelaki biasa. Hanya saja di mataku ia adalah yang paling luar biasa. Dia seorang lelaki pemain basket. Sikap konyol dan senyumnya itu telah mampu memerdayakanku hingga membuatku benar-benar jatuh cinta. Meski beberapa hari ini aku hanya mampu memandangnya dari foto manis berbingkai di meja belajarku, setidaknya itu mampu mengobati nol koma lima persen dari seluruh rasa kangenku. Di foto itu ia sedang membawa bola basket di tangan kanannya. Tangan kirinya mengacungkan jempol dan bibirnya membentuk senyum simpul. Aku ingat sekali, itu kali pertamanya aku menonton turnamen basket. Sekitar seminggu setelah aku jadian. Wajahnya di foto itu begitu sumringah. Dan aku ingat betul, waktu itu tim basket sekolah kami menjadi juara pertama. Maka dari itu aku mengabadikan fotonya.

Kini aku sudah menginjakkan kaki di rumah. Aku melepas sepatuku dan mengucapkan salam lalu segera masuk kamar. Ketika aku membuka pintu kamar, mataku langsung berkeliling. Seisi kamarku telah kuganti dengan nuansa basket. Wall sticker basket, poster NBA, poster Michael Jordan, ring basket plastik yang menggantung di atas meja belajarku, hingga tempat pensilku yang kutempeli sticker bola basket. Semuanya adalah basket. Ini kubuat khusus, karena sudah pasti dapat kalian tebak mengapa aku melakukan ini. Yeah, right! Salah satunya adalah karena basket adalah olahraga favorit Dirga. Tiba-tiba pandanganku terkunci pada lemari penyimpanan paling bawah bertuliskan "The Quality Time." Di sana lah seluruh kenanganku bersama Dirga selama ini yang kukumpulkan. Aku membukanya perlahan namun pasti. Sebuah kotak musik menyembul, ada di bagian paling atas dari semua kenangan. Aku mengambil kotak musik berwarna biru itu, kemudian membukanya. Alunan musik nan menyejukkan jiwa terdengar lamat-lamat. Dan seketika bayangan Dirga muncul di otakku. Kemudian tanpa kusuruh, otakku langsung memutar memori dimana aku dan Dirga, mulai bersama...

Dear DegaWhere stories live. Discover now