Aneh sekali rasanya. Aku sudah tidak lagi diganggu Dirga. Sejak dari kantin bersama Lina seminggu yang lalu hingga kini, sepertinya aku benar-benar dibebaskan dari ini itu hal yang menyangkut adik kelas alien satu itu. Tidak lagi hujan pertanyaan aneh. Tidak lagi melempar pulpen ke arahku jika aku melamun. Tidak lagi nge PING!!! Dua puluh satu kali. Tidak... Ah! Tidak segalanya yang berhubungan dengannya.
"Mbak,udah nafas berapa kali?"
"PING!!! PING!!! PING!!!"
Syut..ctak.. bolpen terlempar ke arahku
Seketika aku merasa seperti handphoneku bergetar. Aku mengambilnya dari saku. Layarnya kosong. Hanya gambar wallpaper. Tak ada pemberitahuan bbm masuk.
"Gue benci banget sama lo!"
"Kenapa lo pagi-pagi natap ke arah lapangan basket? Kemarin,sih. Lo rugi gak mau ikut gue nonton latian." Kedatangan Lina membuatku tersadar dari lamunanku. Aku mengerjapkan mata sambil menatap Lina.
"Lo ngagetin gue!"
"Kenapa lo? Kangen Dirga?" Ledek Lina sedikit mengecilkan suaranya. Aku terkejut sesaat kemudian menepis pertanyaan Lina dengan mencuatkan ujung bibir kananku. Ah, presepsi Lina sama sekali tidak baik. Ish..
"Ngaku,Lu! Muka lo merah semua gitu. Kangen,ya? Gue perhatiin dari kemarin lo masih ngelilingin tiap sudut sekolah?"
"Nggaak!" Aku mengibaskan tanganku di depan wajah Lina. Ia malah menyeringai, membuatku semakin tidak tahan untuk berhadapan dengannya. Aku bergidik ngeri membayangkan kalau aku jatuh cinta dengan si kutu kupret satu itu. Yuck! Gak boleh dibiarin! Gak boleh! Enggaaaakkk!
"Lo jangan pernah terlalu benci Dirga. Sampai-sampai hati lo sendiri gak diperduliin lagi." Ujar Lina sok bijak. Aku hanya ber ishh sambil memutar bola mata. Aku bahkan tidak mengerti kata-kata apa yang baru saja diucapkannya itu.
"Gue gak benci Dirga. Gue cuma mau dia hilang dari hadapan gue. Dan ternyata Tuhan ngabulin permintaan gue, buktinya sekarang Dirga gak pernah muncul. Gue seneng doa gue manjur. Gue bahagia. Bahkan sangat." Kataku datar menerangkan pada Lina. Lina menepuk-nepuk pundakku sambil tersenyum menampakkan barisan gigi putihnya. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Lo terlalu naif,Key. Lain kali tanya sama diri lo dulu. Apa lo bener-bener bahagia."
"Apaan,sih,Lin! Lo itu kaya habis ikutan kelas filsafat aja. Cara ngomong lo itu. Uh, bikin gue gemes tau gak! Dramatis banget,nih,anak!" untuk kali ini Lina tak lagi menggubris kata-kataku. Ia hanya mengangkat bahu, kemudian pergi meninggalkanku sendiri. Dalam rasa aneh yang semakin menjalar dan menggerogoti seluruh tubuhku. Ada apa? Seperti ada kehampaan yang begitu dalam kurasakan. Dan seperti aku merasa sedang sendiri. Meski sedang di tengah keramaian.
*
Aku mengembuskan napas lelah. Bel sudah berbunyi sejak pukul sebelas siang tadi. Memang pulang lebih awal. Tetapi, tugas dari Pak Kadir lah yang membuatku harus pulang lebih terlambat. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tiga sore. Hawa di sini pun sudah semakin dingin. Namun, tugas yang bejibun itu belum juga terselesaikan. Kliping masih dapat setengah, bahannya juga masih harus mencari lagi. Lebih-lebih power pointnya, sama sekali belum tersentuh.
"Besok, gue bawa lagi,deh. Koran-koran bekas dari tetangga sebelah gue. Kayanya kita bisa nemuin berita teknologi yang banyak,deh." Tiba-tiba saja Rey menyeletukkannya. Wajahnya yang putih dan sipit seperti orang china itu tampak sudah sangat kelelahan.
"Gue setuju." Jawabku langsung, "Tapi, power point yang nyelesaiin siapa dong?" Lanjutku. Langit di luar sudah nampak mendung. Dan tentu saja sudah dapat ditebak, sebentar lagi pasti hujan. Kami saling bertatapan mencari jawaban. Kini mendung sudah diselimuti dengan suara petir dan gemuruh.
YOU ARE READING
Dear Dega
Romance"Hal terbodoh yang pernah kulakukan, adalah ketika aku mengikuti nafsuku untuk meninggalkanmu. Padahal aku tahu bahwa perbuatan itu berdampak pada diriku sendiri. Dan akhirnya memang aku harus kecewa. Bahkan teramat rumit kujalani" ~Keyza Farahnia A...