Bagian 6

148 28 1
                                    

Bisa kali-ah vote dulu :v

Setelah Hilda menjemputku tadi dirumah, kami langsung menuju salon untuk menata rambut kami dan menyalin baju untuk berpesta nanti malam. Anehnya tadi Justin sama sekali tidak merasa curiga. Walau dari raut wajahnya tak dapat dibohongi, bahwa ia sangat mencurigakanku. Justin sempat menyuruh dua bodyguardnya untuk menemani kami, tapi dengan cepat Hilda menolak. Dia bilang, bahwa kami nanti tidak ada kebebasan untuk berbelanja dan berbincang-bincang jika di kawal oleh bodyguard Justin. Hilda memang punya berjuta-juta alasan untuk menjawab. Kemudian setelah lamanya meminta izin pada Justin, akhirnya kami berangkat. Akan tetapi Justin hanya membatasi waktuku hingga pukul sebelas malam, dan itu membuatku terpukul. Padahal final pestanya pukul dua belas malam.

"Apa ini tidak terlalu minim? Bagaimana dengan make-up nya, apa ini tidak terlalu mencolok?"
"No Ashlyn, itu cocok untukmu." Jawab Hilda sambil fokus mengemudi mobil miliknya.

Sebenarnya aku sangat risih dengan pakaian ini, menurutku, ini, terlalu, minim dan ketat. Bagaimana tidak, aku memakai rok yang ketat dan pendek hingga memperlihatkan pahaku, ditambah lagi jika aku duduk, rok pendek ketat ini semakin terlihat pendek. lalu aku memakai pakaian yang memperlihatkan bahuku dan sedikit belahan dadaku. Membuatku semakin risih, sesekali aku naikkan bajuku untuk menutupi belahan dadaku. Bibirku juga terlihat sangat merah, seperti merah darah. Rambutku dibiarkan terurai. Kulirik penampilan Hilda, pakaiannya terlihat lebih minim dariku, tetapi ia sama sekali tidak risih. Ia tetap santai dengan pakaiannya.

    Pukul delapan malam, kami tiba di sebuah klub dimana pesta tersebut digelar. Aku dan hilda mulai masuk kedalam klub tersebut. Aku merasa, kami berdua menjadi pusat perhatian para pengunjung di klub. Pandanganku hanya terus kedepan tanpa membalas tatapan-tatapan mereka. Langkah kakiku terus mengikuti langkah Hilda. Hingga Hilda berjalan menuju sebuah tempat dimana-mana orang-orang duduk disebuah sofa berbetuk lingkaran dengan meja bundar berada ditengah. Ada empat laki-laki dan dua wanita disana, mereka sibuk meminum alkohol dan bermain kartu. Aku dan Hilda disambut baik oleh mereka, Aku membalas senyum mereka dan menyalami mereka satu persatu. Kemudian aku duduk disamping Hilda. Sebelah kananku ada lelaki bernama Cameron, ia tak henti-hentinya memandangiku. Rok ku yang terlihat sangat pendek, aku mencoba untuk menurunkannya agar pahaku tidak terlalu terekpos oleh mata lelaki tak bertanggung jawab.

    Hilda sangat menikmati pesta ini, berbincang dengan kenalan baru, berjoget seperti setan, minum alkohol, dan sesekali menggoda pria mata keranjang. Tapi aku, sedari tadi hanya duduk dan diam. Minum alkoholpun aku baru menenggak dua gelas, aku tidak ingin terlalu mabuk, khawatir Justin akan tahu kalau aku berbohong padanya dan tidak ada kesempatan lagi untuk keluar rumah dengan bebas.

"Ayolah kita bermain, aku mulai bosan." Ujar Cameron yang masih berada disampingku.
"Aku tidak akan pernah menolak, ayo kita bermain!!" Serbu Hilda dengan semangatnya. Aku yakin dia sudah mabuk.
"Baik, permainannya adalah, aku akan memutar botol ini, jika botol ini berhenti disiapapun itu, ia harus meminum lima gelas wine ini, bagaimana? setuju?" Cameron menjelaskan permainannya dan disambut baik dengan yang lainnya. Sejujurnya aku sama sekali tidak ingin gabung dengan permainan buruk semacam ini, kalau Hilda dan aku mabuk, lalu siapa yang akan membawa mobil. Tapi yang lain terus memaksa terutama Cameron, membuatku menyerah dan mengikuti permainan ini. Setelah botol itu menunjukkan beberapa orang, selanjutnya setelah botol itu diputar, botol itu berhenti dan menunjukkan arahnya kearahku.

Aku meguk ludahku, dengan cepat aku menunggak wine itu dengan cepat. Baru saja aku meneguk beberapa gelas wine, aku sudah merasa pusing, perutku juga merasa mual. Tubuhku sudah tidak tahan dengan alkohol ini. Aku benar-benar ingin muntah. Akhirnya aku menuju toilet, dan memuntahkan semua yang ada diperutku di wastafel. Tubuhku benar-benar lemas. Saat aku memutuskan untuk kembali melewati lorong-lorong yang sepi, aku lirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul sepuluh. Aku harus cepat-cepat kembali, sebelum Justin benar-benar marah padaku.

-0o0o0-

    Ketika langkahku melewati lorong-lorong sepi ini, tubuhku hampir saja ambruk jika seseorang tidak menahan tubuhku. Kepalaku benar-benar pusing, aku sendiripun tidak mampu menahan tubuhku sendiri. Orang itu menyenderkan tubuhku di tembok, masih dalam posisi berdiri. Tanganku memegang kepalaku yang sedikit sakit. Pria itu mendekatkan wajahnya padaku, tak lama kurasakan bibir itu menempel pada bibirku. Fokusku langsung tertuju pada pria itu, ia Justin. Justin terus melumat bibirku, tak mementingkan gensiku, aku membalas ciumannya. Ia meraba pinggangku. Tangan kirinya terus menahan tengkukku. Tapi beberapa menit kemudian ada seseorang menarik Justin, lalu meninjunya dengan kencang. Pandanganku masih saja terlihat rabun, aku tidak bisa fokus. Aku berusaha untuk memisahkannya, tapi aku masih sibuk untuk menjaga keseimbangan tubuhhku. Orang itu terus saja meninju Justin. Siapa dia?. Saat pandanganku fokus, ternyata yang meninju adalah Justin. Lalu tadi dengan siapa aku berciuman?. Jariku memegang bibirku menahan rasa terkejutku. Bukankah pria yang dipukuli oleh Justin adalah Cameron. Ya, dia Cameron.

Setelah Justin meninju Cameron, Justin langsung menatapku tajam, dan menghampiriku, lalu menyeret tanganku. Entahlah ia mau membawaku kemana, aku benar-benar lelah. Aku hanya terus mengikutinya berjalan di belakangnya.

Feelings Of Love [Justin Bieber]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang