Agoraphobia. Itulah kelainan sosial yang aku derita saat ini. Agoraphobia adalah phobia terhadap keramaian atau orang banyak. Yang aku lakukan selalu bolak-balik rumah sakit bersama orang tuaku untuk melakukan konsultasi pada psikolog. Terngiang dibenaku tentang hasil pemeriksaanku 3 tahun yang lalu, ketika pertama kali aku melakukan konsultasi.
"Penderita pobia sosial jenis ini, biasanya akan lebih memilih berdiam diri dirumah daripada keluar rumah untuk bertemu orang. Sehingga mereka cenderung suka mengurung diri daripada keluar untuk sekedar menyapa tetangga. Masalahnya biasanya sepeleh. Mereka hanya tidak ingin bertemu dengan keramaian atau kerumunan orang dan akan merasa panik jika sudah berada dikeramaian apalagi disertai dengan suara keras atau teriakan. Ujung-ujungnya mereka akan pusing lalu pingsan".
Itulah penjelasan dari psikolog yang kuingat dengan jelas dan aku tidak akan pernah lupa. Berdasarkan penjelasannya memang benar sesuai dengan yang aku alami. Itulah pertama kali aku mengetahui kalau aku memiliki pobia. Agoraphobia.
Aku tidak pernah menyangka kalau aku akan memiliki kelainan ini. Karena sewaktu TK dan SD aku baik-baik saja dengan lingkunganku. Tetapi ketika aku masuk SMP aku mulai seperti ini. Aku sudah tahu apa penyebabnya setelah melakukan konsultasi pada waktu itu. Trauma. Ya trauma masa lalu yang tidak menyenangkan. Psikolog pada waktu itu bertanya padaku."Apakah kamu memiliki sebuah trauma?" wanita itu bertanya selembut mungkin padaku.
"Iya" aku menjawabnya dengan posisi kepala tetap menunduk.
"Bisa kau ceritakan padaku?" dia memperlembut suaranya dengan sorot mata pengertian tetapi juga memohon.Pada saat itu aku hanya menggeleng dan mulai panik. Karena aku diingatkan dengan trauma itu lagi. Akhirnya ibuku menceritakan secara singkat mengenai trauma yang ku alami. Aku yang mendengarkan cerita ibuku langsung menangis pada waktu itu.
Ya aku pernah hilang dikeramaian. Pada saat itu aku dan orang tuaku berada disebuah festival kota. Itu adalah janji ayahku setelah aku lulus SD. Aku adalah jenis orang yang suka jalan-jalan menghabiskan waktu bersama orang tuaku. Dibandingkan bersama teman-teman sebayaku.
Waktu itu sangat ramai karena kebetulan hari libur. Aku sangat kaget ketika aku menoleh aku tidak menemukan kedua orang tuaku. Memang aku berpisah dengan keduanya tetapi dengan jarak yang tidak begitu jauh. Sehingga mereka bisa memantauku dari depan. Pada saat itu aku terlalu asik memilih pernak-pernik yang ditata dengan rapi oleh sang penjual. Sehingga tidak menyadari kemana orang tuaku pergi. Awalnya aku berusaha untuk tenang sambil mencari kesana kemari tetapi nihil. Aku tidak menemukan keberadaan kedua orang tuaku. Aku hanya melihat orang-orang yang tampak asing hilir mudik di hadapanku. Mataku mulai berkaca-kaca hingga tangisku pecah. Aku histeris sambil memanggil ayah dan ibuku. Hari sebentar lagi akan gelap, ditandai dengan langit yang mulai memperlihatkan warna jingganya. Aku mulai merasa lelah sehingga secara refleks aku terduduk di tanah sambil terisak. Berada diantara orang-orang yang lalu lalang membuatku menjadi pusing dan akhirnya aku pingsan. Sungguh pada waktu itu aku sangat membenci mereka yang tidak memperdulikanku sama sekali.
Ketika sadar aku sudah berada di rumah. Entah bagaimana orang tuaku menemukanku pada saat itu. Awalnya aku marah pada keduanya karena tega meninggalkanku sendiri. Tetapi setelah ayahku menjelaskan bahwa pada saat itu ibuku kebelet mau buang air kecil dan ayahku akan menemani ibuku. Ayahku pun memanggilku, tetapi aku tidak mendengar karena selain suasana yang begitu ramai aku juga sedang asik memilih pernak-pernik dihadapanku. Karena aku yang dipanggil tidak mendengar dan ibu juga sudah tidak tahan ingin segera ke toilet. Mereka pun akhirnya meninggalkanku untuk sebentar. Mereka begitu lama karena harus antri terlebih dahulu dan ketika mereka kembali tau-taunya aku sudah dikelilingi orang-orang karena pingsan. Dasar orang-orang nanti sudah pingsan baru dipedulikan. Kata ayahku pada saat itu ibuku menangis karena khawatir. Maklum aku anak satu-satunya.
Setelah kejadian itu aku lebih sering dirumah dan tidak mau lagi diajak jalan-jalan. Orang tuaku selalu membujukku tapi aku tetap kekeuh pada pendirianku. Aku hanya keluar untuk ke sekolah dan kerja tugas. Aku akan kesekolah pagi-pagi sekali dan akan pulang ketika orang-orang sudah mulai sepi. Kesannya aku tidak suka bertemu dengan orang banyak. Kalau satu dua sih it's okay, tapi kalau sudah ramai aku akan panik terus pusing lalu pingsan.
Untuk urusan kerja tugas aku akan selalu mengundang mereka ke rumah. Sedangkan untuk urusan dalam kelas aku berusaha bertahan hingga akhirnya aku terbiasa. Meskipun awalnya aku sering dibawa ke UKS karena lagi-lagi pingsan ketika di awal pembelajaran. Aku tidak pernah menerima ajakan teman-teman untuk nonton, ke pesta ulang tahun, ke tokoh buku dan lain-lain. Teman-temannku sangat heran dengan kepribadianku. Aku yang selalu menyendiri, selalu diam, tidak pernah mengajak orang untuk ngobrol kecuali teman-teman dekatku, selalu menunduk jika berjalan dan tidak pernah tersenyum. Kalaupun mereka bertanya aku hanya manggut-manggut dan menggeleng. Pada akhirnya mereka menyerah dan bertanya-tanya kenapa aku begitu. Kecuali Dinda dan Hani teman dekatku, merekalah yang setia menemaniku. Ketika istirahat kami hanya akan memakan bekal kami, ketika pulang mereka akan menemaniku dulu hingga sekolah benar-benar sepi dan akan membelikan novel yang lagi best seller untukku jika aku meminta untuk dibelikan. Karena hanya mereka yang tahu tentang pobiaku. Aku sangat senang dan bersyukur memiliki sahabat seperti mereka.
Ketika upacara aku selalu diizinkan untuk tidak ikut dengan alasan aku tidak bisa berdiri terlalu lama. Wali kelasku pernah memanggil orang tuaku mengenai hal itu di sekolah. Tetapi setelah dijelaskan mengenai pobiaku. Beliau bisa memahami bahkan turut prihatin denganku. Menurutnya aku pasti tersiksa selama ini. Hidupku rasanya tidak berarti sama sekali dengan menjauh dari lingkungan dimana seharusnya aku ada berada ditengah-tengahnya. Beliau hanya berharap aku bisa melawanya agar bisa sembuh. Karena hanya aku yang bisa menolong diriku sendiri. Mungkin karena aku belum berusaha untuk mencoba keluar dari zona nyamanku. Dengan kata lain aku belum pernah mencoba apapun selama ini. Jika orang tuaku mengusulkan sesuatu aku hanya akan menangis.
Meskipun aku selalu melakukan konsultasi. Aku belum pernah mencoba apapun yang diperintahkan oleh psikolog. Aku bukannya tidak mau tapi takut jika nantinya sia-sia. Karena ketika mau mencoba aku merasa sangat tertekan. Sehingga orang tuaku tidak mau memaksaku.
"Nov, cobalah dulu". Dengan sangat memohon ibuku membujukku.
"Aku belum siap bu". Ucapku lagi-lagi sambil menangis.
Itulah percakapan yang sering aku dan ibuku lakukan jika ibu datang ke kamarku. Setelah beberapa kali akhirnya ibu menyerah. Ayahku entah apa yang dipikirkannya. Dia tidak pernah memohon padaku untuk berusaha sembuh dari pobiaku.
"Nov, bagaimana sekolahmu lancar?" hanya itu yang selalu ayahku tanyakan.
"Iya".
"Bilang saja kalau butuh sesuatu, akan ayah belikan".
Aku hanya menatap ayahku dengan perasaan sedih. Ayahku hanya akan menanyakan hal-hal seputaran itu. Tanpa menyinggung tentang pobiaku sama sekali.
Hm terima kasih ya klw ad yg baca. Dan jgn lp dikomen ya. Untuk part ini aku sengaja tdk terlalu bnyk dialog krn masih tahap introducing dl. Meskipun membosankan sih tp it usahaku utk menarik perhatian para readers. Ok sampai disini dl nnt di lanjutkan lg. Thank you.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Agoraphobia
Teen FictionNova bukanlah cewek normal seperti orang-orang yang bebas pergi kemanapun mereka mau. Dia adalah cewek yang memiliki phobia terhadap keramaian. Namun pada akhirnya dia harus melawan sendiri phobianya tersebut tanpa kedua orang tuanya. Dengan penuh p...