“Aku mau pulang.”
“Tapi in—”
“Ke rumah.” Harry tersentak kaget saat Alex berkata bahwa ia ingin pulang ke rumahnya. Harry berpikir bahwa Alex hanya mempunyai apartment dan tak mempunyai rumah. Dan nyatanya ia punya.
Kini Harry berjalan beriringan dengan Alex. Namun, Alex masih menunjukan wajah dinginnya. Alex tak berubah walaupun dinding yang kuat nan kokoh yang melindungi dirinya sudah runtuh akibat Harry sekarang. Dan Harry merasa bangga pada dirinya karena ia dapat menaklukan seorang Alexia Wells. Harry pun tahu, bahwa ia tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan Alex padanya.
Ia tahu jelas bahwa ia sudah mempunyai sedikit kepercayaan dari Alex. Kurang lebih empat puluh persen. Dan entah ia tak tahu kapan, Harry yakin bahwa ia akan mendapatkan enam puluh persen lagi kepercayaan dari Alex.
Dan itu bukan pekerjaan mudah untuk mendapatkan kepercayaan dari seorang Alexia Wells. Ia yang sudah kenal Alex hampir enam bulan lebih saja hanya mendapat empat puluh persen. Dan itu pun ia dapatkan hari ini, beberapa menit yang lalu.
Mungkin Alex terlalu lelah memendam kesengsaraannya sendirian. Mungkin Alex lelah berdiri sendiri di sisi lain dari tembok kokoh yang ia buat. Mungkin ia hanya butuh seseorang. Satu orang, tidak banyak. Yang bisa menjadi tempat untuk berbagi keluh kesah. Mungkin Alex baru menyadari bahwa berdiri sendiri itu sulit, dan akan lebih mudah jika ada seseorang di sampingnya. Terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang bermunculan di kepala Harry.
“Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Harry. Mereka duduk di halte dekat apartment Alex.
“Membeli mobil.” Untuk kesekian kalinya Harry dikejutkan oleh ucapan Alex. Saat Alex berucap bahwa ia akan membeli mobil, seolah yang ia ucapkan itu seperti ia akan membeli permen.
Banyak pertanyaan yang mengusiknya sedari tadi, Harry hanya terdiam dalam keterkejutannya. Ia memilih diam karena jika ia banyak bicara ia takut Alex malah mencabut kepercayaannya pada Harry. Dan Harry tidak mau itu terjadi. Gila saja, ia sudah mati-matian mendapatkan kepercayaan dari Alex. Lalu setelah ia mendapatkannya, kepercayaan itu musnah begitu saja karena kecerobohannya sendiri? Harry bukan orang bodoh.
Harry dan Alex langsung masuk ke dalam bus dan berhenti di depan pembelian mobil. “Pilihlah yang kau mau.”
“Tapi—”
“Jangan bilang kau tak bisa membawa mobil.”
Dengan wajah memerah karena kesal Harry berkata, “Tentu aku bisa!” Alex hanya menyenderkan dirinya di dinding dan memberi isyarat pada Harry agar cepat memilih. Dengan perasaan yang bercampur Harry pun mulai memilah mobil yang ada di sana.
Tak perlu waktu lama ia langsung memilih Rolls-Royce berwarna hitam. Setelah melakukan transaksi, Alex mengambil alih semua. “Kami ingin membawanya sekarang.” Setelah Alex bertanya apakah Harry mempunyai SIM, ia langsung memberikan kunci mobil itu pada Harry saat Harry mengucapkan kata punya.
Harry mencoba fokus mengemudi. Otaknya seolah sedang berkerja keras memikirkan Alexia. Pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul ke otaknya benar-benar membuatnya stress. Ia melirik Alexia yang duduk di kursi sebelah. Ia sedang sibuk dengan ponselnya sejak mereka berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Addict ♦ h.s.
Fanfiction[discontinue] Ini bukan cerita fantasi, maupun kisah para vampire. Ini hanyalah kisah seorang gadis yang kecanduan dengan bau cairan yang merupakan alasan mengapa dia masih hidup hingga sekarang. Cairan berwarna merah, yang menurut orang lain menaku...