Harry menghempaskan tubuhnya ke kasur yang ada di kamar yang telah disediakan untuk dirinya. Ia memejamkan matanya berusaha menghilangkan penat yang seakan terkumpul di kepalanya itu juga keterkejutan ia akan rumah—atau bisa juga disebut mansion mungkin— seorang Alexia Wells. Malah sekarang rasa penasarannya terhadap Alexia makin bertambah.
Menghembuskan nafas pendek, Harry bangkit dari tidurnya dan ia baru menyadari bahwa ia tak membawa pakaian—karena ia ke rumah Alex memang sangat mendadak tanpa ada rencana sedikit pun. Ia menepuk keningnya, “Bodoh.” dengusnya pada diri sendiri.
Harry berdiri dan berjalan menuju lemari kayu besar yang terdapat cermin view full-body, membuka lemari itu dan betapa terkejutnya ia saat melihat terdapat pakaian pria di sana. Dari luar sampai dalam. Menelan salivanya, Harry heran mengapa ada pakaian pria di sani.
“Mungkin peninggalan ayahnya.” ia mengambil beberapa pakaian yang sepertinya pas di tubuhnya, lalu menutupnya kembali. Ia kemudian berjalan menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri.
*
Alexia merekatkan cardigan ketubuhnya. Menatap bayangan dirinya di cermin, menatap dirinya sendiri dengan tatapan rapuh.
“Mengapa aku mengajak Harry ke sini? Apa yang telah aku lakukan? Aku sudah berjanji untuk tidak menjadi rapuh di depan orang-orang. Namun, beberapa jam yang lalu aku sudah menjadi sosok yang rapuh dihadapan seorang pria. Apa yang membuatku merasa seperti itu?”
Alexia menutupi wajah dengan kedua tangannya dengan siku yang bertumpu pada meja rias. Kepalanya sakit, seolah dirinya terbelah menjadi dua dan saling berargumen.
“Kenapa kau membawanya ke rumahmu? Kau baru setengah tahun mengenalnya dan kau sudah langsung saja mempercayainya begitu saja? Kau lemah sekali, Alexia! Lemah.”
“Tidak, Alex. Kau tidak lemah! Kelemahanmu itulah yang akan menjadikanmu lebih kuat. Kau hanya butuh seseorang yang bisa kau percayai, untuk membuat bebanmu berkurang. Kau hanya butuh seseorang yang bisa menenangkanmu, agar kau tak lagi—”
“Kau hanya akan dianggap manusia paling lemah jika kau mengandalkan orang lain. Kau sendiri yang bilang dulu bahwa kau tak ingin bergantung pada siapapun lagi. Dan sekarang kau malah membuat langkah awal untuk bergantung pada seseorang? Bodoh.”
“Menyimpan beban sendiri itu menyakitkan. Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri, Alex. Kau pasti lelah terus seperti ini, kau pasti bosan. Hanya seseorang yang bisa kau percayailah yang dapat meringankan bebanmu dengan bercerita padanya. Dan Harry adalah orang yang tepat. Jika bukan, kau pasti tidak akan membawa Harry kerumahmu ini, bukan?”
“Nona Alex?” Alex tersentak kaget mendengar suara orang yang berasal dari balik pintunya. Detik kemudian, pintu diketuk dan panggilan yang sama pun tersebut. Alex segera memakai cardigannya dan beranjak dari duduknya.
“Tunggu sebentar.” Ia berjalan ke pintu dan membukanya, “Oh, Ellie. Ada apa?”
“Makan malam sudah siap, nona. Saya berniat ke kamar tuan Harry untuk memberitahunya.” Alex mengangguk, “Permisi, nona.”
Alex menghela nafas saat Ellie berjalan menjauh darinya.
“Bergantung pada seseorang... mempercayai seseorang... berbagi beban...” Alex menegakan tubuhnya lalu menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju ruang makan. “Bisakah aku mempercayai Harry?”
*
Makan malam kali ini terasa berbeda bagi seorang Alexia Wells. Yang biasanya duduk sendiri dan hanya ditemani oleh berbagai santapan dihadapannya, sekarang ditemani oleh seseorang yang menerobos secara paksa ke dalam kehidupannya.
Ia takut orang yang ada dihadapannya ini bukannya membuat hidupnya lebih baik, malah membuatnya lebih buruk dari sebelumnya. Ia hanya takut orang yang ada dihadpannya ini merusak kepercayaannya yang ia titipkan pada orang itu walaupun belum sampai seratus persen.
“Alex, mengapa kau tidak makan?” orang itu, Harry memandang Alex yang melamun. Alex sedari tadi hanya memperhatikan makanannya setelah beberapa sendok makanan masuk ke mulutnya.
Pun Alexia tersadar dari lamunannya lalu memandang Harry yang menatapnya heran. Ia pun memalingkan wajahnya lalu meneguk air yang ada dihadapannya lalu beranjak dari duduknya, “Aku selesai.”
“Hah?” Harry memandangi punggung Alexia yang berjalan menjauh. Ia yang sudah terbiasa dengan sikap Alexia pun tak merasa aneh lagi.
“Apakah anda sudah selesai, tuan?” Ellie yang tiba-tiba datang mengagetkannya.
“Oh, iya, aku sudah selesai. Dan, Ellie, aku sudah bilang padamu bahwa panggil saja aku Harry. Mengerti?” tegas Harry. Ellie hanya tersenyum simpul dan mengangguk. “Kalau begitu biar aku bantu membereskannya, ya?”
“Tidak perlu, tu—Harry. Biar saya saja.” tolak Ellie sopan.
“Aku ingin membantu!” ujar Harry sembari membereskan piring-piring yang ada di meja makan. Ellie hendak mencegahnya, namun Harry sudah terlanjur membantu. Ellie tidak bisa menolak nat baik Harry jika sudah seperti ini.
“Simpan di mana ini?”
“Simpan di sana saja.” jawab Ellie menunjuk meja bar. Harry mengangguk mengerti. “Terima kasih anda sudah mau membantu saja, Harry.”
“Ah, sama-sama. Lagipula ini memang keinginanku, kok. Dan jangan terlalu formal, Ellie. Santai saja jika denganku.” Harry tersenyum lebar lalu duduk di kursi tinggi.
Ellie tersenyum, “Tentu.”
“Ellie, aku ingin bertanya padamu, apa boleh?”
“Tentu saja boleh, Harry.” jawab Ellie yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Kenapa Alex dingin sekali orangnya? Apakah dulu ia seperti itu?” tanya Harry. Ellie tersentak kaget sampai-sampai gelas yang sedang dipengangnya hendak jatuh ke lantai. Harry yang melihat itu pun sedikit heran mengapa Ellie terkejut akan pertanyaan yang dilontarkan olehnya tadi. “Ada apa, Ellie? Ada yang salahkah akan pertanyaanku tadi?”
Ellie menggeleng cepat dan menaruh piring yang ia pegang tadi lalu berbalik menatap Harry, “Tidak ada yang salah akan pertanyaanmu. Hanya saja...” Ellie menggantungkan ucapannya seolah ia ragu hendak melanjutkan.
“Hanya saja apa?” tanya Harry semakin penasaran.
Ellie memandang kesekeliling waspada yang membuat Harry bingung, “Ada apa, Ellie?”
Ellie menggeleng, “Apakah kau benar-benar ingin tahu semuanya tentang nona Alex?” tanya Ellie serius.
Dengan antusias yang berlebih Harry mengangguk cepat, “Tentu saja!”
“Kenapa kau ingin mengetahui tentang nona?”
“Karena aku ingin mengenal Alex lebih jauh.”
“Kenapa kau ingin mengenal nona lebih jauh? Niatanmu itu buruk, kah?”
Harry mendengus kesal, “Apakah aku sedang diintrogasi olehmu, Ellie.”
“Oh, maaf, lancang sekali aku.” ujar Ellie menundukan kepalanya. “Tapi, semua pertanyaan yang kulontarkan tadi benar-benar serius. Aku hanya tidak ingin nona tersakiti lagi.”
Mengkerut kening Harry mendengar ucapan Ellie, “Apa maksudmu dengan tersakiti lagi? Apakah ia pernah tersakiti sebelumnya.”
Pikiran Ellie bermain-main dengan memorinya, ia menerawang kejadian tujuh tahun lalu. “Sebenarnya nona Alex dulu adalah gadis yang ceria, ramah dan baik hati.”
“Lalu apakah yang menyebabkannya berubah? Karena orang tuanya, 'kah?”
Air wajah Ellie terlihat sangat terbaca oleh Harry yang sedetik kemudian wajah Harry berubah menjadi murung. “Sudah lama sekali. Tujuh tahun yang lalu...”
*
A/N: HIIIIIIIIII *tebar bunga* MASIH ADAKAH YANG NUNGGU FF ANEH INI?! '-')/ *krikkrik* engga ada, ya? u.u Maaf ya lama banget updatenya, soalnya sibuk sama sekolah, sih. TO, US, Ujian Praktek belum nanti UN, huh! Resiko kelas sembilan :"""
Jangan lupa apresiasinya yaaa~
Arigatō gozaimasu!~~^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Addict ♦ h.s.
Fanfiction[discontinue] Ini bukan cerita fantasi, maupun kisah para vampire. Ini hanyalah kisah seorang gadis yang kecanduan dengan bau cairan yang merupakan alasan mengapa dia masih hidup hingga sekarang. Cairan berwarna merah, yang menurut orang lain menaku...