3 - "I Didn't Suicide."

1.9K 191 9
                                    

Alexia Wells berjalan menatap lurus kedepan tanpa mempedulikan sekelilingnya. Untuk apa peduli pada orang sekelilingnya, jika orang disekelilingnya tidak mempedulikan dirinya? Peduli pada orang yang tidak peduli pada kita itu, hanya menghabiskan waktu. Bagi seorang Alexia Wells.

Ia membuka pintu apartementnya dan segera masuk kedalamnya. Ia melepaskan blazer yang ia pakai. Terlihatlah goresan-goresan luka yang ada dilengannya. Goresan luka yang ia buat sendiri untuk memenuhi hasratnya.

Ia memang selalu memakai blazer ataupun cardigan untuk menutupi luka-lukanya agar tak terlihat oleh orang lain.

Alex duduk disofa santainya. Ia menutup matanya berusaha menghilangkan segala penat yang seolah bertumpu di kepalanya. Tangan kanannya merayap pada kepalanya, memijit pelan mencoba menghilangkan sakit yang menyerang kepalanya.

Ia membuka laci meja yang berada disamping sofa santainya. Mengambil benda kesayangannya. Entah kenapa akhir-akhir ini, ia merasa lebih tertekan dan kesepian. Padahal sebelum-sebelumnya sama.

Alex mendekatkan benda kecil itu di sisi pergelangan tangannya. Ia menggoreskannya dengan cepat. Namun tak sengaja ia menggoreskan lebih panjang dari target sebelumnya, karena terkejut atas suara bunyi ketukan pintu.

“Sial!” Geramnya.

“Alexia?” Alex yang masih mencari sapu tangan, kain atau apapun itu yang bisa menutupi lukanya. Namun terlambat. Karena tidak sabar, tamu itu langsung menyerobot masuk dan ia juga tak kalah terkejut melihat darah yang mengalir di pergelangan tangan Alex.

“Alex?! Ya tuhan, kau kenapa?” Tanyanya panik. Ia berlari mendekat kearah Alex. “Kotak P3K dimana?!” Alex menunjuk bupet didekat televisi. Orang itu langsung berlari dengan cekatan dan mengambil kotak P3K disana. Ia kembali lagi dan berlutut didepan Alex.

“Harry, kau mengikutiku?” Orang itu—Harry mengabaikan pertanyaan Alex. Ia sibuk mencari Rivanol dalam kotak P3K.

“Mana rivanolnya?” Gumam Harry panik.

“Disana ada alkohol.” Ujar Alex datar.

Kening Harry berkerut cepat, “Al-alkohol? Kau tidak akan kesakitan? Lebih baik rifanol. Aku tahu bahwa alkohol membersihkannya lebih bersih dari rivanol. Tap—”

Alex memutar bola matanya. “Sini. Biar aku saja yang mengobati lukaku. Kau terlalu banyak berbasa-basi.” Alex hendak mengambil kotak P3K di tangan Harry. Namun Harry langsung menariknya menjauh dari Alex.

“Biar aku saja.” Harry meletakan kotak P3K dilantai. Ia mengambil alkohol dan kapas. Menyerapkan alkohol ke kapas.

Harry mengigit bibir bagian bawahnya seakan ia yang merasakan sakit luka yang dibersihkan oleh alkohol, “Tahan sedikit, ya. Pasti ini akan sakit.” Harry menarik pelan lengan kiri Alex dengan halus dan mulai menusapkannya pelan ke daerah luka Alex.

Alex tertegun saat Harry menarik tangannya. Darahnya seakan berdesir saat kulit Harry menyentuh kulitnya. Dan ia belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.

Alex mengeraskan rahangnya. Sakit. Dan Alex sendiri bingung kenapa sekarang ia merasakan sakit yang padahal sebelumnya jarang ia rasakan. Padahal biasanya, ia tidak akan meringis maupun merasa kesakitan saat ia mengobati lukanya.

Namun, saat Harry yang mengobati lukanya. Malah rasa sakit itu timbul secara tiba-tiba.

Setelah selesai membersihkan luka Alex, Harry menyimpan kapas tadi di lantai. Lalu meniup daerah luka Alex itu.

Alex tertegun untuk kedua kalinya, melihat Harry yang sedang meniup lukanya. Tak pernah ada sebelumnya lelaki yang memperlakukannya seperti ini. Tiba-tiba ia teringat dengan ibunya yang mengobati luka Alex waktu ia berumur lima tahun, terjatuh dari sepeda.

Alex langsung mengusir pikiran tentang masa lalunya itu.

Harry mengambil obat merah dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya masih memegang lengan Alex. Dengan telaten, Harry meneteskan pelan obat merah ke luka Alex.

Lagi-lagi Alex merasakan sakit itu. Sial! Umpatnya dalam hati.

Harry melepaskan tangannya dari lengan Alex untuk menggunting kasa dan plester.

Entah kenapa, Alex merasakan lengannya dingin saat tangan Harry terlepas dari lengannya. Namun kembali menghangat saat Harry menyentuh lengannya lagi.

Setelah selesai dengan tugasnya, Harry memasukan kembali peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan itu ketempatnya. Dan menyimpannya keatas meja didekat kursi santai Alex, juga bekas kapas untuk membersihkan luka Alex tadi.

Harry duduk dilantai menunggu Alex berkata sesuatu. Namun, Alex masih bergeming ditempatnya tanpa berucap apapun. Risih dengan tatapan Harry, Alex pun akhirnya membuka mulutnya untuk berkata sesuatu, “Apa?” Ketusnya.

Senyuman berganti kerutan dibibir Harry. Ia kira Alex akan berkata ‘terimakasih’ padanya. Ternyata, tidak. “Aku kira kau akan berkata terima kasih padaku.”

“Aku tidak meminta bantuanmu tadi. Kau sendiri yang mengobati lukaku, padahal aku bisa sendiri.”

Keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa menit. Namun, Harry segera memecahkan suasana sunyi itu. “Tadi, kau mau bunuh diri, ya?”

Alex membelakan matanya, “Apa? Bunuh diri? Tentu saja tidak. Aku masih mau hidup.” Alex sama sekali tidak pernah berpikir untuk bunuh diri. Walaupun ia merasa kesepian dan tak punya teman. Ia masih mau hidup.

Harry menatap Alex, dan bertanya dengan polos yang membuat Alex bergeming tak menjawab. “Lalu, untuk apa kau mengoreskan silet disisi pergelangan tanganmu?”

A/N: Vote and Comment, please?

And 10+ votes if you want me keep next this stange story!

P.S: I Love You, yes You! Who vote and comment my story.

Thankyou

Blood Addict  ♦ h.s.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang