Harry Styles memandang keluar jendela dengan pandangan kosong. Ia termenung memikirkan pujaan hatinya. Bahkan kopi—masih penuh yang ada di depannya sudah mendingin. Dan sahabat karibnya yang sedari tadi duduk di depannya, ia abaikan. Seolah hanya ia sendiri yang duduk di sana.
Louis Tomlinson mendesah kesal melihat sahabatnya yang tak kunjung bicara juga. Pulang dengan wajah babar belur dan perubahan sikap yang drastis membuat Louis enggan pergi sebelum Harry menjelaskan apa yang terjadi padanya. Bagaimana pun juga, Louis sudah menganggap Harry sebagai adiknya sendiri.
Kesunyian benar-benar membuat Louis geram, di tambah lagi rasa kantuk yang berkali-kali menyerangnya—padahal ia sudah menghabiskan secangkir kopi—membuat ia ingin segera kembali ke flatnya dan merebahkan diri di kasurnya yang empuk. Tentu jika ia tidak peduli pada Harry, ia sudah melakukan hal itu sedari tadi. Ayolah, mereka sudah bersahabat tiga tahun lebih!
“Bicaralah, Styles. Atau aku akan pulang dan membiarkanmu sendiri di sini sendiri termangu seperti orang kehilangan akal.” Cetus Louis akhirnya setelah ia benar-benar tidak tahan akan sikap Harry.
Harry tetap diam selama beberapa menit lalu kemudian kepalanya bergerak memandang lengannya. Louis yang melihat hal itu pun mengerutkan keningnya bingung. “Harry, kau—”
“Apa yang kau pikirkan tentang self-harm, Lou?” Intrupsi Harry seraya mengalihakan pandangannya pada Louis.
“Kau psikolognya. Mengapa bertanya padaku?” Louis mengukir senyum miring di bibirnya. Ada sedikit nada ejekan dalam ucapannya.
Harry terdiam sesaat. “Apakah mungkin Alex mengalami depresi atau frustasi yang berlebihan yang menyebabkan dirinya melakukan hal itu?”
Louis terbelak memandang Harry, ia tidak bisa mengucapkan apapun. Yang ia rasakan adalah tenggorokannya yang tercekat dan kata-kata yang hendak keluar melalui mulutnya tersendat di sana. “Tapi ia terlihat biasa saja jika di kampus. Tak terlihat seperti orang yang sedang depresi maupun frustasi. Namun, aku pernah melihat gurat kesedihan yang mendalam pada mata birunya itu. Dan aku juga pernah memergokinya sedang menyayat bagian lengannya dengan silet, ia bilang bahwa ia tidak bunuh diri. Ia masih ingin hidup. Lalu aku bertanya mengapa ia mengoreskan luka itu, ia tidak menjawab.” Oceh Harry.
“Aku tidak mengerti...” Harry termenung mengingat kembali luka-luka bekas sayatan di tangan Alex—yang dapat ia duga adalah sayatan oleh sebuah silet—membuatnya sedikit ngeri. Semua berputar dengan cepat di otaknya, seolah otak Harry adalah sebuah mobil balap yang melaju di putaran terakhir.
Luka sayatan, peralatan pertolongan pertama, anti sosial, Alexia Wells, self-harm...
Itu tidak mungkin! Harry membantah pikirannya sendiri. “Lebih baik kau tanya langsung secara baik-baik saja pada Alex.”
Harry menatap Louis putus asa, “Aku tidak yakin ia akan menjawab pertanyaanku.”
“Memang biasanya ia menjawab? Tidak 'kan? Dan yang membuat ia menjawab pertanyaanmu adalah dirimu sendiri dan bagaimana kau mengajukan pertanyaan itu. Juga yang paling penting kau harus berhati-hati akan ucapanmu. Kau pernah bilang padaku bahwa Alex adalah orang yang sensitif.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Addict ♦ h.s.
Fanfiction[discontinue] Ini bukan cerita fantasi, maupun kisah para vampire. Ini hanyalah kisah seorang gadis yang kecanduan dengan bau cairan yang merupakan alasan mengapa dia masih hidup hingga sekarang. Cairan berwarna merah, yang menurut orang lain menaku...