2.Gravitasi Cinta

2.6K 205 4
                                    

.
.
.
.
.
Hari ini rintik demi rintik air hujan mulai menetes ke bumi. Awan yang bergradasi abu itu tampak melengkapi penjuru langit sore hari. Akhdan tampak mendesah kesal kala mengetahui dari kaca ruang kantornya yang berembun. Akhir akhir ini cuaca memang sedang tak menentu. Kadang terang, hingga membuat sinar matahari menyengat begitu panas. Kadang juga dingin, hingga membuat penjuru bumi terguyur hujan sampai sehari penuh.

"Cuaca bisa juga labil, kayak hati gue aja." Cetusnya seraya bangkit dari tempatnya. Ia berjalan menuju kaca jendela tersebut. Sedetik kemudian tangannya terangkat pada kaca berembun tersebut. Menorehkan dua buah huruf bertuliskan 'RZ'. Entah apa maksud pria berumur 17 tahun itu. Sejenak pikirannya tentang semrawut pekerjaannya itu menghilang terganti dengan sebuah tweet yang ia baca tadi. Ralat, bukan tweet tersebut melainkan pemilik akun tersebut.

'Cklekk'

Sebuah suara pintu terbuka membuyarkan lamunan Akhdan tentang pemilik akun tersebut. Ia segera menengok ke arah pintu tersebut, siapa yang berani membuka pintu ruangannya tanpa ketukan ? sangat tidak sopan.

"Please,,, bisa tolong ketuk pintu dulu, nobita."
Ya, sang adiklah yang langsung nyelonong masuk itu.

"Please,,, jangan sebut gue dengan panggilan itu." ucap Afkar sembari menarik sebuah kursi dan mendudukinya.

"Bahkan kalau muka lo ketambahan kacamata bunder dan rambut lo rapi belah tengah udah pantes dah lo gantiin nobita syuting." ledek Akhdan yang hanya dibalas dengusan sebal sang adik. Afkar terlalu malas berdebat. Bahkan niatnya tadi ke kantor sang kakak adalah untuk merilakskan pikirannya sejenak tentang hukumannya tadi bersama Zira yang penuh dengan konflik itu. Tapi, justru baru masuk ruangan sudah mendapat ejekan yang tak enak. Sungguh menyebalkan.

"Tuh muka kenapa lecek gitu ?" tanya Akhdan seraya menarik sebuah kursi yang berhadapan dengan Afkar.

"Di sekolah gue ada murid baru cewek. Sumpah nyebelin banget. Tuh cewek itu gak ada anggun anggunnya gitu. Gaya udah kayak preman perempatan. Ngomongnya juga apa lagi." cerocos Afkar.

"Berarti sama dong kayak lo. "

"Anjritt! Kenapa lo samain gue kayak dia. Jelas beda, peak! Otak gue mah pinter. Lah dia otak aja setengah."

"Dan lebih parahnya lagi tadi gue itu kena hukuman juga karena dia!" lanjut Afkar yang masih ngedumel tak jelas. Lelaki itu terus saja menumpahkan kekesalannya, yang justru hanya di diamkan saja oleh Akhdan. Sang kakak rupanya terlalu sibuk bermain ponselnya.

"Lo emang beneran ya. Gue udah ngomong panjang lebar lo acuhin kayak gitu. Sakittt hayatiii." rengek Afkar sembari memegang dadanya, berlagak sok dramatis.

"Baru tau gue nobita sekarang alayy. " celetuk Akhdan yang langsung dihadiahi jitakan manis dari sang adik.

"Aduhhhh. Durhaka lo sama abang sendiri."

"Emang lo abang gue ?" sewot Afkar seraya beranjak dari tempat. Lelaki itu memilih segera pergi saja dari ruangan sang kakak.

"Eh tunggu..." tutur Akhdan membuat Afkar langsung menoleh malas.

"Nanti malem jangan ngeluyur kemana mana. Ada jadwal check up." Afkar dibuat berdecak kesal, kala mendengar ucapan terakhir sang kakak. 'check up' Hal yang paling ia benci dari dulu namun masih ia jalani sampai sekarang.

"Hmm" gumam Afkar dengan malas. Kemudian segera beranjak pergi dari ruangan kakaknya. Akhdan hanya menggeleng pelan melihat tabiat sang adik. Afkar memang tak pernah berontak ataupun menyerah tentang pengobatan yang ia jalani selama ini. Ia bahkan selalu menuruti perintah dokter serta beberapa larangan lainnya demi kesehatannya itu. Namun, adik semata wayangnya itu selalu saja bersikap acuh kala membicarakan hal 'sensitift' tersebut.

BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang