8.Katakan Cinta

2.7K 199 81
                                    

.
.
.
.
.
Hening melingkupi suasana yang terjadi pada kakak beradik ini. Satu jam yang lalu, setelah pulangnya Zira ada yang mengganjal dari Akhdan. Jika biasanya pria itu akan membombardir pertanyaan setelah Afkar bangun justru semenjak Afkar terbangun tadi tak ada sepatah katapun yang di lontarkan Akhdan.

Afkarpun jadi enggan untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu. Pasalnya sikap kakaknya itu sedari ia terbangun terkesan cuek. Sedikit heran memang kala melihat sikap Akhdan yang terkesan acuh itu. Sungguh tidak biasanya pria itu seperti ini. Apa lagi bertahun tahun diperlakukan istimewa oleh kedua orang tuanya karena fisiknya yang memang lemah juga tak pernah membuat Akhdan terlihat iri ataupun memberontak akan kasih sayang Heni dan Prasaja yang dipenuhkan hanya untuk si bungsu, Afkar. Atau mungkin Akhdan juga memendam rasa irinya itu ? Hingga membuat kakak satu satunya itu memilih untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Tapi entahlah Afkarpun tak tau akan sebab sikap Akhdan yang hari ini cuek terhadapnya itu.

"Kak" tak tahan dengan suasana sunyi itu, Afkarpunlah yang memulai pembicaraan.

"Hmm" jawab Akhdan dengan singkat.

"Lo kenapa sih ?" tanya Afkar yang langsung to the point. Yang ditanya justru tak menjawab dan hanya diam menyibukkan dirinya dengan sebuah ponsel.

"Kak, jawab dong" gerutu Afkar dengan kesal. Sekali lagi Akhdanpun diam tak menyahut.

"Akhdan gue nanya sama lo !" tegas Afkar yang kini telah mengubah panggilan yang semula 'Kak' menjadi nama. Jika memang telah seperti ini, pertanda bahwa Afkar memang telah benar benar kesal.

Ucapan Afkar yang sedikit membentak itu membuat Akhdan mengangkat kepalanya menatap sang Adik dengan malas. Tak tega juga jika harus mendiamkan Afkar. Ah__ia sendiri juga bingung. Kenapa ia menjadi kesal kepada Afkar kala Zira semakin dekat dengan sang Adik ? Entahlah iapun sendiri tak tau.

"Lo mendingan istirahat. Gue mau keluar nyari makanan" sahut Akhdan dengan dingin yang langsung beranjak dari tempatnya. Akhdan pergi berlalu tanpa menunggu jawabab Afkar. Pria itu juga sedikit membanting pintu rawat Afkar, membuat sang adik yang tengah menatapnya bingung itu memejamkan mata. Seketika kala suara dentuman keras pintu tersebut terdengar, jantungnya sedikit tercubit nyeri.

"Maaf, Kak" Hanya itu yang mampu Afkar katakan kala memandang sang Kakak pergi. Afkar tak terlalu bodoh untuk mengetahui penyebab di balik dinginnya sifat Kakaknya itu. Ia sangat paham dan sangat tau sebabnya. Ia baru menyadari itu kala beberapa menit setelah Akhdan meninggalkan ruangannya. Bukan tak lain karena perlakuan manis Zira terhadapnya tadi.

"Lo bodoh Afkar !!" umpatnya memaki diri sendiri.

***

Akhdan memandang pilu keramaian kota Jakarta dari atas Roftop Rumah Sakit. Ucapan dustanya tadi pada Afkar membawanya menuju Ruangan ini. Ia mengadah menatap langit yang kini telah bergradasi menjingga. Sang surya akan kembali ke perpaduannya. Menyisakan gelap malam. Gelap. Itulah mungkin kini yang telah menguasai hatinya. Ah__bukan sepenuhnya gelap, hanya Abu Abu mungkin. Tapi tetap saja tak ia pungkiri warna hitam gelap kini sedang mendominasi hatinya.

Akhdan menghela napas berat. Pikirannya terasa sesak, terisi penuh oleh beban beban yang ia pikul. Hingga satu beban yang kini telah membingungkan hatinya. Ia merasa sangat bodoh karena telah mendiamkan sang Adik hanya karena perlakuan Zira yang terlihat manis kepada Afkar.

"Gue gak ngerti. Gue gak ngerti sama perasaan ini. Kenapa gue ngerasa aneh waktu Rista bersikap manis sama Afkar. Ada rasa gak rela yang gue sendiri gak tau apa maksud rasa itu. Afkar adek gue. Rista__" Rasanya untuk melanjutkan perkataannya saja sangat sulit.

"Sebenarnya gue kenapa sih ? Arghhhh!!!" Akhdan mengusap kasar wajahnya. Sungguh tak hanya gelap yang kini tengah menguasai hatinya. Bimbang, itulah yang kini ia rasakan.

BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang