4.Air Mata

3.3K 248 26
                                    

.
.
.
.
.
Sang surya mulai menampakkan wujudnya di cakrawala sebelah Timur. Burung burung berlalu lalang terbang menghiasi langit kala pagi hari. Malu malu sinar matahari menyusup kaca jendela kamar berdominasi Putih Biru itu. Seperti biasa, rutinitas Afkar kala pagi hari adalah Bangun kala jam sudah menunjukkan pukul 06.30, tak lupa membanting jam weeker di sebelah nakas tempat tidurnya, dan yang terakhir omelan sang bundapun menggema menggelegar di penjuru sudut rumah.

'Pranggg'

Dengan tragis jam weeker berbentuk tokoh kartun kesayangannya itu pecah.

"Awsss shh..." Afkar meringis sembari memegangi dada sebelah kirinya kala ia merasakan nyeri saat mencoba bangun. Ternyata bekas nyeri semalam masih terasa. Tadi malam, tepatnya jam 1 dada Afkar terasa sakit. Tapi, ia mencoba menghiraukan dan memilih menikmati rasa sakitnya itu.

'ceklek'

Pintu berwarna putih itu terbuka. Menampilkan Heni dengan wajah sedikit kesal. Ia hendak memarahi putra bungsunya itu karena belum bangun bangun, padahal jam telah menunjukkan pukul setengah tujuh. Namun, sesaat wajahnya pias melihat Afkar yang meremas dadanya begitu kuat seolah menahan sakit yang luar biasa yang menghantam jantungnya. Wajah putranya itu terlihat pucat tak berdarah. Dengan buru buru Henipun mendekati Afkar.

"Hey sayang kamu kenapa ? Dadanya sakit lagi ? Bentar bunda ambil obat kamu dulu ya." Dengan cemas Henipun segera meraih beberapa tabung obat serta segelas air putih disamping nakas tempat tidur putranya.

"Ini minum dulu." Suruh Heni. Afkarpun segera meraih obat obat itu dengan tangan gemetar. Heni menatap cemas sang putra saat menunggu obat itu bereaksi. Cukup lama obat itu bereaksi. Hingga 5 menit kemudian, nafas Afkar yang terengah rengah kembali normal.

"Sampai kapan kamu kayak gini, sayang ?" Tanya Heni dengan senyum getir sembari mengusap lembut puncak kepala Afkar. Rasanya kala melihat penyakit Afkar kambuh, ingin rasanya ia menggantikan Afkar. Merasakan bagaimana jantung sialan itu bereaksi. Namun apa daya. Tuhan lebih senang menggoreskan kesakitan itu pada putra bungsunya. Tapi Heni selalu yakin bahwa pasti Tuhan tidak akan nemberi cobaan diluar batas kemampuan hambanya. Sesakit apapun yang dirasakan oleh Afkar, ia yakin putranya itu pasti akan selalu kuat. Tanpa ia ketahui bahwa sesungguhnya keadaaan baik baik saja itu hanya topeng semata.

"Bunda jangan nangis. Afkar gak suka lihat air mata bunda. Afkar benci air mata bunda." Tutur Afkar lemah sembari mengusap lembut air mata Heni.

"Afkarnya bunda harus sembuh. Nobitanya bunda harus bisa ngajak bunda jalan jalan ke keliling dunia pakek baling baling bambu." Dengan lembut Heni membawa Afkar kedalam dekapannya. Kala itu juga air matanya jatuh tak terkendali. Ia dekap sosok yang telah ia rawat selama 16 tahun itu.

"Bunda, Afkar udah gede. Masih aja bahas itu. Mau 17 tahun ini. Mau punya KTP sendiri. Terus bisa ikut pemilu deh." Dengan kekehan pelan Afkar menjawab, mencoba mengusir suasana sedih diantara dia dan sang bunda. Sungguh Afkar sangat benci suasana ini.

"Udah gede kok masih suka nonton doraemon." Ucap Heni seraya melepaskan dekapannya. Ia tatap lembut mata hitam milik putranya.

"Bunda juga udah tua kok masih aja cengeng." Dengan lembut, untuk yang kedua kalinya Afkar mengusap jejak air mata dipipi Heni. Dari dulu hingga sekarang hal yang paling ia benci adalah melihat buliran bening air mata itu menetes dari mata Heni karena jantung sialannya ini. Sungguh dia sangat benci.

"Ya udah Afkar mau mandi. Telat sekolah nanti, bunda." Afkar hendak beranjak dari tempatnya, tapi dengan cepat Heni mencegahnya.

"Siapa yang nyuruh kamu berangkat sekolah."

BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang