3. Ingin Menyerah

3.1K 233 6
                                    


.
.
.

Berkali kali Zira membolak balikkan beberapa berkas serta album foto yang berdebu itu. Foto jadul dengan Filter hitam putih itu tampak berdebu dengan beberapa noda yang telah mengotori. Bukan tanpa sebab Zira nekat mengendap ngendap menuju ruang kerja sang ayah begini. Ia yakin seratus persen jika ayahnya tau, tewas sudah ia ditempat. Ya, apa lagi kalau bukan mencari identitas si penghancur keluarganya. Setelah cukup lama membolak balikkan beberapa berkas yang hasilnya nihil, ia pun beralih pada sebuah album foto usang. Namun, naas juga beberapa foto yang ia yakini sebagai kunci pembalas dendamnya itu justru telah lapuk oleh beberapa noda debu.

"8 September" Gumam Zira memandingi selembar foto dengan noda yang kentara, membuat sebagian dari foto itu telah luntur tak terlihat. Hanya terlihat ayahnya serta seorang anak laki laki yang wajahnya tak terlihat karena foto yang telah luntur.

Namun, Zira sedikit lega karena ia menemukan petunjuk sebuah tanggal yang berada dibelakang foto tersebut.

"Gue yakin difoto ini adalah anak papa yang cowok itu. Ck, sayang gak kelihatan lagi mukannya." Gerutu Zira.

Walaupun menggurutu kesal akhirnya Zira mengantongi selembar foto tersebut. Tak lupa ia membereskan beberapa berkas. Setelah itu memutuskan pergi meninggalkan ruang kerja sang ayah, sebelum sang ayah masuk dan mengetahui ketidaksopanannya.

***

"Saya sudah bilang berkali kali, Akhdan. Melakukan aktivitas terlalu berat serta melalaikan obat itu suatu hal yang sangat buruk untuk Afkar. Kondisi jantungnya yang telah lemah dari lahir itu sama sekali tak memungkinkan dia untuk melakukan aktivitas terlalu berat terutama olahraga yang terlalu berat."

"Saya sudah berkali kali mengingatkan dia, dok. Tapi untuk meninggalkan olahraga sangat sulit bagi Afkar. Afkar sangat suka dengan basket. Dokter pasti tau sendiri kan."

"Tapi itu adalah pantangannya, Akhdan. Jantung Afkar itu sangat lemah. Bisa bertahan dari lahir sampai sekarang itu suatu anugrah yang harus kalian syukuri. Biasanya cacat jantung seperti yang diderita Afkar hanya akan bertahan tak lebih dari 10 tahun. Tapi lihat Afkar mampu melewati semuanya walau berulang kali dia harus mengalami koma selama berbulan bulan. Jangan buat semua usahanya sia sia, Akhdan."

Akhdan mematung. Didalam hati dia membenarkan perkataan Dr. Yunus. Jika Afkar menyerah tak bisa ia bayangkan bagaimana kedua orang tuanya nanti. Jika jantung sialan itu mulai berhenti tentu dapat dipastikan ia akan memilih mati saat itu juga. Apa lagi sikpa keras kepala Afkar yang menambah panjang daftar kekhawatirannya. Sikap Afkar yang selalu saja tak pernah mengindahkan larangan larangan dari Dr Yunus, membuat ia selalu ketar ketir mengkhawatirkan kondisi sang adik.

***

Mobil hitam sport itu melaju dengan kecepatan sedang di sepanjang jalan ibu kota. Lantunan lagu yang dinyanyikan oleh Lala Karmela berjudul 'Satu Jam Saja' itu menambah kesan sunyi diantara Afkar dan Akhdan. Afkar duduk dikursi kemudi seraya sibuk memainkan game di ponselnya. Sedangkan Akhdan, entahlah. Sebagian pikirannya itu melalang buana. Penjelasan Dr Yunus tadi tentunya yang ia pikirkan. Sedari tadi ia hanya terdiam setelah memasuki mobil.

"Lo kenapa dari tadi diem mulu sih ? Mikirin penyakit gue ? Udahlah gak usah dipikirin. Dokter bilang apa lagi sama lu ? Bilang gue mau ma- "

'Citttt'

Penuturan Afkar terpotong, kala dengan kasar Akhdan mengerem mobilnya. Untung saja kini dia telah memasuki komplek perumahannya yang cukup sepi. Jadi tidak ada kendaraan lain yang nantinya justru akan bertabrakan.

"Awssss shhh"
Rupanya efek dari rem dadakan itu berefek buruk bagi Afkar. Lihat saja, kini dadanya justru terasa sesak akibat dari keterkejutannya tadi. Tangan yang tadinya sibuk dengan ponselnya kini beralih meraba dadanya. Rasa nyeri mulai menjalar kala ia menarik nafas.

"Stop bilang itu didepan gue Bangsaat!!!" Bentak Akhdan yang tak menghiraukan rintihan dari Afkar. Namun seperkiam detik kemudian, ia meraih dengan kasar plastik putih di dashboard mobilnya yang berisi obat obatan Afkar. Dengan gerakan cepat Akhdanpun membuka satu persatu tabung obat itu, dan segera menyerahkan kepada Afkar.

"Gue cuma minta satu hal sama lo, tolong seenggaknya jaga jantung itu, Afkar." Dengan lirih Akhdan bertutur. Matanya mulai memerah dan berair. Untuk menyembunyikan air matanya itu ia memilih menundukkan kepalannya ke stir mobil.

"Gue gak bisa janji. Lo tau, gue udah terlalu capek sama semua ini. Gue capek terus terusan ketergantuangan sama obat itu. Gue capek nahan sakit ini. Gue capek selalu berusaha baik baik aja. Hal yang ngebuat gue bisa bertahan sampek sekarang itu cuma Ayah, Bunda, sama lo. Itu yang ngebuat gue bertahan sampek sekarang."

Masih dengan suara yang parau Afkar menjawab. Tubuhnya terlalu lemas untuk sekedar berbicara tegap seraya menatap mata elang Akhdan, memastikan jika pria itu tidak menangis lagi. Afkar hanya berbicara seraya memandang ke arah luar jendela kaca mobilnya.

"Jangan buat semuanya sia sia, Afkar."

***

Kerlap kerlip perhiasan malam menemani kesendirian Afkar. Ada bintang yang dengan riang menari memancarkan sinarnya, serta ada juga bulan yang dengan tenang memancarkan cahayanya. Dulu, ketika usianya belum menginjak 14 tahun setiap malam kala bulan dan bintang bersinar terang dilangit malam, dibalkon kamarnya ini ia selalu menangkupkan tangannya seraya berkata bahwa ia takkan pernah menyerah kepada penyakit ini dan penyakitnyalah yang akan kalah kepadanya. Namun sekarang ia sadar bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi. Dan dia merasa menjadi makhluk paling menyedihkan dibumi ini. Hidupnya selama belasan tahun ini hanya menyusahkan orang orang disekitarnya dan membuat bundanya selalu menangis. Selalu membuat ayahnya meninggalkan pekerjaanya kala penyakitnya kambuh. Selalu membuat sang kakak khawatir. Semerepotkankah itu dirinya selama ini ?

"Untuk pertama kali lagi gue minta sama lo bintang, sampein ke Tuhan gue capek sama semua ini. Gue capek terus terusan buat orang orang disekitar gue khawatir. Apa lagi bunda sama Kak Akhdan yang selalu gue buat nangis. Ayah yang selalu gue repotin. Tapi, kalau gue nyerah apa mereka juga bakal bahagia ? Tapi disisi lain gue juga capek, gue ca--."
Tutur Afkar didalam hati.

Sejenak ia menunduk, menahan laju air matanya. Tak sanggup lagi ia melanjutkan perkataannya.

'tokk...tokk..'

Suara ketukan pintu membuyarkan kesedihannya. Afkar segera menegakkan tubuhnya, sembari mengusap kasar setitik air matanya.

"Masuk".

"Sayang, bunda panggil panggil dari tadi kok gak nyaut. Yuk turun. Makan malamnya udah siap." Ucap Heni berjalan mendekati Afkar.

"Eh iya bun. Maaf tadi Afkar gak denger."

"Mata kamu kenapa merah ? Kamu habis nangis ?" Tanya Heni kala mengetahui mata Afkar yang sedikit memerah.

"Enggak kok bun. Afkar kurang tidur aja. Ini aja rasanya udah ngantuk banget." Alibi Afkar.

"Oh yaudah kalau gitu. Tapi makan malam dulu yuk. Habis itu diminum obatnya. Terus tidur, jangan kebanyakan nonton Doraemon terus." Ucap Heni yang hanya dibalas kekehan pelan dari Afkar.

Cukup sempurna topeng yang selama ini terpasang diwajah tampan Afkar. Ya, bertahun tahun semua orang menganggap dirinya baik baik saja. Tanpa tau bagaimana asli dari dirinya. Kenakalan yang ia perbuat selama ini semata mata hanya sebagai topeng untuk menutupi kerapuhan tubuhnya, tanpa tau apa yang terjadi sebenarnya. Namun, semakin bertambah tahun entah mengapa rasanya terasa sangat lelah untuk memaksa topeng itu terus berlakon dengan baik. Bolehkah jika sekali saja ia mengeluh ?

***

Terima kasih buat yang sudah membaca cerita saya. Terutama Vote dan komennya yang saat ini masih sangat saya harapkan. Maaf juga dengan Cover gajenya😂. Sekali lagi terima kasihh.😊

BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang