6.Sajak Duka

2.8K 268 41
                                    

.
.
.
.
.
Tak ada hal yang jauh lebih indah selama hidupnya dari bersenang senang dengan Afkar dan Akhdan kala itu. Sungguh, ingin rasanya ia mengulang kembali kejadian peristiwa malam itu. Peristiwa yang membuat dirinya mencabut tentang beberapa pasal mutlak yang harus ia jalani. Hingga beberapa hari kemudian setelah peristiwa itu, membuat ketiganya semakin dekat. Afkar jadi lebih sering menghabiskan waktu bersamanya setiap istirahat. Sedangkan Akhdan juga lebih sering berkomunikasi lewat sosial media baik bertatap muka langsung maupun sebatas chatting pesan.

Hingga hari berganti, semuanya baik baik saja. Hidupnya yang dulu penuh dengan goresan tinta hitam, sedikit terhapus dan terganti dengan tinta berwarna cerah. Ternyata, Tuhan masih mengizinkannya bahagia.

Dear Dairy

Gak pernah gue nyangka kalau separuh dari hidup gue masih terisi sama bahagia. Miris rasanya kala gue harus selalu dengerin pertengkaran mama sama papa. Sempat berkali kali gue pun mencoba buat mengakhiri semuanya. Namun, ternyata alasan dari kegagalan gue buat bunuh diri waktu itu adalah hal ini. Ya, walau bahagia gue gak bertempat sama keluarga gue sendiri, tapi gue bersyukur.

Bersyukur karena Tuhan udah ngijinin gue buat bahagia. Dengan mempertemukan gue sama Afkar dan Akhdan. Beberapa sajak luka yang gue tulis dulu, sebagian rasanya udah nguap gitu aja bentuk abu kebahagiaan. Walau mungkin juga sebagian besar gak gue pungkiri kalau kebahagiaan gue yang sebenarnya ada pada Mama sama Papa. Siapa sih yang gak bahagia lihat Mama Papanya akur ? Didalam lubuk hati paling dalam. Jujur, gue rindu semua itu. Dan gue benci sama sajak sajak luka yang gue tulis dulu.

Sang penutup luka

Buku bersampul hitam itu tertutup. Zira menghela nafas seraya mengusap lembut buku Diary pemberian Mamanya lima tahun yang lalu itu. Ia berfikir mungkin mulai hari ini hidupnya akan dimulai. Menutup beberapa lembaran sajak duka yang ia buat dahulu, dan menggantinya dengan lembaran baru dihidupnya bersama Afkar ataupun Akhdan. Boleh katakan ia serakah untuk memiliki kedua duanya. Namun, ia belum mengikrarkan kata 'cinta' itu pada Akhdan maupun Afkar. Pertemuannya yang terbilang masih sangat singkat itu membuat Zira ingin mengenal mereka berdua lebih dalam. Namun, jikalau nanti ia mencintai salah satu diantara mereka, akan ada pasal baru kembali yang ia buat. 'Biarkan cinta itu tumbuh, tapi tak akan pernah memiliki'

***

Hari berganti malam. Perhiasan malam mulai menggantung. Ada gemerlap bintang dengan cahaya terangnya, dan ada pula sinar terang bulan yang gagah memancarkan cahayanya. Malam ini, Afkar beserta Akhdan duduk bersama pada bangku di halaman rumah mereka. Ditemani dengan sebuah gitar serta beberapa bungkus cemilan, mereka terlihat asik mengobrol. Beberapa kali suara Akhdan melantun dengan merdu, sedangkan Afkar mengiringinya dengan petikan gitar.

Terlihat dari balik pintu terdapat sepasang mata yang menatap mereka berdua dengan tatapan haru. Ya, Henilah orang yang berdiri dibalik pintu itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat tawa dari kedua anaknya.

Tak berdiam diri lama lama, Henipun menghampiri Akhdan dan Afkar.

"Asik banget sih kayaknya. Bunda gak di ajak" ucap Heni setelah bergabung diantara mereka. Duduk diantara Akhdan dan Afkar.

"Suruh siapa tadi Bunda berduan sama Ayah terus kita di Kacang ! " sahut Afkar dengan wajah cemberut yang dibuat buat. Heni terkekeh pelan kala melihat bibir Afkar mengerucut. Sangat menggemaskan. Afkar memang berbeda jauh dengan Akhdan. Heni mengakui sifat Afkar masih terlalu kekanak kanakan dan ia sangat suka dengan itu. Namun, tak dipungkiri si sulung yang memiliki kepribadian lebih dewasa memang selalu yang ia banggakan. Keduanya sama sama memiliki tempat khusus tersendiri bagi Heni.

BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang