Chapter 6

76 12 0
                                    

Donna POV

"Akhirnya sampai juga dirumah," gumamku.
   Hari ini aku pulang bareng sama Milla. Mama ngga bisa jemput, kata mama butiknya hari ini sedang ramai. Jadi sekarang aku sendirian di rumah. Ah, membosankan.
   Hari ini, sudah dua kali aku salah tingkah karena Austin. Pertama di kelas, kedua di kantin. Padahal kemarin aku kesal banget sama dia. Tapi, kok tadi aku malah langsung luluh sama kebaikannya. Padahal belum tentu baiknya dia tulus.
   Aku duduk di sofa depan televisi, dengan badan yang masih berbalutkan seragam sekolah. Nonton sebentar ngga masalah kan? Nanti aja ganti bajunya. Aku menyalakan TV dan mencari acara TV yang kusuka.
I know I can treat you better than he can.
Lagu Shawn Mendes yang merupakan dering hp ku berbunyi. Siapa sih yang menelepon? Ganggu aja.
Aku smengambil hp ku yang masih ada di dalam tas. Ternyata yang meneleponku itu mama.
"Donna, kamu udah pulang kan?" tanya mama dari seberang telepon.
"Iya ma, Donna lagi di rumah kok."
"Tadi kamu pulangnya sama Milla kan?" tanya mama, lagi.
"Iya ma."
"Kamu udah makan belum? Kalau belum kamu masak yang gampang-gampang dulu ya."
"Iya ma, nanti Donna masak nasi goreng aja."
"Kamu udah ganti baju?"
"Hmm... Belum ma... Hehehe..." jawabku sambil cengengesan.
Mama tau aja sih...
"Cepetan ganti baju. Sekarang!" titah mama.
"Iya mama sayang."
"Yaudah, mama lanjutin kerja dulu ya. Butik rame banget."
"Ok ma."
"See you honey!" tutup mama.
Aku bergegas ke kamar untuk ganti baju. Sekalian mandi aja deh, udah sore juga.

◾️◾️◾️

Sekarang aku udah selesai mandi, badan udah wangi. Ngga tau lagi mau ngapain. Jam di dinding menunjukkan pukul 5 sore. Mama masih belum pulang. Mungkin mama pulangnya lebih malam.
Oh ya, kalau kalian pikir mama punya butik besar, kalian salah. Mama itu punya toko batik di daerah Mangga Dua, tokonya tidak besar. Mama cuma punya 2 karyawan. Jadi, kalau butiknya lagi ramai seperti sekarang ini, mama pasti sibuk.
Aku mau nonton lagi ah. Hari ini aku lagi malas banget belajar. Lagipula, besok ngga ada tugas. Guru-guruku lagi baik. Hehehe.
I know I can treat you better than he can.
Astaga, mama nelpon lagi? Daritadi acara nontonku keganggu terus. Aku mengambil handphone yang aku letakkan di meja—yang ada di depanku.
Tunggu dulu, ini bukan mama. Nomornya ngga ada di kontakku. Siapa ya? Salah sambung kali ya? Udahlah diamin aja, kalau penting pasti dia bakal nelpon ulang.
I know I can treat you better than he can.
Lagu Shawn Mendes terputar lagi di handphone aku. Mungkin ini penting. Tandanya, dia menelepon lagi. Yaudah angkat aja.
"Halo," sapaku melalui telepon.
"Halo Donna," sapanya balik. Loh, siapa ini? Tapi kayanya aku mengenal suaranya.
"Maaf, ini siapa ya?" tanyaku.
"Donna, ini Austin."
1 detik....
2 detik....
3 detik....
"Donna, Donna? Masih nyala kan?" tanyanya yang menyadarkanku dari lamunanku.
"Eh i-iya... Austin? Ke-kenapa ya?" gugupku.
Kenapa jadi gugup? Kok dia bisa tau nomorku?
"Donna, maaf ganggu. Boleh buka pintunya?"
"Buka pintunya? Maksudnya?"
"Gue di depan pagar rumah lo... Hehe" jawabnya.
APA?! AKU SALAH DENGER NGGA SIH?!
"Donna, masih nyala kan?"
"I-iya Austin. Lo serius ada di depan?"
"Kalau ngga percaya lihat aja."
   Aku segera berlari membuka pintu. Aku mendapatinya sedang berdiri di depan pagar rumahku dengan motor besarnya yang berwarna merah.
   "Austin?" tanyaku.
   "Hi Donna!" sapanya dari depan pagarku yang masih tertutup. Dari mana dia tau rumahku?
   Lalu aku membuka pintu pagar dan menyapanya dengan heran.
   "Austin? Ngapain ke sini?" tanyaku.
   "Gue ganggu lo ya? Sorry ya," ucapnya sambil tersenyum manis. Aku tidak perlu lagi mendeskripsikan senyumnya kan? Kalian pasti sudah tau.
   "Ngga kok, hehe... Yaudah, masuk aja ke dalam," ajakku sambil tersenyum.
   "Ngga usah. Diluar aja. Cuma ada sesuatu yang mau gue omongin," kata Austin.
   "Mau ngomong apa?" tanyaku bingung.
   "Donna, jawab gue jujur," ucapnya yang aku balas dengan anggukan. "Lo masih marah ngga sih sama gue karena kejadian kemarin?"
   Oh, ternyata Austin mau ngomongin tentang ini.
   Aku menghela napas. "Kemarin gue emang marah sama lo, tapi gue sadar maksud lo kemarin itu baik. Jadi, mungkin, gue aja yang terlalu emosi sama Rena kemarin, akhirnya lo ikutan kena," jujurku.
   "Bener nih? Lo udah ngga marah kan sama gue?"
   "Ngga kok."
   Austin bernafas lega. Dia tersenyum senang. Dan menatap kedua mataku dalam. Sangat dalam. "Gue ngga mau menyakiti hati orang lain apalagi perempuan. Gue ngga akan biarin seorang perempuan secantik dan sebaik lo punya rasa sakit sama gue. Jujur, gue ngga mengerti apa yang buat lo kemarin marah sampai nangis. Tapi apapun itu, gue ngga akan biarin seorang wanita seperti lo sakit hati dan menangis karena gue."
Aku seolah jatuh dalam tatapannya dan kata-katanya yang sangat manis. Semanis senyumnya. Aku salah tingkah. Benar-benar salah tingkah. Entah mengapa, jantungku berdegup sangat kencang. Aku berharap dia tidak dapat mendengarnya. Setiap melihat Austin, aku merasakan sesuatu yang aku sendiri tidak dapat mengerti. Sebenarnya ada apa dengan perasaanku?
   "Donna? Kenapa?" tanya Austin sambil menatapku bingung.
"Ng–ngga apa-apa kok. Makasih ya," ucapku malu-malu. Aku berusaha menyembunyikan wajahku yang sepertinya mulai memerah.
"Makasih untuk?"
"Untuk kebaikan lo. Gue juga salah marah tanpa alasan ke lo. Maaf ya."
"Ngga apa-apa. Santai aja," jawab Austin sambil sedikit mengelus bahuku.
Aku hanya bisa membalas dengan senyuman. Bibirku terlalu kaku untuk mengucapkan sepatah katapun.
"Donna, gue pulang ya," pamitnya.
"Lo ngga mau masuk ke dalam dulu. Masa daritadi di luar doang, gue aja ngga kasih minum loh daritadi."
"Hahaha... Ngga apa-apa. Gue masih banyak tugas yang harus dikerjain," ucapnya sambil mengambil helm hitam yang hendak ia pakai.
"Oh gitu. Yaudah, hati-hati ya. Eh, tapi sebelumnya gue mau nanya."
"Nanya apa?"
"Lo tau rumah dan nomor gue dari mana? Dari Milla?" tanyaku.
"Bukan. Gue lihat biodata lo di TU. Gue udah kenal banget sama Pak Arman, kepala TU sekolah kita, jadi buat dapetin alamat dan nomor telepon lo, ngga susah." jelasnya sambil memakaikan sebuah helm berwarna hitam yang akan menutupi wajah tampannya.
"Hahaha... Niat banget ya lo, sampai minta ke TU segala."
"Hehehe... Yaudah, gue pulang ya."
Aku mengangguk dan tersenyum, sambil memandangi seorang laki-laki tampan di sekolah yang memiliki banyak penggemar sedang menaiki motor besarnya berwarna di depan rumahku.
Setelah menyalakan motornya dan sedikit memanaskannya, Austin pun berpamitan untuk pulang. "Donna, lo masuk dulu aja ke dalam, gue ngga akan pergi sampai pagar lo udah kekunci."
Dengan heran, aku mengangguk dan menuruti perkataannya. Aku masuk dan mengunci pagar rumahku. Tapi aku belum masuk ke dalam ke rumah, aku masih memandanginya dengan senyum lewat sela-sela pagar.
"See you tomorrow, beautiful!" ucap Austin yang kemudian berlalu dari hadapanku.
Eh? Apa tadi dia bilang?
Aku masuk ke dalam rumah. Mencoba menganggap ucapan manis Austin tadi hanya sebuah angin lalu. Aku ngga mau terlalu membawa perasaan. Tapi... Aku ngga mengerti setiap aku melihat Austin kaya ada rasa yang berbeda. Rasa yang aku sendiri ngga mengerti.
Aku pergi ke dapur, mau masak nasi goreng. Perutku sudah mulai bikin konser. Masak seadanya saja yang penting makan. Kalau lagi lapar apa saja pasti jadi enak.
Tidak lama setelah makananku habis, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Ternyata mama sudah pulang.
"Mamaaaa," sambutku dengan suara kencang.
"Apasih teriak-teriak gitu?" tanya mama sambil menutup pintu.
"Emang ngga boleh ma?"
"Bukannya ngga boleh, tapi tumben aja Donna bisa teriak. Biasanya kan Milla doang yang teriak-teriak."
"Hehehe.... Ngga apa-apa ma, kan kangen seharian ngga ketemu mama."
"Ah, masa sih kangen sama mama?" ledek mama.
"Iya ma, mama ngga suka dikangenin Donna?"
"Iya deh. Kamu udah ngerjain tugas belum?"
"Lagi ngga ada tugas ma."
"Kok kamu kayanya seneng gitu? Ada apa nih? Mama curiga."
   "Ngga apa-apa ma, Donna ke kamar dulu ya mama sayang, dadah!" ucapku kemudian meninggalkan mama yang masih bingung dengan tingkahku.
 
◾️◾️◾️

   Aku membuka diaryku dan menuliskan segala hal yang terjadi hari ini. Entah kenapa, kali ini aku ingin sekali menulis hal-hal yang terjadi hari ini dalam bentuk puisi.

Dear diary,
  
Diary, banyak hal yang pengen aku ceritain. Hari ini aku ceritanya pakai puisi ya :)

  
Terdiam dalam kesendirianku
Termenung dalam kelemahanku
Kukira segalanya telah hancur
Teman, sahabat, semuanya telah pergi
Pergi jauh tak kulihat lagi jejak kakinya

Aku menutup hatiku
Menutupnya dari segala kemungkinan baik yang akan menghampiri
Tanpa kusadari ada sebuah lubang yang tak kututup
Secercah sinar harapan yang baru menembus lubang itu

Sinar itu membuatku bahagia
Sinar itu membantuku melupakan rasa sakit yang lama
Rasa sakit yang hampir membunuhku

Sinar itu dibawa oleh seseorang yang tanpa sengaja pernah menyakitiku
Dengan mudah aku dapat memaafkannya

Sebuah rasa muncul dihatiku tiap kali melihatnya
Rasa yang aku sendiri tidak mengerti
Jantungku berdebar kencang hanya karena senyumnya

Hatiku sudah kubekukan
Tetapi dia hadir dan perlahan mencairkannya
Apa mungkin rasa ini adalah cinta?

Donna :)

◾️◾️◾️

Haii Guys!!! Maafkan aku telat update... Jadi sampai disini dulu chapter 6 nyaa... Next chapter akan diupdate secepatnya! Jangan lupa vote and comment yaa... 😄 Thank you!! ❤️💕

13 February 2017

Diary DonnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang