Chapter 7

90 9 4
                                    

Cinta yang menyakiti
Cinta juga yang menyembuhkan
Cinta yang menghancurkan
Cinta juga yang memperbaiki

Disaat ribuan tembok telah dibangun untuk melindungi hati yang hancur
Cinta datang dan meruntuhkan tembok-tembok itu
Cinta mengumpulkan keping-keping hati yang telah hancur
Cinta menyatukan keping-keping itu menjadi hati yang baru

Tidak ada yang tau kapan cinta hadir
Tidak ada yang tau kapan cinta pergi
Tidak ada yang tau kapan cinta membuatmu tersenyum
Tidak ada yang tau kapan cinta membuatmu menangis

Cinta bagai sebuah pertanyaan
Pertanyaan yang tak pernah menemukan jawaban
Dan mungkin tidak akan pernah ditemukan

Cinta tidak mudah didapat
Jagalah saat cinta itu datang
Cinta tidak mudah dipertahankan
Jangan sesali saat dia pergi

Nikmatilah waktu yang ada
Menarilah bersama cinta saat dia hadir
Hargai setiap detik bersamanya
Jangan lewati cinta hari ini

◾️◾️◾️
  
   "APA?!" teriakan Milla sontak membuat semua orang di kantin mengalihkan pandangan ke arah kami.
   "Milla, berisik banget sih!"
   "Donna, OMG! Lo salah orang, lo pasti salah orang! Austin Weston datengin rumah lo cuma buat minta maaf gara-gara lo nangis?! Ngga percaya gue," ucap Milla.
   "Bukan cuma lo yang ngga percaya Mill, gue juga," ucap Matthew yang tiba-tiba muncul entah darimana. "Tadi si Austin kasih tau gue kalau kemarin sore dia habis dari rumah Donna. Padahal kemaren dia punya janji mau cuci motor bareng gue! Anjir, Austin si cowok tebar pesona bisa-bisanya kaya gitu! Kesambet apaan tuh bocah?" ucap Matthew tak percaya.
   "Kenapa sih lo berdua lebay banget? Makanya kalian cocok," ucapku sambil memandang mereka malas.
   Milla menatap Matthew dengan tatapan yang tak dapat aku artikan. "Matthew, are we thinking the same thing?"
   Matthew tersenyum miring. "Yoi, pastilah Mil. Ngga mungkin ada alasan lain."
   Aku menatap mereka bingung.
   "Austin kayanya suka sama lo!" ucap Matthew to the point. "Ingat ya, itu masih kemungkinan. Lo jangan baper dulu. Cewek kan gitu, dibaikin cowok dikit langsung dimasukin perasaan, padahal belum tentu cowoknya suka," tambah Matthew.
   Tapi akunya udah baper nih.
   "Iya deh Matt, iya. Makanya gue ngga pernah baper sama lo," ledek Milla.
   "Kalau lo mah Mill emang ngga peka, susah banget sih ngeliat gue dikit," jawabnya yang dibalas Milla dengan cengengesan.
   "Sorry menggangu, tapi ada hal yang bener-bener penting!" Ucap seseorang yang menjadi awal topik pembicaraan kami. "Ini masalah pensi dan cup kita."
   Dia kemudian duduk di samping kiriku—sambil berhadapan dengan Matthew.
   "Ada apaan?" tanya Matthew.
   "Besok kita harus mulai sebar undangan," ucapnya.
   "Yaelah, tinggal email aja ke OSIS masing-masing sekolahnya. Susah amat," jawab Matthew.
   "Itu masalahnya, ada 4 sekolah yang minta dianterin langsung undangannya."
   "Ribet banget," ucap Milla.
   "Karena masih banyak kepala sekolah yang lebih ribet daripada kepala sekolah kita," respon Austin. "Donna, undangannya udah jadi kan?"
   "Udah kok. Udah gue email ke lo juga."
   "Bagus deh. Nanti biar gue print. Besok katanya ada rapat guru, jadi kita pulang cepat. Donna, bisa nemenin gue ngantar undangan? Cuma 4 sekolah kok," ajak Austin sambil menoleh ke arahku.
   "Donna aja yang diajak? Gue sama Matthew ngga?" tanya Milla sambil meledek.
   "Lo urusin tuh seminar photography yang batal. Lagian udah dibilangin waktunya mepet ngga percaya. Kalau Matthew, lo besok ada latihan futsal kan? Gue ngga mau sekolah kita kalah di cup," jawab Austin.
   "Kebanyakan alasan lo! Bilang aja emang pengen jalan berdua," kesal Matthew.
   "Bodo amat. Donna bisa kan?" tanya Austin lagi.
   "I–iya, bisa kok," jawabku.
   "Ok bagus. Gue balik ke kelas dulu deh. Yuk Matt."
   "Ajak aja Donna," sinis Matthew yang dibalas tatapan tajam dari Austin. "Yaudah nih karena gue kasihan sama lo mblo, gue temenin deh Austin sayang."
   "Najis. Gue bisa jalan sendiri," ucap Austin sambil berjalan keluar kantin yang diikuti Matthew dibelakangnya.
   "Kita ke kelas juga yuk Mill," ajakku.
   "Kuy."

◾️◾️◾️

Austin POV

   "Lo suka sama Donna?" tanya Matthew saat gue hendak memakai helm. Parkiran motor udah lumayan sepi, udah banyak yang pulang.
   "Ngga."
   "Terus kalau ngga suka, yang kemarin itu apa?"
   "Gue cuma minta maaf."
   "Terus kenapa lo ngajak dia sebarin undangan? Milla kan wakil lo."
   "Gue udah bilang, Milla musti tanggung jawab soal seminar photography yang dibatalin."
   "Gue ngga percaya. Ngga mungkin lo tiba-tiba ngedeketin Donna kalau lo ngga ada rasa."
   "Gue emang ada rasa sama dia. Tapi bukan rasa suka."
   Matthew menatapku bingung. "Terus?"
"Gue cuma penasaran sama dia. Gue udah pernah bilang kan. Gue penasaran, ada apa sebenarnya dengan sifat dia yang kaya gitu? Apa benar yang pernah lo bilang, dia punya penyakit parah?"
   "Lo ngedeketin dia karena lo penasaran sama sifatnya yang tertutup? Ngga masuk akal!"
   "Terserah lo mau bilang apa!"
   "Hati-hati dari rasa penasaran bisa jadi cinta."
   "Ngga bakal! Gue udah bilang, gue masih ngga ada niatan buat pacaran. Jadi gue akan jaga hati gue supaya ngga jatuh ke siapapun."
   "Ok. Let's say lo ngga akan pernah suka sama Donna. Tapi kalau tingkah lo kaya gini ke dia, ngga menutup kemungkinan kalau dia bakal baper dan jadi suka ke lo!"
   "Yah, jangan sampai dia suka."
   "Tapi kalau dia udah suka? Kalau dia mulai sayang. Lo akan pergi gitu aja? Itu namanya lo mainin perasaan cewek."
   "Gue ngga bakal bikin dia suka sama gue. Gue juga ngga bakal mainin perasaan cewek. Santai aja sih!"
   "Lo ngga sadar kalau lo udah kasih harapan ke banyak cewek di sekolah dengan sifat sok manis lo itu. Liat tuh si Rena sampai sebegitunya demi ngedapetin lo."
   "Rena ngedeketin gue karena cari popularitas. Lo juga tau itu! Gue ngga kaya lo yang bisa langsung cuek sama orang lain dan gue ngga bisa ngomong sesarkastik lo! Gue cuma berusaha baik aja, apa itu juga salah?"
   "Terserah lo deh. Tapi gue ingetin aja, jangan sakitin perasaan Donna, dia itu saudaranya doi gue, dan jangan sampai lo punya sifat playboy atau tukang php kaya anak-anak gang kita yang lain," ucap Matthew yang gue balas dengan anggukan malas.
   "Satu lagi, kalau sampai lo suka sama dia. Gue ngga tanggung jawab," tambahnya yang bikin gue muak. Ini udah ribuan kalinya dia ngomong gini.
   "Terserah, sekarang gue mau cabut," gue menutup pembicaraan, dan langsung memacu moge gue keluar dari parkiran sekolah yang diikuti Matthew dari belakang.
   Gue benar-benar cuma penasaran sama Donna, gue ngga bakal suka sama dia atau bikin dia suka sama gue.

◾️◾️◾️

Donna POV

   Aaaaahhhh..... Aku senang banget, besok aku mau jalan sama Austin. Walaupun cuma antar undangan.
   Jujur, aku udah mulai suka sama Austin. Dulu aku memang ngga pernah mau jatuh cinta. Tapi hati punya kemauannya sendiri kan? Atau setidaknya mama yang bilang gitu, dan aku rasa itu memang benar.
   Dulu aku takut semua laki-laki itu sama kaya papa. Tapi mama selalu bilang, 'jangan sampai suatu hal buruk yang terjadi di masa lalu, menghalangi kita untuk memiliki masa depan yang baik.' Lagipula Austin sepertinya baik, dia juga teman dekatnya Milla. Milla itu pintar bergaul, dia ngga mungkin salah mencari teman.
   Aku melirik jam, sekarang sudah jam setengah 9 malam. Aku membuka diary, dan mulai menulis hal-hal yang terjadi hari ini. Hal-hal yang indah.
   Setelahnya, aku mematikan lampu kamar, berbaring, dan mulai terlelap dalam dunia mimpi.

◾️◾️◾️

Haiii guys!! Sampai disini dulu chapter 7 nyaa... Tenang, masih bersambung kokk... Makasih banget buat teman-teman yang udah bacaa ❤️ Next chapter akan dipublish secepatnya 😊 Buat kamu yang suka baca puisi, sekarang aku mulai post puisi-puisi karyaku di blog (link nya ada bio) 😃
Jangan lupa vote and comment yaa 😁 Have a nice day 💕


26 February 2017

Diary DonnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang