Chapter 9

95 7 5
                                    

Sudah 4 sekolah yang aku dan Austin kunjungi. Artinya, tugas kami sudah selesai. Jujur saja, dari tadi aku benar-benar merasa seperti orang bodoh. Aku hanya diam saja, Austin yang mengobrol dengan OSIS di sekolah-sekolah itu.
   "Akhirnya selesai juga," gumam Austin saat kami tiba di parkiran setelah mengantar undangan di sekolah yang terakhir. "Sekarang kita makan dulu ya, gue laper, gue yakin lo juga," tawar Austin.
   "Ngga kok gue masih kenyang," jawabku.
   "Walaupun lo masih kenyang, gue laper. Jadi, ya tetap aja lo musti makan bareng gue karena gue yang bawa motor, oke?" ucapnya.
   "Yaudah iya," pasrahku.
   Awalnya aku tidak tahu Austin mau mengajakku kemana, hingga akhirnya kami sampai di tempat nasi goreng yang tidak terlalu jauh dari sekolah tadi.
   "Donna, mau nasi goreng apa?" tanya Austin saat ingin memesan.
   "Samain aja deh kaya lo," jawabku. Aku ngga tau menu yang enak disini. Jadi tanya sama yang sudah tau saja.
   "Lo suka pedes?" tanyanya.
   "Jangan yang terlalu pedes," jawabku.
   "Minumnya?"
   "Es teh manis."
   "Ok deh. Mas, pesen nasi goreng komplitnya 2, yang satu pedes banget, yang satu jangan terlalu pedes, minumnya es teh manis 2 juga."
   Setelah memesan kami hanya diam. Aku hanya sibuk memainkan handphone. Sampai akhirnya, Austin yang memulai pembicaraan.
   "Kenapa diam aja?" tanya Austin.
   "Ngga apa-apa kok," jawabku.
   "Daritadi pas kita jalan, kenapa diam aja?" tanyanya lagi.
   "Ngga apa-apa kok."
"Gue boleh tanya sesuatu?" tanyanya, yang aku jawab dengan menganggukan kepala tanda memperbolehkan.
"Kenapa lo tertutup banget? Ada sesuatu?"
"Ngga ada apa-apa."
   "Ada apa-apa kali."
   Tepat waktu! Nasi goreng pesanan kami disajikan. Jadi, aku ngga perlu menjawab pertanyaan Austin.
   "Nah, nasi gorengnya dateng, udahlah makan dulu aja," jawabku mengalihkan.
   Aku ngga mungkin ceritain semuanya ke Austin. Aku dari dulu takut kalau ada orang lain yang tahu permasalahan keluargaku. Dulu waktu aku SMP, banyak teman-temanku yang suka ngomongin aku dari belakang, salah satunya mantan sahabatku. Jadi, daripada ada orang lain yang tahu tentang keluargaku dan merendahkanku lagi, lebih baik aku ngga usah banyak berinteraksi dengan orang lain.
"Austin, cepet banget habisnya?" tanyaku heran saat melihat nasi gorengnya yang telah habis hanya dalam beberapa menit. Sedangkan masih ada seperempat nasi goreng di piringku.
"Namanya juga cowok."
"Hahaha."
"Akhirnya lo ketawa."
"Maksudnya?"
"Ya, daritadi lo tuh diam aja. Mulutnya ketutup terus. Ditanya, jawabnya pendek. Mungkin lo lagi salah tingkah karena jalan sama Austin," ucapnya.
Pede juga nih orang! Tapi kalau aku boleh jujur, yang diomongin Austin persis seperti yang sedang aku rasakan. Salah tingkah.
"Apaan sih?" sinisku.
"Hahaha... Tuh kan, baru dibilang gitu aja mukanya langsung merah. Hahaha.. Gue cuma bercanda kok Donna. Tapi jangan-jangan yang gue bilang tadi bener?"
"Makanan gue ngga bakal habis kalau lo ajak ngomong gue terus!" ucapku mengalihkan.
"Yaudah, habisin dulu deh," ucapnya sambil senyum-senyum. Nasi goreng ini rasanya seketika berubah jadi manis.
Saat aku sedang menghabiskan nasi goreng yang tinggal sedikit ini, ngga sengaja aku melihat Austin yang sedang melihat ke arahku. Makin salah tingkah kan aku.
"Lo lagi makan aja cantik, gue jadi makin bingung yang bikin lo jadi tertutup ini apa?"
   "Emangnya salah kalau gue pendiam dan tertutup?" tanyaku.
   "Gue seneng lihat cewek yang kalem. Menurut gue cewek yang pendiam dan kalem itu bikin dia tambah manis. Tapi gue bingung sama lo. Gue ngga pernah lihat lo ngobrol sama anak lain selain Milla. Malah, lo itu lebih sering sendiri. Lo itu bukannya kalem, tapi emang ngga pernah ngomong. Diajak ngomong penting jawabnya tetap aja pendek," jelasnya panjang.
   "Terus?"
   "Tuh kan jawabnya pendek."
   Kemudian aku berdiri dan ngga menanggapi kata-kata dia lagi. "Nasi goreng gue udah habis, sekarang gue mau bayar," saat aku hendak membalikkan badan, tanganku ditahan oleh dia.
   "Udah duduk aja, gue yang ajak, jadi gue traktir," katanya sambil menarikku kembali duduk. Lumayan juga, uang jajan ngga berkurang. Hehehe.
Aku harus akui, kalau Austin itu cukup baik, walaupun kita baru kenal.
"Donna, sekarang mau langsung pulang atau gimana?" tanya Austin.
"Langsung pulang aja," jawabku. Aku lelah kalau harus pergi lagi. Surat undangan kan udah diantar, jadi mending sekarang aku pulang.
"Yaudah, gue antar lo," katanya sambil berjalan ke motor yang kususul dari belakang.

Diary DonnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang