Part 4

145 16 0
                                    


"Arrgghhh!"
Romi mengacak rambutnya kasar di depan wastafel kamar mandinya. Matanya sarat emosi saat memandang bayangan wajahnya di cermin. Nafasnya terengah-engah menahan amarah dan kedua tangannya masih mencengkeram erat rambut hitam legamnya.

Sudah tiga hari ini dirinya dibuat kacau oleh gadis yang baru dikenalnya, gadis yang menjadi bahan taruhannya dengan tiga kawannya. Ya. Gadis itu adalah Anesa. Anesa memang lain dari yang lain. Gadis satu itu memiliki sikap jinak-jinak merpati. Terlihat tenang tapi sulit didapat.

Romi merasa harga dirinya terluka karena sikap gadis itu. Bagaimana tidak? Selama ini belum pernah sekalipun dirinya kerepotan mengejar gadis yang ia incar.
Tentu saja dengan kriteria yang jauh dari Anesa. Kebanyakan gadis yang didekati Romi adalah model atau paling tidak anggota cheers yang memiliki wajah rupawan dan kulit bening serta tubuh ideal tentunya.

Sedang Anesa? Tingginya hanya satu setengah meter, kulitnya berwarna coklat seperti sawo, rambutnya lurus hitam alami tanpa pewarna, dan gaya busananya jauh dari kata kekinian. Dia seperti gadis desa. Bah! Gadis desa jaman sekarangpun modisnya melebihi gadis kota!

Setelah pertengkaran kecilnya dengan Anesa tempo hari, Romi sama sekali belum bertemu lagi dengan gadis itu. Entah sudah berapa puluh pesan yang hanya diread dan panggilan yang tak dijawab mahasiswi berprestasi itu.

Setiap jeda kuliah atau saat istirahat Romi menyempatkan untuk menyambangi fakultas MIPA tempat Anesa menuntut ilmu, namun hasilnya nihil. Sebenarnya beberapa kali Romi melihat Anesa dari jauh, namun seketika hilang dari pandangannya. Bahkan setiap kali berangkat dan pulang kuliah Romi mengunjungi rumah Anesa yang selalu terkunci dari luar saat ia tiba.

Romi tak kuasa lagi menahan amarahnya. Hari ini ia harus bertemu gadis itu. Harus! Dia sudah kehilangan waktu selama 3 hari, dan sisa waktu yang ia miliki tinggal 9 hari agar bisa menaklukkan hatinya. Bagaimana jika sampai dia gagal? Dia akan kalah taruhan kali ini? Oh tidak, ini mimpi buruk! Bukan, bukan masalah rupiah yang harus ia keluarkan untuk membiayai kost ketiga lawan taruhannya tapi ini masalah harga diri!

"Mau ditaruh mana muka gueee arrgggghh." Romi semakin frustasi saat bayangan-bayangan kekalahannya memenuhi pikirannya.

Ia melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang kokoh. Pukul 17.20.

Romi menghembuskan nafasnya perlahan, mengumpulkan kembali tenaganya yang terkuras karena frustasi. Kemudian keluar dari kamar mandi dan menyambar jaket dan kunci mobilnya yang masih tergeletak di sofa di samping tempat tidurnya. Dengan tergesa ia menuruni anak tangga yang menguhubungkan lantai satu dengan lantai dua kediaman keluarga Budiharto.

"Romi, kamu mau ke mana sayang?" seru seorang wanita berusia tigapuluhan saat Romi melewati ruang keluarga.

"Cari angin ma. Bentar doang," jawab Romi datar.

"Jangan lama ya..", wanita berusia kepala 3 itu mengingatkan Romi.
"Jangan ngebut!" lanjutnya ketika melihat gelagat putranya yang sedang kalut menjauhi ruang keluarga.
      
                              °°°
Romi melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang mengingat jalanan masih ramai.

Sepuluh menit kemudian mobilnya terparkir di halaman rumah Anesa. Emosinya sedikit mereda saat mendapati pintu rumah itu tidak lagi terkunci.
Dengan tergesa Romi mengetuk pintu rumah berwarna merah muda itu.

"Tok tok tok", Romi masih berusaha tenang saat mengetuk pintu meski pikirannya masih kacau.

Tak lama pintu terbuka, menampilkan sosok yang tengah dinantikannya. Anesa mengenakan kaos berwarna peach dan celana pendek di atas lutut dengan warna senada. Sempat terlihat keterkejutan di wajah gadis itu saat melihat siapa yang bertamu ke rumahnya saat ini, terlebih saat ini ia hanya mengenakan celana di atas lutut.

Me & Mr.Player (Me & Mr.Gambler)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang