Rumah besar itu sunyi, seperti yang selalu diingatnya sejak kecil. Hanya sekarang rasanya kesunyian itu lebih tajam bagi Randy. Mbok Surti telah merawat setiap sudut rumah dengan baik. Semua tertata dengan rapi tanpa ada perubahan sedikitpun. Hanya bedanya ada beberapa perabotan yang diperbarui. Sofa ruang tamu. Televisi 29 inch yang dulu hanya 14 inch. Beberapa pot bunga yang dibiarkan didalam rumah karena memang tak begitu perlu sinar matahari untuk menyegarkan suasana.
Tapi Randy tak melihat sofa busa mamanya. Sofa besar empuk dengan busa tebal pada bagian kepalanya, tempat biasanya mamanya tiduran sambil membaca majalah kesukaannya. Tapi sekarang sofa itu tak ada ditempatnya.
Dimana gerangan sofa itu? Dia ingat betul ketika masih kecil, mamanya paling senang membacakan buku dongeng sambil tiduran diatas sofa itu dan Randy mendengarkan dengan seksama didekat mamanya sambil memeluk guling kesayangannya.
Tapi mengapa sofa itu tidak ada disana? Apakah mama membuangnya karena telah sekian lama Randy tak pulang? Sesaat Randy merasa menyesal. Beberapa hal telah dirancang dalam benaknya untuk berusaha mendapatkan kembali sofa kenangan itu kalau memang benar-benar sofa itu telah lenyap. Tapi tak lama kemudian, Randy merasa malu ketika membuka satu ruangan yang dulu difungsikan sebagai kamar tamu. Ternyata sofa itu tertata rapi di sudut ruangan tersebut yang sekarang berubah fungsi menjadi ruang kerja papanya. Maklumlah, selama ini Randy memang tak terlalu dekat dengan papanya.
Sedikit terbersit rasa cemburu ketika mendapati kursi sofa itu ada di ruangan kerja papanya. Randy membayangkan mamanya sedang menemani papanya yang galak itu untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor di rumah. Entah kenapa sejak dulu Randy tak bisa akur dengan papanya. Itulah kenapa selepas SMU segera Randy ingin hengkang dari rumahnya dan kuliah di luar kota, berharap sama sekali tak akan pernah bertemu lagi dengan papanya.
Ternyata setelah delapan tahun Randy keluar dari rumah karena memang kuliah di kota lain, dia pun juga sangat jarang sekali pulang ke rumah meskipun setiap liburan semester. Dengan dalih sibuk dan punya usaha kecil-kecilan dengan teman sekampus membuatnya semakin tidak ingat pulang. Padahal dalam hati dia sangat merindukan mamanya, tapi rasa itu seakan-akan segera menguap kalau dia mengingat papanya.
Setelah delapan tahun Randy meninggalkan rumah, tiba tiba dia merasa asing di rumahnya sendiri. Satu satunya barang yang sangat melekat dalam ingatannya hanyalah sofa empuk milik mamanya. Sesaat dia seolah-olah kembali ke masa kecilnya dulu. Ketika dia dan mamanya selalu bercerita tentang apapun diatas sofa kesayangannya itu. Beratus dongeng telah dibacakan oleh mamanya sebagai nina bobok baginya yang tak kan pernah dia lupakan sedikitpun semua ceritanya.
Pelan-pelan Randy mengendap-endap masuk ke dalam ruang kerja papanya. Dia diam-diam duduk di sofa empuk itu. Dirabanya sofa itu, ternyata masih terawat rapi seperti saat dia masih kecil. Melekat dalam ingatannya salah satu dongeng dari mamanya tentang seorang pahlawan perempuan yang gigih melawan penjajah. Dia sangat terkesima mendengar ceritanya. Membayangkan betapa beraninya wanita itu di medan laga. Kenangan indah itu semakian membuatnya untuk tetap tegar terhadap penyakit yang dideritanya sekarang.
Pintu tiba-tiba terbuka dan membuyarkan lamunan Randy. Dia seketika tersadar dan berdiri. Gadis panti itu membuka pintu dan terperanjat melihat Randy dalam ruangan itu.
"Ada apa kamu disini? Ini ruang kerja papa. Beliau bisa marah kalau tahu kamu masuk sini."
"Aku sudah tahu kalau ini ruang kerja papa. Tanpa kau beri tahu pun aku sudah tahu. Ruang kerja papa dari dulu modelnya selalu begini, tak pernah berubah. Hanya sekarang ada sofa mama disini." Jawab Randy sambil jarinya menunjuk pada sofa kesayangan.
![](https://img.wattpad.com/cover/98266702-288-k1179.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika cinta tak bertepuk sebelah tangan
RomanceRandy, seorang lelaki yang hidup sangat tidak harmonis dengan keluarga terutama ayah yang selalu menentang apa apa yang dilakukannya, akhirnya menderita penyakit HIV. Ayahnya semakin membencinya. Ditengah tengah kebencian ayahnya, hanya Ibunya yang...