Serpih 5 : King's Kafe

2 0 0
                                    


Kings Kafe, satu kafe di pinggiran kota yang lumayan nyaman karena tak begitu bising yang terletak di jalan sepi. Disebelah kirinya masih terdapat bentangan sawah yang menghijau dengan tumbuhan padi. Di sebelah kanannya persis ada pertigaan jalan umum menuju ke kota. Pemiliknya adalah orang Australia yang sudah lama tinggal di Indonesia. Pernah tinggal di Bali, dan juga mendirikan kafe disana. Berhubung situasi kurang memadai untuk mengembangkan usaha kafe di Bali karena isu teroris, akhirnya dia memutuskan untuk mendirikan kafe di kota lain.

Randy kenal dengan si pemiliknya. Namanya Stephany. Dia membangun kafe ini bukan karena tidak punya alasan. Tujuannya adalah memberikan tempat bagi kaum lesbian disini, karena memang dia sudah hidup dengan pasangannya lebih dari 15 tahun. Bagi orang yang tidak mengetahui tempat tersebut, mungkin mengira kafe tersebut adalah kafe yang biasa-biasa saja. Suasananya nyaman. Tapi kalau diperhatikan lebih lanjut akan sangat kentara sekali. Pengunjung yang datang dengan membawa pasangan yang sejenis untuk menikmati makan malam yang romantis.

Nama kafe itu sendiri juga menyamarkan kalau kafe tersebut bukan kafe pada umumnya. Si pemilik berharap, siapapun yang datang ke kafe tersebut bisa menjadi raja bagi pasangangannya.

Randy duduk sendiri di pojok kafe, memandang keluar jendela kaca yang besar dengan pandangan yang kosong. Bisa dibilang, Randy agak sering datang ke kafe itu karena memang dia kenal baik dengan pemiliknya. Dulu pun ketika masih di Bali Randy juga sering mampir ke kafe Stephany yang ada di Bali.

Tanpa sengaja Stephany mengungkapkan keinginannya untuk keluar dari Bali dan mencari kota lain yang penting masih di Indonesia. Dia sungguh sangat terlalu mencintai Indonesia. Padahal jelas-jelas ini bukan negaranya. Itu karena keindahan eksotisnya Indonesia telah mengikatnya sehingga dia tak mau kembali lagi ke negaranya.

Ketika Stephany mengungkapkan keinginan tersebut, Randy tanpa sengaja menceritakan bagaimana seluk beluk kota kelahirannya, Malang. Kota kecil yang sejuk, di lereng pegunungan Kawi dan Arjuno langsung menarik perhatiannya. Mendengar penuturan Randy, tanpa pikir panjang Stephany langsung hengkang dari Bali untuk mendirikan sebuah kafe di Malang. Padahal saat itu Randy hanya menceritakan bagaimana kondisi kota Malang, dia sama sekali tak tahu bagaimana prospek kedepannya tentang bisnis kafe.

Dengan bermodal dari penjualan aset kafe yang ada di Bali, akhirnya Stephany jadi juga pindah. Randy tak mengira kalau obrolan sesaatnya dengan Stephany tentang kota kelahirannya, sungguh sangat meninggalkan kesan yang mendalam baginya . Dan sekarang Randy sedang duduk merenung di salah satu sudut kafe yang cahayanya remang-remang.

"How are you Bro?" Tanya Stephany dengan logat Australinya yang masih kental. Sebenarnya dia sudah fasih berbahasa Indonesia, hanya kadang untuk berbasa basi dengan pelanggan dia masih menggunakan bahasanya sendiri. Kemudian Stephany duduk berhadap-hadapan dengan Randy.

"Yaaahh... Seperti biasa," jawab Randy lesu sambil mengangkat sedikit bahunya.

"Aku tahu, sekarang hidupmu sungguh berat. But... The life must go on... Kamu tak bisa menyesali terus keadaanmu."

"Aku tahu itu... " Jawab Randy.

"Apa kau sudah punya rencana?"

"Aku bingung.... Aku hanya tak tahu harus pergi kemana untuk mencari tahu orang-orang yang senasib denganku."

"Itu gampang saja. Kau datangi rumah sakit dimana kau dirawat. Disana pasti mereka punya data-data siapa saja yang terkena penyakit yang sama denganmu. Atau coba kau cari informasinya lewat internet. Aku yakin pasti bisa ketemu juga."

"Iya... aku juga sudah berfikiran begitu. Tapi sepertinya tak ada gunanya lagi mencari tahu tentang itu semua. Toh, sebentar lagi aku akan mati juga. Buat apa semua itu...." Jawab Randy semakin melemah.

"Bukan begitu Bro... Aku tahu kamu sedang patah semangat. Tapi apa salahnya di sisa umurmu ini, yang kita tak mungkin tahu masih lama ataukah sebentar, apa salahnya kita melakukan satu hal yang baik. Tidak hanya untuk kamu tapi juga untuk orang lain. Siapa tahu dengan niat baikmu itu, Tuhan kemudian memberikan mukjizatnya kepadamu. Tiba-tiba saja kamu sembuh.... atau mungkin saja tiba-tiba kamu menikah dan punya anak yang sehat... atau apa sajalah yang kita sendiri tak tahu...." Jelas Stephany panjang lebar.

"Sembuh? Jangan mimpi.... Sudah jadi suratan takdir. Kalau seseorang sudah digerogoti oleh virus ini, pasti sudah jelas akhirnya. Tinggal menunggu giliran kapan waktunya tiba." Jawab Randy pesimis.

"Kenapa ngomongnya jadi begitu? Semua orang pasti mati. Tinggal tunggu tanggal mainnya. Bisa saja kamu yang kena aids sekarang, tapi aku yang mati besok karena tertabrak mobil. Bisa saja kan?"

"Iya aku tahu itu." Jawab Randy sambil manggut-manggut.

"Sudahlah... tak usah dibahas panjang lebar tentang aids. Semoga apa yang terjadi ini bisa jadi pelajaran buat kita semua. Yang jelas, Tuhan punya rencana lain buat kamu yang kamu sendiri tak bisa membayangkan, rencana apa itu?"

Randy mendengarkan dengan seksama penuturan Stephany. Iya,... dia benar... gumam Randy. Kenapa hal itu tak terpikirkan oleh Randy sebelumnya? Dia terlalu lama menangisi dan menyesali kenapa garis hidupnya bisa seperti ini?

Segara dia beranjak dari tempat duduk kafe tersebut. Randy pamit pulang dan ingin membayar makanan dan minuman yang telah dinikmatinya. Tapi seperti biasa Stephany selalu menolak uang dari Randy. Stephany menganggap, kalau saja seandainya dia tidak bertemu Randy di Bali dan menceritakan bagaimana kondisi Malang saat itu, mungkin dia tidak akan bisa berdiri seperti sekarang ini dengan kafe yang lumayan ramai. Sehingga penghormatan yang diberikan kepada Randy adalah, dia selalu mengratiskan khusus buat Randy.

"Jangan kau tolak uang pembayaran ini. Aku tak enak kalau setiap makan dan minum disini selalu gratis. Aku tahu, kau dirikan kafe ini dengan susah payah meskipun sekarang ini sudah laris. Tapi, aku kan pengunjung juga. Sama dengan pengunjung yang lain."

"Tidak Ran... kamu pengunjung spesial di kafe ini. Hanya kamu saja. Tak ada yang lain. Jadi aku tak mungkin bangkrut kalau hanya menggratiskan satu orang saja. Oke?" Jelas Stephany.

"Apa kau fikir uang ku ini haram?"

Stephany hanya menggeleng.

"Bagaimana kalau besok aku bawa rombongan?" Goda Randy

"Aah.... kalau itu lain. Khusus kau gratis, yang lain bayar... hahaha...." Staphany tertawa renyah sekali.

Randy merasakan kebahagiaan setiap mampir di Kings Kafe. Mungkin karena keramahan dan kehangatan Stephany dalam melayani pelanggan. Padahal banyak orang tahu kalau kafe tersebut lain dari kafe biasanya. Tempat biasanya para lesbian dan pasangannya untuk sekedar nongkrong. Tapi Randy cuek saja. Yang penting baginya nyaman dan tak ada orang lain yang mengusiknya dengan keberadaannya yang telah tertular aids.

Dalam perjalanan pulang Randy bingung, dia harus mulai dari mana untuk mencari info tentang orang-orang yang senasib dengannya. Tanpa pikir panjang, Randy langsung mampir ke sebuah kios koran.

Pasti ada informasi apa saja yang berhubungan dengan aids dari koran. Entah itu tempat berobat? Lembaga Swadaya Masyarakat? Atau bahkan mungkin komunitas yang hanya digunakan sebagai teman curhat dari orang-orang yang senasib dengannya.

Randy segera membeli 4 koran dari penerbit yang berbeda. Setelah dibayar koran-koran tersebut segera dia melangkah kaki untuk pulang tanpa berfikir panjang. Dalam benaknya, dia ingin segera mencari jalan keluar. Bukan malah terpuruk semakin dalam.


Ketika cinta tak bertepuk sebelah tanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang