Randy tak berdaya terkapar di ruang ICU. Mamanya sudah menunggu hampir seharian penuh tapi Randy tak kunjung juga sadar. Kecemasan dan kepanikan ada di udara. Mamanya tak bisa berbuat apa apa kecuali hanya memanjatkan doa.
Ya Allah....
Ampunilah dosa hamba dan dosa putra hamba
Tiada kata yang pantas hamba minta
Kecuali hanyalah pertolongan-Mu saja
Tiada doa yang layak hamba panjatkan
Kecuali hanyalah mengharapkan Ridho-Mu saja
Ampuni kami Ya Allah
Hanya Engkau yang bisa menyembuhkan putra kami
Hanya Engkau Maha Segalanya yang bisa menyelematkan putra kami
Berikanlah padanya sedikit lagi waktu
Untuk dia bisa menebus segala kesalahan dan dosanya
Ya Allah....
Tiada kata yang pantas hamba panjatkan lagi
Kecuali hanya, kabulkan lah doa kami.
Amin.
Menginjak hari kedua, Randy masih juga belum sadarkan diri. Mamanya masih tetap tegar menunggu Randy di depan pintu ICU. Tak perduli dia belum mandi sejak kemarin. Baginya yang penting adalah bisa melihat senyum di wajah putra kesayangannya.
Mama Randy mencoba menghubungi rumah, meminta Wina untuk ikut menunggui Randy di rumah sakit. Tapi semua ditolak mentah-mentah oleh papanya Randy. Katanya, "Semua ini sudah takdir untuk Randy. Daripada kamu bersusah payah disana menunggu orang yang sudah jelas akan mati, lebih baik kau pulang saja."
"Tidak.... aku akan tetap sabar menunggu putraku. Dia anakku, darah dagingku. Apapun yang terjadi terhadapnya, dia tetap anakku. Aku masih yakin dia akan menjadi lebih baik kalau dia sembuh kelak. Aku yakin itu. Dia anak yang tegar. Aku hanya memohon kepada papa, bantu doa untuk kesembuhannya. Itu saja. Tak lebih...." pinta mamanya Randy
Papa Randy hanya diam saja. Hatinya memang sudah membatu. Kejengkelannya terhadap kelakuan Randy memang sudah melangit. Tak ada kata maaf baginya. Satu-satunya harapan yang akan jadi tumpuannya kelak ternyata sangat mengecewakannya. Anak yang dibangga banggakan didepan teman-teman sejawatnya, ternyata kini rapuh sudah.
"Suruh saja pak sopir pulang untuk ambil barang-barang yang mama perlukan. Biar nanti mbok Surti saja yang menemani mama disana."
Mama Randy langsung mengucap syukur. Ternyata dinding es yang tinggi itu akhirnya leleh juga. Baginya yang penting, suaminya mau menunjukkan keperduliannya terhadap Randy, itu sudah cukup.
Hari ketiga, dokter mengijinkan mama Randy masuk dan ditemani oleh mbok Surti meskipun Randy belum juga siuman.
Ketika pertama kali melihat Randy, mamanya langsung tak bisa bergerak. Begitu banyak selang dan tusukan jarum di tangannya. Mbok Surti duduk disebelah Randy dan dari bibirnya terus mengucapkan doa buat Randy. Mamanya tercenung beberapa saat. Ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
"Anakku... ini mama, sayang.... Bangunlah Nak...." Kata-kata itu sering diucapkan mamanya sambil mencium pipi dan kening putra kesayangannya.
"Kamu tahu tidak, sekarang ini mama lagi membaca buku yang kemarin kamu bawa. Ada batasan lipatan kertas disini. Kamu membacanya baru sampai sini ya? Sekarang mama membacakan sisanya buat kamu ya...." kata mama Randy sambil kemudia membacakan sisa novel yang belum selesai dibaca oleh Randy.
Dia tahu, Randy pasti bisa mendengar. Hanya saja dia tak bisa bergerak. Kemudian mbok Surti pun juga melakukan hal yang sama. Berusaha untuk mengajak bicara pada Randy.
"Mas Randy.... Bangun mas... Mbok kangen sekali untuk bisa guyon sama mas Randy. Kapan kita bisa cerita-cerita lagi?" kata Mbok Surti sambil berlinang air mata.
Tak berselang lama, pertolongan Allah datang. Tiba-tiba saja Randy sadar dari pingsannya. Kemudian Randy dipindahkan ke tempat yang khusus untuk merawat pasien penderita Aids.
Melihat Randy sudah siuman, mamanya langsung sujud syukur didepan putra kesayangannya. Hatinya gembira tak dapat dilukiskan. Baginya tak masalah setelah ini Randy harus mengalami perawatan apapun, yang penting Randy siuman dari pingsannya.
Hari berikutnya, Randy sudah terlihat lebih baik. Kondisinya cendrung stabil. Dokter bilang, beberapa hari lagi boleh pulang asal ketahanan tubuhnya tak melorot drastis. Aids memang saat ini tak bisa disembuhkan. Satu-satunya cara adalah menjaga kondisi staminanya tetap stabil sehingga virus yang bersarang ditubuhnya menyebar lebih lambat.
Randy berada dalam satu ruangan dengan pasien aids yang lain. Pasien yang ada disebelahnya sudah diperbolehkan pulang. Dia sempat mengalami perawatan sampai 3 hari.
Sebelum pulang, Randy sempat berbincang dengan orang tersebut. Namanya Pak Dorus. Dia menuturkan bagaimana dia hidup dengan aids yang bersarang di tubuhnya. Katanya, "HIV/AIDS bukanlah akhir dari segala-segalanya. Buktinya saya bisa berdiri tegak dan hidup normal."
Seperti ada semangat yang timbul setelah Randy mendengarkan penuturan Pak Dorus. Dia tak ingin dirinya semakin tenggelam. Semangat untuk tetap hidup meskipun orang lain tak suka dengan keberadaannya.
Tidak hanya bertemu dengan pak Dorus. Tapi Randy juga bertemu dengan teman seperjuangan yang lain yang kebetulan sama-sama dari kota Malang. Namanya Antok. Bersama Antok kemudian mereka berdua bersemangat mewujudkan cita-citanya mendirikan LSM yang bergerak dalam perlindungan, penyadaran dan pendampingan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika cinta tak bertepuk sebelah tangan
Storie d'amoreRandy, seorang lelaki yang hidup sangat tidak harmonis dengan keluarga terutama ayah yang selalu menentang apa apa yang dilakukannya, akhirnya menderita penyakit HIV. Ayahnya semakin membencinya. Ditengah tengah kebencian ayahnya, hanya Ibunya yang...