Kisi 6 : Saatnya Kuliah

26 0 0
                                    


Kuliah itu ternyata asyik juga. Banyak teman dari berbagai kota di Indonesia, yang mempunyai karakter berbeda-beda. Satu kelas temanku isinya hanya 40 orang, dan jumlah antara laki-laki dan perempuan hampir sama. Tapi masih banyak jumlah mahasiswinya. Dari semua mahasiswa, yang asli dari kotaMalang hanya sekitar 25 persen saja. Selebihnya dari daerah lain di Indonesia.

Ada salah satu temanku yang datang dari Kecamatan Ngadiluwih Kabupaten Kediri. Namanya Anshori. Sebenarnya orangnya oke juga tampangnya, nggak begitu udik-udik amat. Tapi logat medok kedirinya itu yang tak bisa hilang meskipun dia sudah tinggal di Malang ini lebih dari setahun. Bahkan dalam pengucapan bahasa Inggris pun, memakai logat jawa yang di-inggriskan.

Misalnya, dia mengucapkan kata 'iyo no'. Maksudnya mau mengatakan kata iya-lah. Dan itu diucapkannya dalam bahasa inggris sehingga menjadi 'yes no'. Orang yang mendengarkan dan tidak mengetahui asal-muasal Anshori jadi tertawa mendengarnya. Artinya menjadi 'ya tidak'. Padahal maksudnya hanya ingin mengatakan penekanan kata 'ya'.

Kadang aku terkekeh-kekeh mendengarkan dia berbicara dalam bahasa Inggris. Tapi aku salut dengannya. Dia orang yang tidak mudah malu meskipun kata-kata yang diucapkannya salah. Pokoknya dia orangnya bonek dalam berbicara dan pe-de abis.

Aku berteman baik dengannya. Entah kenapa? Mungkin karena ibuku sendiri asalnya dari Kediri, sehingga kalau lebaran aku selalu mudik ke kampung ibu di Wates Kediri. Sebenarnya intinya bukan itu. Memang aku berteman baik dengan siapa saja, yang baru kenal maupun yang sudah lama menjadi temanku. Aku paling senang punya banyak teman. Sebab tanpa teman di dunia ini rasanya hambar, seperti sayur tanpa garam.

Pagi itu ketika aku baru saja datang, Anshori sudah dari jauh memanggilku. Aku heran! 'Emangnya ada apa dengan dia? Kenapa teriak-teriak memanggil namaku?' batinku.

"Eh... jangan teriak-teriak dong! Malu dilihat orang. Kayak di hutan aja deh! Kamu jadi kelihatan udiknya, kelihatan kalau dari Ngadiluwih!" godaku

"Jangan bawa-bawa Ngadiluwih dong! Aku kan malu. Aku sudah berusaha meninggalkan logatku. Aku pingin bisa bicara seperti orang Malang. Yang bahasanya dibalik-balik itu loh. Misalnya uka kadit itreng" kata Anshori mencoba bahasa Malangan tapi logat medoknya tak ketinggalan.

"Nggak usah... nggak usah berubah! Kamu ini langka. Kalau kamu berubah, jumlah populasinya akan berkurang. Ha ha ha."

"Kamu ini ada-ada aja. Aku cuma mau tanya, sudah ngerjakan tugasnya ibu Rumbilin?" tanyanya kemudian

'Oh my God... aku baru ingat kalau ada tugas dari ibu Rumbilin. Padahal tugas itu baru diberinya dua hari yang lalu. Kenapa aku bisa lupa? Ah santai aja. Mata kuliah bu Rumbilin masih nanti jam ketiga. Aku bisa nyontek nanti sama teman-teman saat jam pertama mata kuliah.' batinku sedikit lega

Aku menggelengkan kepala.

"Ah... ternyata kamu belum mengerjakan juga ya.... Sama dong! Susah banget sih... Kamu yang pinter aja nggak bisa... apalagi aku yang blo'on begini... lebih tidak bisa lagi," katanya sambil memukul jidatnya.

"Santai aja... lagian bu Rumbilin kan masih nanti jam ketiga." hiburku.

Anshori hanya manggut-manggut.

Jam pertama seharusnya sudah dimulai. Tapi entah kenapa pak Husni yang mengajar matakuliah American Society belum juga datang. Kalau ternyata lebih dari 15 menit beliau tak datang itu berarti memang kuliah kosong. Sudah perjanjian dari sejak awal perkuliahan, kalau 15 menit dari jadwal kuliah Pak Husni belum datang, berarti tidak ada kuliah. Dan ternyata sekarang sudah lebih dari 20 menit beliau belum juga nongol.

Jangan Tunggu Hari EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang