Kisi Tujuhbelas : Surat Wasiat

1 0 0
                                    


Seperti hari yang telah ditentukan, aku datang ke Jakarta untuk menghadiri pembacaan surat wasiat Rehan. Semua sudah berkumpul dari keluarga Rehan dan termasuk juga istrinya. Akhirnya aku dapat bertemu kembali dengan mantan istrinya setelah terakhir kali bertemu pada saat pesta pernikahannya.

"Terimakasih sudah mau datang." Kata Dewi.

"Sama-sama." jawabku

"Datang dengan siapa?" tanyanya

"Sendirian saja,"

Aku hanya diam saja. Kemudian kami duduk berdampingan berdua layaknya seoarng sahabat yang sudah lama tak bertemu. Kami ngobrol tentang Rehan.

Dewi menceritakan betapa dia sangat mencintai Rehan. Dia berusaha membahagiakannya, tapi sayangnya Rehan selalu nampak tidak bahagia. Entah karena apa? Apapun yang dia kerjakan, tetap tidak bisa membuat suaminya bahagia seperti saat pernikahan mereka.

Aku tetap diam saja, tak bisa berkomentar apa-apa. Dalam lubuk hatiku berkata bahwa aku bisa tahu kenapa suami kamu berperilaku seperti itu? Itu karena dia mencintai gadis lain, dan gadis itu adalah aku.

Setelah dipastikan semua yang akan menerima wasiat itu hadir, maka dimulailah pembacaan surat wasiat itu. Tentu saja semua harta benda diberikan kepada keluarga dan mantan istrinya.

Dan satu-satunya barang yang diberikannya padaku adalah sebuah kotak kayu dengan beberapa ukiran pada bagian tutupnya. Aku sendiri heran, kenapa Rehan menuliskan namaku sebegai salah satu penerima ahli waris dan yang diberikan padaku hanya sebuah kotak kayu. Kubuka kotak itu dan isinya adalah sebuah buku diary dan sebuah kotak perhiasan kecil.

Aku ingin sekali membacanya saat itu tapi aku urungkan. Lebih baik aku membacanya di rumah. Setelah semuanya kurasa cukup, akupun segera kembali pulang ke Malang.

Dalam perjalanan pulang, aku ingin sekali membaca buku harian itu, tapi aku takut untuk membukanya. Aku hanya membuka sebuah kotak kecil yang isinya sebentuk cincin emas dan sebuah kalung. Aku semakin bertanya-tanya, kenapa Rehan memberikan ini semua untukku.

Rasa penasaranku terus membuncah ketika aku sudah sampai di rumah. Segera aku mandi dan membaca semua isi buku harian Rehan. Ibu yang mengetahui kedatanganku dari Jakarta, menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Tapi aku tak ingin memberikan jawaban dulu sebelum aku tahu yang pasti. Ada apa dengan diari Rehan ini?

Jangan Tunggu Hari EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang