Leina menatapnya dengan kebahagiaan yang bagi Ferdan-terasa semu dan hampa. Bibir wanita yang dinikahinya tiga tahun yang lalu itu tidak henti-hentinya menyebarkan senyum kepada orang-orang disekelilingnya, namun matanya tidak ikut tersenyum.
Ferdan mengecup kening Leina dan berpamitan untuk keluar sebentar dari ruangan tempat Leina dirawat setelah proses melahirkan yang menguras tenaga. Beberapa kerabat yang dilewatinya dalam perjalanan menuju pintu keluar, memberinya tepukan hangat di bahu sebagai ucapan selamat. Ferdan membalas perhatian mereka dengan anggukan dan senyum.
Ferdan langsung berjalan ke ujung koridor rumah sakit, menuju tangga turun ke lantai dua. Ada kantin yang terbuka di pojok lantai dua, menghadap ke balkon terbuka. Mungkin disana Ferdan bisa melepaskan sesak di dadanya dengan menghisap beberapa batang rokok.
Kantin itu, seperti yang di duga Ferdan, tidak terlalu ramai pengunjung. Beberapa penjaga stand makanan kelihatan terkantuk-kantuk menanti pembeli. Ferdan memilih duduk di kursi kayu yang berada di sisi yang paling dekat ke balkon. Dia memesan minuman ringan pada seorang penjaga stand. Dari tempat duduknya, dia bisa melihat lalu lalang kendaraan dari dan ke rumah sakit di bawahnya.
Ferdan baru membakar ujung rokoknya yang pertama ketika pasangan itu masuk ke kantin dan duduk di kursi yang hanya berjarak tiga atau empat langkah dari tempat duduknya. Keduanya berwajah sama murung dan resah, seperti menanggung beban yang teramat berat. Yang laki-laki, mungkin sang suami, membimbing istrinya duduk di kursi dengan hati-hati dan membisikkan sesuatu ke telinganya, yang disambut dengan anggukan lemah sang istri, kemudian dia pergi menghampiri salah satu stand di kantin itu.
Ferdan melihat wanita itu mengeluarkan selembar sapu tangan dari dalam tas tangannya dan memakainya untuk membersihkan make up di wajahnya, yang kelihatan tidak lagi rapi setelah tercoreng air mata. Suaminya datang membawa dua botol minuman ringan dan duduk di sampingnya.
Ferdan memalingkan wajah, tidak ingin mendengarkan pembicaraan mereka, meskipun tak urung, jarak yang terlalu dekat membuat telinganya mendengar juga percakapan mereka, tanpa dikehendakinya.
"Aku tahu hasilnya akan tetap sama, Mas, seperti yang sudah-sudah." suara si wanita terdengar begitu sedih dan putus asa. "Kita tidak mungkin lagi bisa menemukan dokter terbaik selain disini."
"Jangan putus asa sayang, kita masih bisa mencari jalan lain," bujuk sang suami sambil mengelusi tangan istrinya di atas meja.
Sang istri menepiskan tangan suaminya dan menyentak.
"Apa lagi Mas? Kamu lupa ultimatum ibu sebelum kita berangkat?" wanita itu kelihatannya hampir histeris. "Ini sudah menginjak tahun ke tujuh dan semua upaya kita sia-sia. Apa lagi yang harus kulakukan sekarang Mas?"Sang suami tidak menjawab, melainkan menangkupkan kepala ke dalam kepalan kedua tangannya. Istrinya memalingkan wajah, memandang ke arah yang sama dengan arah pandangan Ferdan.
Air matanya mengalir pelan-pelan, membentuk anak sungai di pipinya yang pucat. Dia sama sekali tidak melihat Ferdan, matanya kosong tanpa cahaya.
Ferdan mengamati mereka, menduga-duga dalam benaknya sendiri, apa yang membuat pasangan itu begitu putus asa. Mungkin istrinya sakit, kalau melihat dari penampilan sang istri yang begitu pucat dan lemah.
Wanita itu sebetulnya cantik, kalau saja wajahnya lebih berwarna dan matanya tidak begitu hampa. Wajahnya mirip seorang artis sinetron Indonesia, Ferdan mencoba mengingat-ingat, Asmirandah, itu dia, kalau tidak salah itu namanya, dalam bentuk yang lebih dewasa dan matang.
Wanita itu berpaling pada suaminya yang masih menyembunyikan wajah dalam kepalan tangannya sendiri. Dia tersenyum di antara air matanya yang masih mengalir dan menyentuh pundak suaminya lembut. "Mas, mari kita kembali ke hotel dan mengabarkan tentang ini pada Ibu."
"Tidak, aku tidak berani melakukannya. Kamu tahu apa yang akan dilakukan Ibu begitu dia tahu tentang ini."
"Tapi kita harus!"Wanita itu memaksa tangan suaminya membuka dari wajahnya. Air matanya sudah berhenti menetes. Dia tersenyum sekarang.
Ferdan sempat terpesona melihat senyum pada wajah wanita di seberangnya itu. Wanita itu menatap Ferdan sekilas sebelum matanya kembali beralih pada suaminya.
Ferdan membuang pandangan kembali menekuri lalu lalang kendaraan di bawah balkon lantai dua gedung rumah sakit ini.
"Kita akan hadapi bersama semua yang akan terjadi. Aku tidak tahan hanya berdiam diri dan menyesali nasibku, tanpa melakukan apa-apa. Minimal, berikan aku kesempatan untuk mempertahankan kebanggaanku sebagai seorang istri, sebelum Ibu benar-benar melaksanakan ancamannya."
Sang suami menatap mata istrinya yang masih tersenyum dengan kepedihan yang nyata. Dia menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan dan menangis di bahunya yang ringkih seperti anak kecil, tersedu sedan tanpa peduli pada sekelilingnya.
Ferdan memutuskan untuk mengakhiri perenungannya yang terganggu adegan dramatis itu. Dia mematikan rokok keduanya yang baru habis tersulut setengah dan berdiri dari bangku yang didudukinya.
Ketika melewati bangku tempat pasangan itu masih berpelukan, matanya bertubrukan dengan mata wanita itu, dan senyumnya masih tergambar manis di wajahnya yang semakin pias.
Senyum yang sesungguhnya hambar dan sarat duka, namun terasa begitu hidup di antara beban di matanya.
Ferdan memalingkan wajah dan meneruskan langkah. Leina, dan bayinya, pasti sudah menunggunya di ruangan yang tadi ditinggalkannya. Ferdan melangkah gontai meninggalkan area kantin. Seribu satu pemikiran berseliweran didalam kepalanya, membentuk suatu rangkaian benang kusut.
$$$$$
Ferdan memandang Ilona yang sedang tertawa bersama beberapa orang karyawan yang lain. Kelihatannya wanita itu tidak menyadari bahwa dia sedang diperhatikan. Entah mengapa, kenangan tentang kejadian di rumah sakit itu terlintas begitu saja dalam pemikiran Ferdan, ketika ia tengah memperhatikan Ilona.
Kenangan yang sebenarnya sudah terkubur lama dalam ingatan Ferdan, karena terlalu menyakitkan untuknya sendiri. Mengingat bagaimana permulaan Leina, istri yang dipilih dan dinikahinya dengan cinta, memandang seorang bayi mungil disampingnya dengan tatapan kosong yang kemudian berubah menjadi bauran antara marah, jijik dan sedih.
Ferdan bergeming ketika ponselnya bergetar didalam saku celana. Ia berjalan gontai menuju ruang kerjanya, berusaha menahan keinginan untuk terus menatap Ilona.
$$$$$
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempurnanya Cinta
RomanceSudah terbit ya... Pemesanan versi cetak (cerita agak sedikit berbeda, lebih greget pokoknya), bisa hubungi penulis langsung) Perceraiannya dengan Bima, pernikahan Bima dengan wanita lain pilihan Ibu mertuanya, dan kelahiran anak-anak kembar Bima, m...