Alisa memberi isyarat dengan tangan, menyuruh teman-temannya yang lain diam. "Coba dengarkan ini. Aku menulisnya semalam, kusalin dari bagian kesimpulan buku yang yang ditulis Kahlil Gibran. 'Aku lahir dalam kecemerlangan cinta dan cahaya keindahan. Lihatlah diriku, disini aku hidup, orang tak kuasa menceraikanku dari kehidupanku. Sekalipun mereka merenggut penglihatanku, masih kudengar nyanyian cinta, melodi keindahan dan kebahagiaan. Bila mereka menyumbat telingaku, masih aku nikmati belaian angin yang diharumi wangi keindahan serta bisikan manis sang kekasih. Dan, jika udara ditiadakan, aku kan hidup dengan jiwaku; karena jiwaku putri sang cinta dan keindahan.' Bagaimana, bagus kan?"
Sandra dan Ilona bertepuk tangan, sedangkan Ilham mengacungkan kedua jempolnya. Alisa memberikan kertas berisi tulisannya kepada Ilona dan berkata, "Ini sengaja kutulis untukmu, rasanya cocok denganmu."
Ilona mengambil kertas itu dan memeluk Alisa penuh haru. "terima kasih..., kalian memang sahabat-sahabatku yang paling manis, tapi juga kurang ajar!" Ilona melotot sambil melepas pelukan dan mencubit pinggang Alisa.
Sandra, Ilham dan Alisa tertawa-yang terakhir sambil mengusap pinggangnya yang terasa pedas akibat cubitan kecil Ilona. Masih sambil melotot, Ilona mengambil kertas kecil dari dalam tasnya.
Kertas yang diberikan kepadanya di pagi hari setelah mereka melakukan upacara perobekan kain hitam di ruangan Ilona, dua bulan yang lalu. "Yang bernama Danis dan Andra, sudah berkali-kali menelepon dan memaksaku untuk bertemu," kata Ilona dengan nada sebal. "Kukatakan pada mereka kalau biro jodoh milik kalian sudah ditutup paksa oleh kepolisian karena dicurigai melakukan praktek mucikari, dan aku juga adalah korban yang sama tertipu seperti mereka."
Ketiga sahabatnya tertawa semakin keras. "Ya ampun Lonaa ... bagaimana mungkin kamu bisa begitu kejam, tidak menghargai upaya dan perhatian kita untuk membuatmu bahagia?" cetus Sandra di sela-sela tawa.
"Ooh...cukup, kalian para pengacau sok tahu! Bukan begitu caranya membuatku bahagia," sembur Ilona sembari mengibaskan kertas berisi deretan nama laki-laki itu. "Kalian membuatku merasa seperti janda gatal yang haus perhatian laki-laki."
"Oke ... oke ..., begini," Ilham meredakan suasana dan memasang kembali wajah serius. Dia memfokuskan matanya pada Ilona. "Kami minta maaf karena membuatmu merasa begitu, tapi sungguh, niat kami hanya ingin membawamu kembali pada realita bahwa bagaimanapun pada akhirnya kamu harus tetap membuka hatimu untuk orang lain. Kamu tidak bisa terus-menerus menghindar, karena sekarang tidak ada lagi alasan bagimu untuk tetap menyendiri."
Ilona mereguk minuman dalam gelasnya dan baru berniat membuka mulut untuk memberi tanggapan atas pernyataan Ilham barusan, ketika tiba-tiba kakinya di tendang cukup keras oleh Alisa, sampai Ilona meringis, lebih banyak karena kaget daripada sakit.
"Alisa...kamu gila ya?" sentak Ilona. Dia menunduk untuk mengusap-usap mata kakinya, tidak memperhatikan ketiga temannya bangkit dari duduk bersamaan. Dari bawah Ilona melihat sepasang kaki dengan sepatu kets putih berdiri di sampingnya. Ilona mendongak. Ferdan tersenyum padanya.
"Pak ... Ferdan?" sapa Ilona bingung. Ketiga temannya memberi salam dengan sikap hormat pada Ferdan, yang kemudian malah tertawa dan menyilakan mereka kembali duduk dengan sikap santai dan bersahaja.
"Sudahlah, jangan terlalu kaku, saya tidak suka suasana kantor yang formal dibawa-bawa ke tempat dimana kita seharusnya bersantai," kata Ferdan.
Ferdan menarik sebuah kursi dari kelompok meja yang lain dan mengundang dirinya sendiri untuk bergabung dengan kelompok Ilona. "Tidak keberatan kalau saya bergabung, sementara menunggu pesanan saya siap kan?"
"Tentu tidak Pak, dengan senang hati," sambut Sandra kemayu. Dia menggeser kursinya memberi ruang untuk Ferdan di antara dirinya dan Ilona. "Rupanya bapak sering ke kafe ini juga ya?"
"Sekali-kali, kalau saya butuh refreshing atau ingin makan sesuatu yang enak. Chicken katsu di kafe ini enak sekali kan?" sahut Ferdan ringan. "Dan...tolong...jangan panggil saya Bapak, setidaknya di luar jam kerja. Ferdan saja cukup."
Ilham melirik teman-temannya sebelum berkata pada Ferdan, "Emhh...aneh rasanya memanggil atasan di kantor dengan namanya saja meskipun di luar jam kerja. Bagaimana kalau Mas Ferdan, lebih enak kedengarannya."
Ferdan tertawa kecil, "Terserah kalian saja, toh usia kita juga tidak terlalu jauh berbeda dan sudah hampir dua bulan kita satu kantor kan?"
Alisa melihat ke belakang Ferdan, mencari-cari sesuatu dengan matanya. "Mas Ferdan datang sendiri?"
"Tidak, saya mengajak ..." Ferdan melambaikan tangan pada seorang wanita berseragam seperti seorang perawat—mendorong sebuah kereta bayi, yang kemudian menghampiri mereka. "... nah ini dia. Kenalkan, ini Tasya dan suster Ani. Tasya sangat menyukai blackforest di kafe ini, jadi kadang-kadang saya membawanya kesini di hari libur supaya dia bisa makan kue favoritnya itu."
Seorang anak perempuan berusia kira-kira empat tahun, tersenyum miring dan liur menetes dari sisi kiri mulutnya. Suster Ani mengelap liurnya dengan lembut dan membisikkan sesuatu yang membuat anak perempuan itu terkikih-kikih dengan suara pelan yang aneh, seperti berasal dari celah kosong dalam perutnya.
Alisa, tanpa sadar memalingkan wajah, menghindari memandang Tasya, yang saat itu tengah menggapai-gapai dengan tangannya yang bengkok ke arah Ferdan. Hanya Sandra, Ilona dan Ilham yang bertahan, memberikan salam perkenalan kepada Tasya dan baby sitternya.
"Tasya menderita cerebral palsy sejak lahir," jelas Ferdan tenang. Sepertinya kondisi Tasya tidak lagi merupakan gangguan baginya, begitu juga pandangan orang-orang di sekitarnya yang melihat ke arah Tasya dengan tatapan aneh. "Itu membuat otot-otot dalam tubuhnya kaku dan sebagian besar tidak dapat dikendalikan, sehingga merusak suara dan membuat tubuhnya sangat lemah. Selain itu, Tasya adalah anak yang kuat dan tabah. Lihat, dia mengucapkan salam kepada kalian.""Dia sangat cantik," ujar Ilona pelan. Tanpa terasa Ilona mengulurkan tangan dan menggelitik Tasya di dagunya. Gadis kecil itu mengeluarkan suara aneh seperti gemuruh, matanya bersinar memandang Ilona tanpa fokus. "Dimana ibunya?"
Ferdan memandang Ilona tak berkedip dan menarik nafas panjang sebelum menjawab, dengan nada berat. "Meninggal, ketika Tasya baru menginjak usia dua tahun."
"Maaf," desis Ilona sambil memandang Ferdan. Mata mereka bertemu pada satu titik tak terlihat di udara, hanya sesaat dan di saat yang lain mereka sama-sama membuang pandang ke tempat lain.
"Nah, kelihatannya saya tidak bisa terlalu lama mengganggu acara kalian disini," Ferdan bangkit dari tempat duduknya dan mengambil pegangan kereta bayi dari tangan suster Ani. "Ayo Tasya, ucapkan selamat tinggal pada teman-teman Papa."
Tasya mengangkat tangannya dan memberikan lambaian lemah tidak beraturan, berusaha menuruti perintah ayahnya. Sandra dan Ilona meniupkan kecupan untuk Tasya, Ilham melambaikan tangan dengan sebelah tangan sementara tangannya yang lain mencubit pinggang Alisa yang hampir menangis.
Mereka memandangi Ferdan berjalan menjauh sambil mendorong kereta bayi, diiringi baby sitter putrinya. Suasana hening meliputi mereka berempat sampai beberapa saat setelah Ferdan tidak terlihat. Semua tenggelam dalam alam pikiran masing-masing.
Ilona menatap punggung mereka yang terus menjauh dengan hampa. Sudut matanya terasa panas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempurnanya Cinta
RomanceSudah terbit ya... Pemesanan versi cetak (cerita agak sedikit berbeda, lebih greget pokoknya), bisa hubungi penulis langsung) Perceraiannya dengan Bima, pernikahan Bima dengan wanita lain pilihan Ibu mertuanya, dan kelahiran anak-anak kembar Bima, m...