Bab 11

417 30 0
                                    

Ferdan memintanya datang, karena Tasya terus-menerus menanyakan dirinya. Anak itu tidak bisa diam, sampai suster Ani kewalahan dan akhirnya meminta majikannya untuk membawa Ilona.

Ilona mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Sambil mematut diri, diam-diam Ilona tergelitik untuk berpikir, apakah Tasya akan memanggilnya lagi dengan sebutan mama, seperti waktu di rumah sakit. Ilona merasakan desir yang aneh di hatinya ketika mendengar Tasya memanggilnya begitu.

Entah berapa lamanya ia menginginkan panggilan mesra itu ditujukan padanya. Kerinduan yang perlahan-lahan terkubur oleh getir karena kemyataan bahwa rahimnya tidak akan pernah bisa terisi oleh seorang manusia yang menyandang hak untuk memanggilnya dengan sebutan Mama.

Ferdan menjemputnya tepat pukul sembilan pagi. Matahari bersinar cerah setelah hujan semalam. Ini hari Minggu yang sangat sempurna, begitu kata Sandra tadi pagi ketika Ilona menelepon. Ferdan lebih dari sempurna, desah Ilona dalam hati saat melihat atasannya itu turun dari mobil. Pakaian kasual, t-shirt abu-abu dan celana jeans hitam, dipadu dengan sandal kulit, Ferdan lebih cocok menjadi seorang model ketimbang manager.

Ferdan memandang Ilona. Takjub. Wanita di hadapannya mengenakan gaun terusan berwarna biru tua dipadu rompi jeans yang modis. Rambutnya yang ikal diikat diatas tengkuk dengan asal-asalan, membuat helai-helai rambutnya sedikit berantakan. Jantung Ferdan berdegup aneh.

"Kamu cantik," ujar Ferdan spontan. "Aku hampir tidak mengenalimu dengan dandanan seperti ini."

Ilona terpaku sejenak, terkejut dengan kata-kata Ferdan. Wajahnya merona dan ia tersipu. "Mas meledek aku."

Ferdan melangkah maju. Lengannya terulur dan ia mengelus pipi Ilona yang terasa hangat. "Menurutmu begitu?"

Dunia seakan berhenti bergerak. Mata Ferdan dan Ilona bertemu. Ada sebuah pengertian yang terbentuk tanpa kata-kata, menyatukan rasa yang mulai terbentuk jelas.

"Ilona, kalau kita terus berdiri disini seperti ini, aku tidak yakin bisa menahan diri untuk tidak memelukmu dan tidak melepaskanmu," ujar Ferdan pelan. Suaranya memberat oleh keinginan meraih Ilona dalam dekapannya.

Ilona tersadar. Ia tersenyum salah tingkah. Ia memperlihatkan sebuah boneka beruang berwarna krem dengan pita merah jambu besar di lehernya. Mencoba mengalihkan perhatian. "Menurut Mas, Tasya akan menyukai ini?"

"Kamu selalu memanjakan Tasya," keluh Ferdan. Ia meraih tangan Ilona dan menuntunnya ke mobil. Ilona tidak ingin menolak dan berharap telapak tangannya tidak membasah karena gugupnya. "Aku bisa repot kalau begini terus. Dia akan tumbuh menjadi gadis yang menyebalkan dengan segala kemanjaan yang kamu berikan."

Ilona tertawa. "Oh Mas, apa salahnya memanjakan gadis kecil semanis Tasya? Melihat dia tersenyum, rasanya aku bisa menghabiskan semua gajiku untuk membelikannya mainan."

"Kalau saja dulu ibunya juga berpikir seperti itu," gumam Ferdan. Lalu lintas hari Minggu tidak terlalu ramai, sehingga Ferdan memutuskan untuk menjalankan mobilnya dengan santai. Dia ingin menikmati kebersamaannya dengan Ilona sejenak, sebelum wanita itu didominasi Tasya.

"Kenapa Mas Ferdan berkata seperti itu?" Ilona memutar posisi duduknya. Sejak mendengar sepotong cerita Ferdan tentang almarhumah istrinya ketika di rumah sakit, beberapa kali penasaran melintasi benak Ilona.

Ferdan mengerucutkan bibirnya. "Leina membenci Tasya. Dia menganggap kelainan yang di derita Tasya adalah suatu hal yang memalukan dan menghalanginya. Leina seorang model, dan setelah menikah denganku, dia terus menunda untuk punya anak karena alasan karir. Beberapa kali dia minum obat-obatan pencegah kehamilan, dan yang terakhir tampaknya gagal. Tasya tetap hidup dalam rahimnya, kemudian lahir dalam keadaan seperti itu."

Sempurnanya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang