Bandara terasa sesak dengan lalu lalang manusia yang berseliweran di dalamnya. Pengumuman tentang kedatangan dan keberangkatan pesawat terbang terdengar bersahut-sahutan dari pengeras suara yang dipasang di setiap sudut.
Ilona melihat Bima dan Ranti duduk di sebuah coffe shop. Dia menghampiri mereka. Ranti memeluknya erat ketika Ilona menghampiri. Dia menangis dalam pelukan Ilona.
"Mbak, maafkan aku ... Mungkin aku kualat karena sudah menyakiti Mabak Lona dengan merebut Mas Bima, hingga Tuhan memberiku hukuman seperti ini."
Ilona melepaskan pelukan Ranti lembut dan berlutut di depan kursi rodanya. Ilona menghapus air mata Ranti dengan jarinya. "Ranti, tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua yang terjadi di antara kita sama sekali bukan kesalahanmu. Kita hanya menjalani takdir masing-masing. Tuhan juga tidak menghukum siapapun, jangan pernah berpikir seperti itu."
"Lihat keadaanku sekarang Mbak," Ranti menunjuk kakinya yang berselimut. "Cacat dan tidak berguna."
"Tidak ada yang beranggapan begitu selain dirimu sendiri, Ranti. Anak-anak dan Mas Bima, bahkan Ibu, semua memerlukan dirimu. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi setidaknya kita masih harus bersyukur dengan ketidaksempurnaan itu. Bahkan aku belajar untuk menerima kemandulanku. Kalau kamu mempermasalahkan kakimu sebagai cacat yang membuatmu menjadi tidak sempurna, bagaimana dengan aku, dengan rahim yang sama sekali tidak bisa mengandung janin, seumur hidupku?"
Bima memperhatikan istrinya dan mantan istrinya berpelukan sambil menangis. Dia mencengkram pegangan cangkir kopinya sampai tangannya terasa sakit. Ranti memaksanya memberitahu Ilona tentang keberangkatan mereka ke Singapura untuk melakukan terapi dan pemasangan kaki palsu. Dia ingin menemui Ilona untuk meminta maaf dan restu darinya, agar Ranti bisa membebaskan dirinya dari beban perasaan yang selama ini membuatnya tidak bahagia.
Dalam keadaan normal, Ranti bisa memendam dalam-dalam perasaan bersalahnya karena telah menanam andil menyingkirkan Ilona dari kehidupan Bima, namun kini, kecacatannya menjadi tak tertanggungkan dengan perasaan bersalah, merasa bahwa dia tengah menjalani karma karena pernah menjahati Ilona. Ranti tidak ingin terus-menerus menjalani kehidupan seperti itu.
Ketika Ranti minta ijin untuk ke toilet untuk membereskan riasannya, Ilona mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan memberikan pada Bima. Dia melihat wajah Bima berubah. Bibirnya memucat dan bergetar. Bima memandang benda yang diletakkan Ilona ditangannya."Datanglah bersama Ranti dan anak-anak," kata Ilona. "Kami tidak membuat pesta besar, hanya syukuran kecil-kecilan di antara keluarga dan kerabat."
"Apa dia laki-laki yang kelihat bersamamu di rumah sakit malam itu?" tanya Bima dengan suara tersendat. Dia menatap inisial FI di kertas undangan bernuansa coklat muda itu.
Ilona mengangguk. "Ya. Malam itu kami baru menjemput anaknya yang sakit. Istrinya meninggal dua tahun lalu."
"Tapi," potong Bima. "Kalau anak perempuannya adalah anak yang kamu dorong di atas kursi roda waktu itu, bukankah dia anak cacat?"
"Dia penderita cerebral palsy, tapi diluar itu, dia adalah anak yang sangat cantik dan memikat. Aku jatuh cinta lebih dulu padanya daripada ayahnya."
"Kamu belum pernah memiliki seorang anak, dan anak itu hanya akan menjadi beban bagimu, Lona. Dia cacat, dan pasti sulit mengurusnya. Bahkan aku kadang-kadang merasakan sulitnya menjadi orang tua, dengan dua dua anak kembar yang terlahir tanpa cacat seperti gadis kecil itu."
Ilona menatap tajam-tajam ke dalam mata Bima, berharap dia akan menemukan dukungan yang tulus di mata yang pernah sangat dicintainya itu. "Mas Bima, aku hanya ingin kamu tahu, untukku-yang seumur hidup tidak akan pernah bisa mengandung dan melahirkan anakku sendiri, kehadiran anak seperti Tasya adalah sebuah karunia. Aku bisa mencurahkan semua naluri keibuanku yang selama ini terpendam untuk mencintai dan merawat Tasya, yang keadaannya mungkin akan menjadi beban untuk orang tua sepertimu. Anak yang normal mungkin akan terlalu mewah untukku, tapi Tasya lain. Dia jatuh cinta padaku, seperti akupun mencintainya. Dia tidak peduli kekurangan dan kelemahanku, dia menerimaku dengan seluruh jiwanya yang polos dan haus kasih. Aku meraihnya dengan semua rasa rindu yang kupendam seumur hidupku untuk menimang bayiku sendiri. Tuhan mempertemukan aku dengan Tasya, dua hati yang saling merindukan, seperti puzzle yang saling melengkapi."
Bima membalas tatapan Ilona dan menemukan kebahagiaan yang nyata, yang tidak pernah dilihatnya selama dia hidup bersama Ilona. Seperti sebuah kapal yang telah menemukan pelabuhan, Ilona menemukan jantung kehidupannya, pada seorang gadis kecil bernama Tasya.
Ilona bangkit dari tempat duduknya. "Aku, Ferdan dan Tasya mengharapkan kedatanganmu untuk memberi restu. Aku doakan semoga Ranti cepat pulih dan operasi pemasangan kaki palsunya berhasil dengan baik." Ilona menyentuh tangan Bima di atas meja. "Mas, Ranti adalah seorang istri dan ibu yang baik, dia sangat mencintaimu. Jagalah dia baik-baik."
Ilona melihat ke sisi lain bandara, kepada seorang laki-laki yang sedang bercanda dengan seorang gadis kecil di atas kursi roda. Ferdan dan Tasya menoleh padanya, seperti magnet yang saling tarik menarik. Ilona melambaikan tangan pada mereka."Aku pamit, Mas. Mereka sudah menungguku. Tolong sampaikan salamku pada Ranti dan Ibu, dan anak-anakmu juga."
Bima tergugu, menatap langkah Ilona menjauh darinya. Dia melihat Ilona mengambil alih pegangan kursi roda gadis kecil itu dari ayahnya dan membungkuk membisikkan sesuatu-yang kemudian membuat gadis kecil itu terkikih-kikih kegirangan. Wajah Ilona bersinar begitu cerah dan matanya cemerlang. Bima menatap mereka menjauh sambil bergandengan.
"Mas," tegur Ranti yang baru kembali dari toilet. "Mana Mbak Lona?"
"Pulang," jawab Bima. Dia memeluk bahu Ranti dengan lembut, menghayati perasaan berbeda yang kini dirasakannya terhadap wanita sederhana yang telah memberinya dua orang anak kembar itu. "Setelah operasimu selesai, aku ingin mengajakmu berbulan madu barang tiga atau empat hari, mumpung anak-anak tidak bisa mengganggu kita. Mau kan?"
Ranti memandang suaminya, bahagia sekaligus heran. Bima merapihkan selimut di kaki Ranti dan mengangsurkan undangan pernikahan Ilona ke tangan Ranti. "Kamu harus tampil cantik dan sehat di pesta pernikahan mereka, karena kamu adalah istri dan ibu dari anak-anakku. Aku ingin membanggakanmu."
Ranti membaca inisial nama di undangan itu. Air matanya menetes. Ranti meraih tangan Bima di bahunya dan menciumnya lembut. Mungkin benar, seharusnya semua orang bersyukur untuk ketidaksempurnaan mereka, karena hal itulah yang membuat manusia menjadi lengkap. Bima mencium rambut Ranti sebelum mendorong kursi rodanya menuju pintu masuk ruang keberangkatan.
Matahari pagi berubah perlahan-lahan, menjadi semakin terang dan panas, setia dengan tugasnya, menerangi bumi tanpa pernah berhenti, selain beristirahat sejenak ketika hujan menjalankan kewajibannya menyejukkan bumi atau malam melepaskan bulan melepaskan bulan dan bintang bermain di angkasa raya.
Bima melepaskan pandang sekali lagi sebelum pintu kaca menutup di belakangnya, melepaskan sebagian hatinya yang masih menyimpan nama Ilona, membiarkannya terbawa angin dan debu. Mereka pernah bersama, namun saat ini, mereka ditakdirkan untuk bersimpang jalan dan sebagai imbalan, Tuhan memberikan lautan cinta yang lebih besar untuk mereka arungi dengan kapal yang berbeda.
Bima memantapkan pegangannya pada kursi roda dan meneruskan langkah. Ilona akan bahagia, dengan Ferdan dan Tasya, demikian juga dirinya dengan Ranti dan kedua anak kembarnya. Mereka telah menemukan cinta dalam kehidupan masing-masing, cinta tanpa tuntutan dan desakan. Cinta yang memberi dan pasrah. Pada hakikatnya mungkin itulah kesempurnaan sebuah cinta.
***** SELESAI *****
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempurnanya Cinta
RomanceSudah terbit ya... Pemesanan versi cetak (cerita agak sedikit berbeda, lebih greget pokoknya), bisa hubungi penulis langsung) Perceraiannya dengan Bima, pernikahan Bima dengan wanita lain pilihan Ibu mertuanya, dan kelahiran anak-anak kembar Bima, m...