Bab 7

362 33 0
                                    

Hari ke-lima berada di rumah sakit, akhirnya dokter mengijinkan Tasya pulang. Gadis kecil itu terlihat begitu senang ketika melihat ayahnya bersalaman dengan dokter, membuat semua perawat dan suster Ani terharu sekaligus geli melihat tingkah laku Tasya.

Ferdan memberitahukan kabar itu pada Ilona melalui sms, tepat setelah rapat dengan klien dari Kalimantan selesai. Ilona memberikan anggukan tak kentara pada Ferdan ketika mereka berpapasan di koridor kantor, seperti sebuah kode rahasia, sebagai jawaban sms Ferdan.

Mereka berdua menunggui Tasya sampai pagi, ketika Tasya mendapat serangan kejang malam itu, dan setelah itu, hampir setiap hari, setelah jam pulang kantor sampai larut malam, mereka begadang di rumah sakit menunggui Tasya.

Suster Ani langsung kembali dari rumah orang tuanya ketika Ferdan memberi kabar tentang Tasya dan dengan setia menjaga Tasya setiap pagi sampai Ferdan dan Ilona datang sore harinya.

Ferdan sudah menunggunya di pelataran parkir rumah sakit ketika mobil Ilona memasuki area parkir. "Macet?" tanya Ferdan ketika IIlona menghampirinya setelah memarkirkan mobil.

"Sedikit," sahut Ilona. "Aku senang karena Tasya bisa pulang hari ini. Kasihan, kelihatannya dia sudah bosan dengan suasana rumah sakit yang itu-itu saja. Oya, aku membeli ini untuk Tasya, mudah-mudahan dia suka."

Ilona mengeluarkan sebuah mantel dari bahan rajutan, berwarna merah muda cerah dengan hiasan boneka di bagian bawah baju bermodel feminin itu. Variasi benang putih membuat baju itu semakin cantik.

Ferdan memandang Ilona tanpa berkedip. "Bagaimana kamu tahu warna dan model baju kesukaan Tasya?"

Ilona mengangkat bahu. "Entahlah, aku hanya berpikir, karena kami sama-sama perempuan, mungkin saja warna kesukaan kami tidak terlalu jauh berbeda dan karena Tasya begitu cantik, model seperti ini pasti cocok untuknya. Menurutmu, apa dia akan menyukai mantel ini? Aku juga agak khawatir ukurannya kurang pas untuk Tasya."

Ferdan tersenyum. Sesuatu membuat hatinya menggelenyarkan rasa yang selama ini terpendam jauh di alam bawah sadarnya. Terharu. Bahagia. Cinta? Terlalu lama semua itu tidur lelap dari hari-hari hidupnya, tertumpuk jauh oleh kesibukan kerja, kesedihan melihat keadaan Tasya dan kekecewaan terhadap almarhumah istrinya.

Tanpa sadar, Ferdan meraih tangan Ilona dan meremasnya lembut. "Pasti!"

Ilona menatap Ferdan dengan raut terkejut yang perlahan berubah mengubah warna pipinya menjadi merah muda. "Ehmm.. Mas, ayo masuk dulu ..."

Ferdan melepaskan tangan Ilona dengan sikap kikuk. Mereka saling bertatapam sejenak kemudian sama-sama tersipu ketika seorang perawat lewat di dekat mereka. Ferdan memberi isyarat agar Ilona melangkah duluan.

Ilona membuka pintu kamar tempat Tasya di rawat. Gadis kecil itu kelihatan segar, dengan rambut di kepang dua dan dihiasi pita. Suster Ani juga sudah membereskan tasnya, dan meoleh sambil tersenyum ketika Ilona masuk.

"Tasya, itu lihat siapa yang datang," kata suster Ani sambil meluruskan wajah Tasya yang tergolek miring di atas bantal.

Ferdan berdiri di belakang Ilona, memandang gadis kecilnya dengan takjub, ketika Tasya mengangkat kedua tangannya dengan gemetar dan bibirnya bergerak-gerak tak beraturan, mengeluarkan suara tanpa nada, "Ma ... mma ... mam ... ma ..."

Ilona menutup mulutnya dengan kedua tangan dan berpandangan dengan suster Ani yang berdiri kaku di samping ranjang Tasya. Gadis kecil itu mengulangi kata-katanya, terpatah-patah dan gemetar, tangannya menggapai-gapai ke arah Ilona, yang kemudian bergerak maju dan memeluknya. Tasya mendengkur senang dalam pelukan Ilona.

"Oh Tuhan," bisik Ilona. "Kamu memanggilku mama ..."

Ferdan membungkuk, merangkulkan tangannya kepada Ilona dan sekaligus Tasya yang masih berada dalam pelukannya. Matanya terasa panas dan berair. Suster Ani memalingkan wajah, menghadap ke jendela, menyembunyikan air matanya yang sudah mengalir deras di pipinya.

Tasya berkeras melarang suster Ani dan Ferdan mendorong kursi rodanya. Dia hanya mau Ilona yang mendorongnya, permintaan yang ditanggapi Ilona dengan mendaratkan ciuman lembut di pipi sehalus sutra gadis kecil itu. Ferdan pura-pura marah dan cemberut dan berhasil membuat Tasya terkikih-kikih senang.

"Kita langsung pulang ... atau ...," Ferdan menanyai Tasya ketika mereka sampai di lobi rumah sakit. "Tasya mau makan blackforest?"

Tasya menggerak-gerakkan kepalanya dengan penuh semangat. Dia mengerti apa yang diucapkan ayahnya, begitu juga dengan orang lain di sekitarnya, hanya saja kondisinya membuat Tasya tidak bisa berbicara dengan normal.

Ilona sedang tertawa melihat kegembiraan Tasya ketika seseorang menegurnya dari belakang. "Ilona?"

Ilona berbalik, dan tertegun. Di hadapannya Bima berdiri, wajahnya pucat dan pakaiannya berlumuran darah.


$$$$$

Sempurnanya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang