Bab 10

402 35 0
                                    

Kerut-merut di wajahnya semakin kentara. Rambutnya yang dulu selalu rapi tersanggul, hitam mengkilat, kini memutih dan menipis. Kebaya merah marun yang membungkus tubuhnya, kain batik dan selendang yang senada, menunjukkan siapa dirinya. Seorang wanita keturunan ningrat yang sangat ketat menjaga nama baik dan harga diri yang tersampir di depan namanya, Raden Roro Ayusti Prasodjo.

Ilona menyalami perempuan tua itu dengan santun, dan berusaha tidak mempedulikan tatapannya yang tajam menilai. Kalau ada satu hal yang tidak berubah pada mantan Ibu mertuanya, adalah matanya yang tetap tajam dan keras.

"Bagaimana kabar Ranti Bu?" tanya Ilona ketika minuman pesanan mereka sudah datang.

Raden Roro Ayusti Prasodjo, mantan Ibu mertua Ilona mengaduk-aduk jus alpukatnya tanpa minat dan menjawab pelan. "Dia akan cacat selamanya. Kedua kakinya diamputasi sebatas lutut dan pendengarannya juga agak terganggu karena benturan yang keras pada waktu kecelakaan."

"Saya ikut prihatin dengan keadaannya Bu," sahut Ilona. "Tidak sengaja saya bertemu Mas Bima di rumah sakit, malam ketika Ranti kecelakaan. Saya berharap Ranti tabah menerima keadaannya.

"Lona, kamu tahu kenapa Ibu ingin bertemu denganmu?"

Ilona menggeleng. Itu adalah pertanyaan yang terus diajukan pada dirinya sendiri ketika siang ini menerima telepon dari mantan Ibu mertuanya itu, mengajaknya bertemu di sebuah restoran. Awalnya Ilona ragu untuk berangkat, namun Ferdan mendesaknya untuk pergi menemuinya.

"Ibu menyesal, Lona, membuat kamu harus bercerai dengan Bima," Seperti tersengat lebah, Ilona mendengar Ibu Ayusti itu berkata lemah. "Bima tidak pernah berhenti menyalahkan Ibu karena memisahkan kalian. Dia sangat mencintaimu. Bima tidak pernah mencintai Ranti, dan Ranti juga tidak bahagia. Mereka terus bertengkar, sampai rumah terasa seperti neraka. Sekarang, Ranti cacat, dan semua itu salah Ibu."

"Bu," Ilona menggenggam tangan keriput di atas meja. "Tidak ada yang perlu disalahkan atau disesali, semua sudah terjadi. Saya sendiri sudah mulai membuka lembaran baru. Meskipun Tuhan menakdirkan saya tidak akan bisa mempunyai keturunan, tapi masih banyak hal yang bisa saya lakukan untuk mengisi hidup. Bima dan Ranti juga begitu, mereka sudah punya dua orang anak, cucu-cucu yang sangat Ibu harapkan kehadirannya, tidak ada yang perlu disesali. Ibu tidak boleh menyalahkan diri Ibu."

"Nak, kalau saja kalian masih bersama, mungkin tidak akan terjadi seperti ini. Bima tidak akan membenci ibu, Ranti akan bahagia, kamu juga, dan anak-anak itu tidak perlu melihat orangtuanya bertengkar setiap hari. Ibu terlalu picik menilaimu, padahal kamu sudah begitu ikhlas mengijinkan Bima menikahi Ranti."

"Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi Bu. Mungkin saya benar-benar akan menjadi pengganggu dalam keluarga Bima, merasa lebih berhak sebagai istri pertama dan membuat Bima menelantarkan Ranti dan anak-anaknya. Ibu akan membenci saya, begitu juga Ranti dan anak-anaknya."

"Ilona, maafkan Ibu. Seharusnya Ibu memberimu dukungan dan perhatian padamu, bukannya malah memojokkannmu."

Ilona menggesar kursinya lebih dekat dan merangkul pundak yang kurus itu. "Ibu, tidak ada yang perlu dimaafkan. Saya tidak pernah membenci Ibu ataupun Mas Bima, untuk alasan apapun. Kadang-kadang kita tidak tahu apa yang diinginkan Tuhan dengan kejadian-kejadian yang menimpa dalam hidup kita, tapi saya sudah lebih banyak belajar untuk pasrah dan mensyukuri nikmat sekecil apapun. Bahkan musibah dan bencanapun, selalu ada hikmahnya."

Ibu Ayusti memeluk Ilona terharu. Air mata mengaliri pipinya yang keriput. "Kamu tidak banyak berubah anakku, selalu berpikir posistif dan tabah. Aku berharap, kejadian kecelakaan itu juga akan membawa hikmah untuk keluarga kami. Mungkin dengan cacatnya Ranti, Bima akan belajar untuk lebih mencintainya dan Ranti juga akan menerima keadaan dirinya dengan tabah."

"Saya yakin, setelah ini, akan banyak hal yang berubah, Bu. Saya mengenal Mas Bima, dia laki-laki yang kuat dan bertanggung jawab. Mungkin Ranti hanya harus bersabar dalam menghadapinya, karena Mas Bima tidak pernah tidak luluh dengan kesabaran dan kelembutan."

Ibu Ayusti mengusap lengan Ilona. "Kamu sudah menemukan laki-laki lain? Bima mengatakan ada seorang laki-laki bersamamu ketika kalian bertemu."

"Saya belum tahu Bu," jawab Ilona pelan. "Ada seseorang yang dekat dengan saya saat ini, orang yang disebut Mas Bima itu, tapi saya belum berani memastikan kearah mana hubungan kami. Sampai sejauh ini semua masih sebatas profesional dan pertemanan."

"Kau akan menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dari Bima, Nak," ujar Ibu Ayusti dengan nada sendu. "Kau sangat layak mendapatkannya. Aku berharap kau bahagia."

Ilona merasakan kelegaan yang ringan dalam hatinya. Ini seperti sebuah batu yang terangkat dan kemudian dilemparkan jauh-jauh. Ilona tidak mau munafik dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah merasa diperlakukan tidak adil oleh mantan Ibu mertuanya itu, tidak pernah membenci sikap Bima yang lemah dan tidak pernah tidak menyesali kemandulannya. Dia merasakan itu semua, namun seiring dengan berjalannya waktu itu semua perlahan-lahan memudar, seperti sebercak noda di atas kain yang terus-menerus dicuci. Pernyataan Ibu Ayusti membuatnya merasa ringan. Kini, tidak ada setitikpun noda yang mencemari hatinya. Ilona merasa bebas.

Ilona mengantar Ibu Ayusti ke mobilnya dan menatap sedan hitam itu sampai lenyap dari pandangan. Ia berharap dalam hati, mantan Ibu mertuanya itu akan tetap sehat dan melihat cucu-cucunya tumbuh dewasa dengan baik.

"Wajahmu terlihat sumringah. Kabar baik?"

Ilona berjengit terkejut. Ferdan berdiri sangat dekat di belakangnya, tersenyum lembut dan menawan. Wajahnya terlihat lelah dan dasinya sedikit miring, namun matanya menatap Ilona dengan binar.

"Baik sekali. Hari ini, baru saja seseorang membuatku benar-benar merasakan apa artinya membuka lembar baru dalam kehidupan."

"Hhmm .., orang itu .., aku?"

Ilona tertawa kecil. Ia menggeleng. "Raden Roro Ayusti Prasodjo, ibu mertuaku."

"Ouh ..."

"Mas sengaja kemari atau ...?"

"Temani aku makan. Rapat dengan orang-orang Thailand seharian ini sungguh membuatku lelah. Apalagi karena salah satu dari mereka ada yang terus-menerus menatapku sambil berkedip-kedip dan menjilati bibirnya sendiri. Hiii..."

Ilona tertawa lepas. Ia sempat melihat ketika beberapa orang tamu dari Thailand itu datang. Seorang wanita sangat cantik dengan tubuh semampai tidak pernah lepas memandang Ferdan. Ilham berbisik dibelakangnya, kalau wanita itu menyukai Ferdan dan menambahkan dengan suara sengau bahwa wanita itu "buatan".

"Mas beruntung," ujar Ilona menyembunyikan geli. "Siapa tahu dengan adanya wanita itu disamping Mas, rencana kerjasama dengan perusahaan dari Thailand itu akan berjalan lancar dan Mas tidak perlu lagi pulang kantor begini larut karena harus menemani mereka. Maaf karena aku ijin pulang lebih dulu hari ini."

Ferdan menjentik hidung Ilona sambil lalu sambil tertawa kecil. "Aku belum seputus asa itu Ilona."

Ilona mengulurkan tangan, meraih dasi Ferdan yang miring. Sesungguhnya ia hanyalah berusaha mengalihkan debar jantungnya yang berpacu sangat cepat karena sentuhan Ferdan tadi. "Sudah diluar jam kantor, seharusnya Mas tidak membiarkan orang-orang memandang seorang manager seperti salesman yang gagal memenuhi target."

Ferdan memegang tangan Ilona yang sedang berusaha melepaskan dasinya. Ia menatap tepat kedalam manik mata Ilona. "Jangan membuatku berpikir untuk memakanmu Lona, disini, sekarang. Kamu tidak tahu perasaan apa yang selama ini aku tahan, dan mungkin sudah waktunya aku lepaskan."

Wajah Ilona membiaskan warna pink yang cantik. Ia membalas tatapan Ferdan dan menemukan rasa dalam hatinya sendiri terwakili dengan kalimat yang dikatakan Ferdan sebelumnya. Ia menemukan harapan pada satu titik dimana tatapan mereka bertemu.

$$$$$

Sempurnanya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang