Bab 8

379 33 0
                                    

Bima menyisiri rambutnya dengan tangan, gugup dan letih tergambar jelas dalam setiap tarikan nafas dan senyum hambar yang dipaksakan bibirnya. Ilona duduk berdiam diri di sebelahnya, serba salah. Setengah jam sebelumnya, Ferdan menyuruh suster Ani membawa Tasya ke mobil, ketika melihat Ilona dan laki-laki berpakaian lusuh penuh darah dan wajah sepucat kain kafan saling berpandangan kaku. Sesuatu berbisik di hatinya. Ferdan tahu dia harus menyingkir sejenak dan membiarkan Ilona bersama laki-laki itu.

Ferdan menggamit tangan Ilona lembut dan berkata lirih. "Ilona, aku akan mengantar Tasya dan suster Ani pulang, setelah itu aku akan kembali dan menjemputmu. Kau tenang saja dan temani dia dulu."

Ilona memandang Ferdan dengan tatapan linglung sebelum kembali menatap laki-laki yang berdiri di hadapannya. Ferdan menganggukkan kepala kepada laki-laki itu, menyentuh bahu Ilona kemudian berlalu menyusul Tasya dan suster Ani yang sudah lebih dulu keluar dari lobi rumah sakit.

"Lak-laki itu ...?" tanya Bima ragu. Sudah lebih dari dua puluh menit dia dan Ilona duduk tanpa saling mengucapkan sepatah katapun. Hawa dingin lorong rumah sakit sungguh membuat suasana semakin tidak menyenangkan.

"Namanya Ferdan, dan anaknya Tasya. Mereka temanku," jawab Ilona lugas. Dia berpaling menatap Bima. "Apa yang terjadi padamu?"

Bima menunduk semakin dalam. "Ranti. Dia kecelakaan." Dia mendengar nafas Ilona terkesiap. "Kami bertengkar hebat tadi pagi, kemudian dia pergi meninggalkan anak-anak, dan satu jam yang lalu polisi memberitahuku kalau Ranti kecelakaan di jalan tol menuju Bandung. Dia mabuk berat dan di dalam mobilnya ada botol minuman keras yang masih berisi separuhnya."

"Ya Tuhan ... Lalu...anak-anakmu? Ibu? Mereka tidak apa-apa?"

"Mereka belum tahu. Aku belum berani memberitahu mereka sampai aku mendapat kepastian tentang kondisi Ranti. Ibu sudah cukup marah dan panik ketika mengetahui soal kepergian Rianti. Aku tidak ingin mendengar Ibu memarahiku lagi saat ini."

Keheningan kembali melingkupi mereka. Dua puluh menit lagi berlalu ketika seorang dokter keluar dari ruangan gawat darurat. Wajahnya kelihatan lelah dan berkeringat. Bima berdiri diikuti Ilona di belakangnya.

"Bagaimana keadaan istri saya dok?" sambut Bima.

"Maaf, kami sudah berusaha semampunya, tapi kelihatannya kami harus melakukan amputasi secepatnya. Kedua kakinya remuk dan tidak bisa dipertahankan. Nyawanya lebih penting daripada kedua kakinya sekarang."

Bima melenguh panjang, tubuhnya limbung. Ilona merangkulkan tangannya ke pundak Bima, dan untuk sesaat berpikir, Bima semakin kurus dan ringkih dibanding dua tahun lalu ketika mereka berpisah.

Dokter itu mempersilahkan Bima mengurus surat ijin melakukan proses operasi di ruangan administrasi secepatnya. Ilona mengantar dan menemani Bima sambil membisu.

Ilona merasakan ponselnya bergetar. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas dan melihat tulisan di layar lcd. 1 new massage.

From : Ferdan

21/12/2008
21.42 WIB

Aku di tempat parkir.

Bima melihat Ilona menutup ponselnya. "Dia?"

Ilona mengangguk. "Aku harus pulang. Sudah terlalu malam dan aku harus bekerja besok pagi. Kamu keberatan kalau aku tinggal sekarang?"

"Tidak, tidak apa-apa. Sebentar lagi adiknya Ranti akan datang menemaniku. Aku sudah memberitahunya tadi. Maaf, aku membuatmu tertahan."

"Jangan dipikirkan. Emh ... maukah kamu memberiku kabar mengenai keadaan Ranti setelah operasi? Aku akan menunggu."

Bima mengangguk pelan. "Ya, aku akan mengabarimu. Ilona ..., terima kasih." Bima menggenggam tangan Ilona dan menatapnya sendu. "Aku sama sekali tidak pernah mengira akan bertemu denganmu di saat seperti ini."

"Sejujurnya aku juga tidak pernah menyangka kita akan bertemu kembali dalam keadaan seperti ini. Aku berharap semua akan baik-baik saja terutama untuk Ranti. Kasihan anak-anakmu."

"Aku juga berharap begitu. Kau dan dia ..., sudah serius?" Tanya Bima terbata. Ia melihat ketika laki-laki bernama Ferdan itu menyentuh bahu Ilona sebelum pergi, dan itu harus diakui membuatnya tidak nyaman.

"Entahlah," jawab Ilona lugas. "Dia atasanku di kantor dan kami belum sampai enam bulan bersama, baik dalam hubungan profesional maupun sebagai teman. Aku hanya merasa nyaman dengannya, terlebih karena anaknya juga dekat padaku."

"Dia kelihatan baik. Kau juga terlihat cantik."

Ilona tersenyum. Dia tidak menjawab, hanya melambaikan tangan dan berlalu. Bima menatap punggungnya berjalan semakin menjauh dan perlahan-lahan angin membuyarkan keharuman mawar dan citrus dari tubuh Ilona. Kerinduan yang lama mengendap tiba-tiba meruak muncul kembali ke permukaan.


$$$$$

Sempurnanya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang