Kerumunan pelayat dengan gaun hitam telah memenuhi area pemakaman istana. Menyaksikan saat terakhir mereka melihat sang Ratu Aldwick. Awan abu-abu menyelimuti langit membuat suasana berkabung semakin terasa. Isak tangis terkadang terdengar dari beberapa pelayat yang mengenal dekat sang Ratu yang baik hati.
Di sebuah ruangan yang gelap, gorden ruangan itu masih dibiarkan tertutup. Ruangan yang terlihat kacau dengan banyak barang berserakan dimana-mana. Seorang pria dengan rambut perak duduk menghadap kedinding dimana lukisan seorang wanita beriris biru dan senyum manis dibibirnya terpasang disana. Raut wajah sendu dan bersedih belum hilang dari wajahnya.
"Jadi, ini yang kau inginkan?" Suara penuh duka dan kekecewaan terdengar dari sela bibirnya. "Kau tidak pernah mendengarkanku walau sekali saja. Tidak, harusnya aku membunuhnya selagi bisa dan membiarkanmu selamat."Devian meraih pedang disampingnya dan segera berjalan cepat keluar ruangannya. Dia melewati beberapa lorong panjang dan gelap dalam kastilnya, perlahan kenangan-kenangan Indah bersama sang istri selama lima tahun bersamanya kembali terlintas dikepalanya menyisakan kemarahan dan kepedihan yang ia rasakan. Sampai di depan sebuah pintu besar Devian menendang pintu tersebut yang seketika terbuka dan menimbulkan suara yang begitu keras.
Beryl berbalik menatap siapa yang telah membuat kekacauan dengan masuk kekamar Alice. Beryl terbelalak kaget melihat kedatangan Devian, gadis itu segera mendekap bayi yang tengah terlelap di dalam lengannya. Devian berjalan cepat kearah mereka, menarik pedang dari sarungnya dan melemparkannya ke sembarang arah. Devian segera mengambil ancang-ancang dan mengayunkan pedangnya kearah Beryl.
Beryl segera mengelak kesembarang arah agar dia dan bayi di tangannya tidak terkena sabetan senjata Devian. Pedang Devian berhasil membelah salah satu kursi disana. Membuat Beryl semakin gemetar ketakutan.
"Serahkan makluk itu dan akan ku biarkan kau hidup." Gumam Devian penuh amarah."Tidak, Yang Mulia!!" Tolak Beryl. "Yang Mulia Alice telah meminta saya untuk melindungi dan menjaga pangeran Alexis."
"Alexis??" Devian bertanya tak percaya. "Bahkan dia sudah memberikan nama untukmu?" Gumam Devian semakin marah.
"Yang Mulia juga meninggalkan ini untuk anda." Beryl mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya mengulurkan tangannya kepada Devian dengan gemetar. "Ratu, menghabisakan 5 Bulan kehamilannya dengan memikirkan kesalahannya terhadap anda. Ratu juga merasa menyesal karena memilih untuk melawan anda, Yang Mulia."
Devian menjatuhkan pedang ditangannya dan meraih surat itu. Dengan cepat pria itu menyobek kertas amplop ditangannya dan membaca kertas yang terlipat rapi didalamnya.
Yang mulia, entah bagaimana saya harus memulainya. Selama empat Bulan anda mengabaikan saya, tapi saya tidak menyalahkan anda. Maaf atas keegoisan yang saya miliki, maaf jika mempertahankan bayi ini adalah sebuah kesalahan. Tapi, dia begitu berarti. Setiap malam dia meminta maaf dalam mimpi saya, setiap malam dia bertanya tentang anda. Anda boleh membenci saya, tapi sayangi Alexis. Jangan biarkan dia hidup tanpa Kasih sayang kedua orang tuanya. Setidaknya, peluklah dia seperti anda selalu memeluk saya setiap malam.
Saya akan mencintai anda Yang Mulia Devian.Devian meremas kuat kertas ditangannya dan membuangnya ke lantai dengan kasar.
"Singkirkan dia dari pandanganku." Gumam Devian meninggalkan Beryl dan Bayi Alexis di ruangan itu.Alexis Windsor tumbuh begitu cepat meskipun tanpa kedua orang tua disampingnya. Hidup bersama sang kakek dan nenek di Corfe tanpa menanyakan tentang kedua orang tuanya. Hidup dengan Kasih sayang yang berlimpah dari kakek dan neneknya. Kini pangeran kecil telah menginjak usia delapan tahun dan selalu ditemani sang pengasuh sekaligus pengawal pribadinya Howen seorang putra bangsawan dari kerajaan iblis.
Howen selalu menemani Alexis kemanapun dia pergi. Mengawal dan menjaga Pangeran Muda dari bahaya, juga bertugas sebagai guru bagi sang Pangeran. Howen tak akan pernah membiarkan Pangeran Alexis terluka.
Namun, suatu hari utusan Aldwick datang dan memerintahkan Pangeran Alexis untuk kembali Ke Aldwick. Setelah sekian lama dia tak mengenal sang ayah. Dia akhirnya bisa menemuinya, kebahagiaan menyelimutinya tapi juga rasa takut yang datang entah dari mana.
Alexis terlihat gelisah di dalam keretanya. Howen yang melihat kegelisahan Tuannya dari jendela segera menghampiri dengan mensejajarkan kudanya dengan jendela kereta kuda Alexis.
"Pangeran apa ada masalah?" Tanya Howen."Aku tidak tahu, apa ayah akan bahagia melihatku?" Alexis menatap Howen dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Howen terdiam sesaat, dia mencoba memikirkan bagaimana memberikan jawaban yang tidak akan mengecewakan tuannya. "Bagaimana menurut anda sendiri Yang Mulia? Apa yang anda rasakan saat ini?" Akhirnya Howen kembali bertanya.
"Aku merasa bahagia tapi juga takut, karena aku belum pernah bertemu dengannya. Aku hanya takut jika kami... " Alexis menunduk dan tidak melanjutkan kalimatnya.
"Yang Mulia, semua membutuhkan waktu bukankah kita baru saja mempelajarinya?" Howen mencoba memberi Alexis semangat.
"Kau benar, Howen. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi, bukankah begitu." Alexis bersandar pada kursi kereta dan menggunakan lengannya sebagai tumpuan di belakang kepalanya.
Sejenak Howen merasa lega Alexis dapat menenangkan dirinya.
Jauh, didalam hutan Blackville. Hutan yang dipenuhi makluk buas dan makluk mengerikan yang tidak akan pernah kau bayangkan. Disana sebuah gubuk kecil berdiri, seorang wanita dengan gaun lusuh tengah menanti seseorang dengan gelisah. Tak berapa lama seorang anak berusia berusia sekitar dua belas tahun mulai memasuki pekarangan rumah kecil itu dengan membawa sebuah karung ditangannya.
"Rhodri kenapa kau baru kembali? Kau membuat ibu cemas." Wanita itu dengan cepat menghampiri anaknya."Aku membawa cukup makanan untuk kita, bu." Rhodri menyerahkan karung itu pada ibunya.
"Seandainya ayahmu tidak melakukan hal konyol pasti kita tidak akan hidup seperti ini. Menjadi penjahat kerajaan dan bersembunyi. Ibu memberimu nama Rhodri agar kau bisa menjadi Raja seperti ayahmu." Wanita itu terus bicara dengan menggebu-gebu, mengenang masa lalunya sebagai Ratu dan Bangsawan terhormat di kerajaan Aldwick.
"Aleysia, berhentilah bicara dan bawa kemari. Aku sudah lapar." Teriak suara seseorang dari dalam rumah.
Seorang pria tua keluar untuk menyuruh Putri dan cucunya untuk segera masuk.
"Ini juga salah ayah, harusnya ayah meminta Adrian untuk tetap diam dan tidak menyentuh Corfe atau gadis sialan itu. Meskipun dia sudah mati, tapi aku masih belum tenang." Gumamnya penuh amarah."Sudahlah, Aleysia kita hanya harus menjaga agar tak ada yang tahu kita disini."
"Kakek, kenapa ibu terus saja membicarakan ayah yang begitu payah? Aku lebih menyukai Raja Devian, dia terlihat hebat."
"Jangan menyebut nama itu, ibu muak mendengarnya Rhodri. Ayah, kau sudah menemui orang-orang itu? Yang membantu Adrian melakukan upacara terlarang itu." Aleysia beralih pada ayahnya.
"Seperti dugaan Adrian, dia bisa dibangkitkan jika Raja iblis itu melanggar perjanjiannya. Tapi, tanpa air dari danau keabadian dan tubuh yang bisa menerima jiwanya itu akan sulit." Jelas Ayah Aleysia.
Aleysia terlihat berfikis sejenak dan melirik putranya yang tengah terdiam mendengarkan sang kakek.
Senang bisa bertemu lagi disequel I'm in love with a moster.. 😄
Maaf jika tidak sesuai dengan harapan readers semua, tapi akan ada kejutan lain yang menanti kok.. 😂😂 jadi jangan kecewa dulu ya... 😢😢
Author udah mencoba membuat prolog yang Bagus dan membuat semua penasaran.. Ampek ngetik ulang berkali-kali.. 😣 jadi author harap kalian suka dan menyempatkan diri untuk Voment.. 😘😘 okay happy reading.. 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Devil Child [ TAMAT]
Fantasy#10 in fantasy 18/04/2017 Ketika seorang bayi harus terlahir dengan pengorbanan nyawa sang ibu yang membuatnya harus berada diantara hidup dan mati menunggu adanya keajaiban atau kemurahan hati sang dewa. Bayi yang hadir kedunia tanpa dosa tapi juga...