7

13 3 0
                                    

Aku berada di kamar dengan sebuah layar tiga belas inci di hadapan. Kepalaku terasa berat untuk diangkat dan di sana --di layar tiga belas inchi itu-- sekumpulan huruf itu terlihat, kata-kata yang anehnya tertulis tanpa kordinasi berarti dengan otak, hingga setelah membacanya hanya membuat keningku berkerut.

1. Asethaminofen
2. Sastra tidak hanya sekumpulan kata

Ya, aku masih berkutat dengan dua petunjuk di level pertama.

****
"Jadi bagaimana?" Suara itu menyambutku ketika berada di dalam sebuah ruangan di rumah ini. Aku melihat cerminanku, dengan tingkah dan sifat yang kontras denganku. Dia memberikan gerakan seolah mempersilakan aku menempati kursi yang sekarang terlihat menakutkan. Sebuah 'kursi panas' yang berada dihadapannya.

Ruangan ini biasanya digunakan oleh orang tersebut untuk belajar dan sekarang tempatnya bekerja. Sebuah meja dengan dua buah cangkir di atasnya membatasi kami. Masih terdiam, aku coba menelusur ruangan yang sekarang kami diami.

Di belakang sosok dengan kemeja santai itu terdapat lemari kaca bergaya klasik. Lemari itu diletakkan memenuhi sisi dinding dan membelakanginya. Di dalamnya terdapat beberapa buku bacaan dari yang berat hingga ringan. Beralih di bagian atas terdapat sebuah lampu gantung yang memberikan kesan modern sekaligus santai bagi ruangan ini.

Tidak ada yang berubah di sini setelah sekian lama aku abaikan. Tidak ada... kecuali manusia yang sudah memintaku datang ke sini dan sekarang duduk di depanku.

***

Detakan jarum jam memecah keheningan ruangan. Tanpa pergerakkan yang berarti, kutatap dia yang sekarang mengambil sebatang rokok dari saku bajunya disertai sebuah pematik.

Cetek

Pematik berapi itu kemudian didekatkan ke arah batang rokok yang sudah menempel di bibirnya. Asap kecil dari batang rokok itu memekat seiring dengan hembusan kasar yang keluar dari mulutnya.

"Hemm" aku berujar sambil memandang ke depan, mengangkat secangkir kopi dan meminum jamuan yang ia berikan --bertindak sesantai mungkin atas intimidasi yang coba ia berikan.

Kulihat dia bergerak gusar atas reaksiku.

Bug!!

"Kamu tahu kan apa tujuanmu bersekolah di sana?!" Suaranya naik beberapa oktaf memecah keheningan. Aku sendiri masih memandang acuh atas tingkahnya, kulihat matanya menyalang penuh dendam. Anggukkan kepala kuberikan sebagai jawaban semua titahnya lalu aku membenarkan posisi dudukku.

***

Aku keluar dari ruangan yang terasa pengap asap rokok disertai hujatan kata yang tajam di telinga. Yakin ia tidak akan membiarkanku keluar tanpa kepastian, maka senyuman kuukir di bibir disertai sepatah kata penutup.

"Aku punya rencana dan. jangan. ganggu. ren-ca-na-ku." Kukatakan dengan jelas dan tajam. Aku berdiri menantapnya. Mengancam sambil tersenyum, mungkin dia tidak pernah tahu aku bisa juga menyerangnya. Seketika orang yang berada dihadapanku terpaku atas ancamanku. Tangannya mengepal dengan getaran di sekujur tubuh. Melihat tidak adanya pergerakkan, aku segera berjalan menjauhi orang itu.

Prang

Tepat setelah aku menutup pintu, kudengar suara pecahan kaca.

Cih, dia masih belum bisa mengendalikan tempramennya.

Aku berjalan keluar dari gedung menuju ke sebuah rumah yang sekarang kutempati karena letaknya yang dekat dengan sekolah.

Ya, aku punya satu tujuan bersekolah di sana, dan tak akan kubiarkan sifat buruknya mengacaukan seluruh rencanaku.

****

Setelah dua malam berusaha memecahkan dua petunjuk Q dan berakhir pada tubuhku yang pegal akibat seringnya tertidur di depan meja belajar, aku memutuskan untuk mencari beberapa ide lewat perpustakaan sekolah.

Tangan kupukul ke arah punggung, mencoba menghilangkan rasa nyeri itu. Mata kupandang ke meja yang diatasnya terdapat beberapa buku. Berkali-kali aku harus menarik nafas berat saat buku yang aku baca tidak sesuai perkiraan.

Kenapa membaca buku bisa jadi seberat ini.

Ekor mataku memandang ke arah sosok perempuan yang sekarang mendekatiku.

"Uta!!" Suaranya yang cempreng membuatku tersentak kaget, refleks ku dekatkan jari telunjukku ke arah bibir.

"Ssst,"aku lihat dia menyadari kesalahannya ketika hampir semua penghuni perpustakaan menatap kami, terganggu.

Senyuman-serba-salah- dia perlihatkan berujung pada beberapa pasang mata yang menatap sambil menggeleng akibat 'sedikit' gangguan yang ditimbulkan oleh Air.

Aku pun langsung melanjutkan sesi membacaku yang tadi sempat terganggu tanpa memedulikan kehadirannya yang mulai mendekat.

Sret

Perempuan itu menggeser kursi tepat di sampingku. Aku kembali mengalihkan perhatian pada bacaanku saat kurasa sosok di sampingku bergerak seiring dengan bacaan yang kubaca.

"Tunggu, Uta. Aku masih belom selesai." Aku mengeryitkan dahi saat tangannya menahan tanganku yang hendak melanjutkan bacaanku dengan mengganti halaman buku.

"Apa yang kamu lakukan?" Aku melepaskan tangannya dan mencoba meraih buku itu menjauh dari jangkauannya.

"Kamu sendiri, kenapa membaca buku sebanyak ini?" Tangannya menunjuk ke arah buku yang memang sudah berserakan, terbuka di beberapa halaman dan saling menumpuk di hadapanku.

"Sudahlah, Air. Tidak cukupkah kamu menggangguku selama kita berada di kelas?" Kurasakan tubuh yang awalnya dekat merenggang dan kepalanya mulai menunduk.

"Aku hanya prihatin. Akhir-akhir ini kamu terlihat uring-uringan. Mungkin kamu butuh teman bicara." Dengan polos dia mengatakan hal itu. Aku menatapnya, melihat wajahnya yang terlihat menunggu jawaban, penuh harap. Aku langsung menutup buku yang aku baca, tidak berminat.

"Sudah, ya. Aku sudah selesai." Aku berdiri, memisahkan beberapa buku menjadi dua bagian. Aku mengambil satu tumpukan buku yang kuanggap penting. Disisi kanan merupakan buku penting sementara sisi lainnya buku yang aku tinggalkan. Kemudian berjalan meninggalkan tempatku membaca. Sebelum meninggalkan perpustakaan, aku menaruh buku yang tidak diperlukan serta mengurus administrasi peminjaman buku.

Maaf Air. Masa lalu membuat aku belajar bahwa pertemanan itu tidak semudah genggaman tangan atau sekedar bertukar pikiran.

****
Sementara sesosok lelaki tua yang berada di depan kumpulan monitor tersenyum penuh arti.

"Kurasa permainan ini akan menarik, aku sudah tidak sabar menunggunya, dan kamu sudah siapkan berkas yang kuminta."

Aku yang sejak tadi berdiri di belakangnya--dengan beberapa berkas dalam genggaman-- langsung tersentak dan menaruh berkas di hadapannya.

"Ini tuan, seperti yang anda minta semua informasi sejak lahir hingga sekarang."

"Kamu memang dapat diandalkan." Bapak itu langsung mengambil salah satu berkas dalam jangkauannya dan  mempelajarinya dengan serius.

"Tapi, kenapa anda terlihat begitu antusias dengan para peserta ini?"
Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa saringan, seakan-akan dia sejawat denganku. Mulutku terdiam saat menatap punggung bapak itu yang terlihat kaget atas pertanyaanku.

Sial, mulut polos ini berbicara seenaknya. Aku harus mulai mengerem perkataan mulai sekarang.

"Kau akan mengetahuinya nanti. Permaianan ini akan menarik setelah mereka saling bertemu dan bersaing. Suatu kehormatan bagimu mengetahui cara mereka bertahan. Aku mulai jenuh dengan permainan ini dan kehadiran mereka membuatku kembali memiliki gairah hidup."

Aku menatap horor ke arah orang tua itu. Dia berkata seakan-akan segala penderitaan akibat permainan ini adalah sebuah hiburan.

Black Q (Sebuah Prototipe)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang