11

8 1 1
                                    

Suri

Aku berangkat ke sekolah dengan senyuman. Pagi ini kami makan seperti biasa-- aku, ibu, dan ayah-- walau hanya sebentar. Ibu menatapku ketika aku memulai sarapan. Dia tidak makan tapi terus menerus duduk dihadapan menemaniku selama sarapan--satu kegiatan yang sudah sangat lama tidak kami lakukan.

"Kamu sudah dewasa, nak?" Aku berhenti beberapa saat kemudian menyuap makanan yang ada dihadapanku. Saat kami bertatapan, aku pun tersenyum dan kembali melanjutkan makan.

"Kamu tahu, kejadian itu mengubah segalanya. Uta yang sekarang masih di Rumah sakit dan keadaan rumah yang tidak sama lagi." Aku mendengar suara ibu bergetar saat mengatakan hal itu.

" Ayahmu sedang menanyakan masalah ini pada pihak sekolah. Mencari kebenaran akan apa yang dialami Uta, maka dari itu dia selalu berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam." Aku merasakan sapuan lembut di kepalaku dan melirik ke samping. Di sana ibu sudah berdiri, kemudian menggeser kursi yang berada di sampingku. "Terima kasih, sayang. Untuk tidak menuntut banyak hal dan tidak mengeluhkan keadaan kita. Ibu janji ini tidak akan lama." Aku sadar bahwa mungkin akan menjadi  egois jika menanyakan pada ibu ataupun ayah tentang hal ini. Menanyakan tentang keadaan anaknya yang lain tidak menyelesaikan apapun. Jadi setelah mendengar itu aku pun hanya tersenyum sambil melanjutkan acara makanku.

****
Laksamana Putra Ebony

Aku tahu bahwa menjadi kepala keluarga itu bukanlah hal mudah. Setidaknya aku bertanggung jawab atas orang-orang yang berada dalam atap rumahku. Keluargaku sendiri. Kehadiran Uta di dalam keluarga mampu memberikan warna tersendiri, salah satunya kebersamaan.

Dan saat mendengar Uta mengalami insiden. Entah mengapa hatiku tergores. Suasana kantor mendadak tidak kondusif. Aku sendiri memutuskan pulang lebih awal karena sulit berkonsentrasi.

Ya, Serenada menelepon dan cukup bagiku untuk menyimpulkan bahwa ada yang janggal dan ini tidak baik-baik saja. Terlebih saat melihat Uta terbaring di atas tempat tidur dengan penampilan yang berantakan, membuat aku bertanya

Apa yang sudah terjadi?

Pertanyaan itu muncul di otakku. Namun saat melihat wajah yang penuh dengan kecemasan dan kebingungan yang berada dihadapan--disuguhi oleh Serenada, membuatku berpikir bahwa jawabannya takkan ku temukan di sini.

Jadi setelah meminta nasihat medis tentang Uta, aku putuskan untuk menyelesaikan masalah ini dengan caraku sendiri.

Di kantor ini aku duduk, mata ku  tatap ke hadapan di mana banyak tulisan motivasi diletakkan dengan  artistik. Kuraih secarik kertas yang berada di hadapan kemudian menuliskan beberapa nama yang sering Uta bicarakan. Tapi dari sekian banyak manusia yang aku dengar, aku tidak menemukan jawaban apapun.

Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi pihak sekolah, dan pilihan jatuh pada wali kelas Uta.

Jam sudah menunjukan pukul sepuluh dan Surya-- walikelas Uta-- masih belum bisa kuhubungi. Aku mengambil ponsel, untuk kembali mencoba menghubunginya kemudian membanting kotak itu karena panggilanku ditolaknya.

Aku butuh penyegaran

Saat berjalan ke luar kantor, beberapa orang menatapku. Sepertinya mereka membicarakanku, karena saat aku berjalan mendekat mereka terkejut, seolah aku memergokinya.

Sebuah ruangan terbuka  menjadi tujuanku. Sebuah ruang hijau berhiaskan beberapa pot tanaman, meja taman yang di letakkan di beberapa titik, hingga tanaman menjalar yang membungkus tangga serta pegangan pembatas gedung dengan bagian luar gedung  dan yang paling utama tentu saja pemandangan dari atas gedung ini, --mengambarkan seberapa nyaman ruangan ini. Wajarlah jika tempat ini menjadi hiburan para karyawan disaat suntuk .

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Black Q (Sebuah Prototipe)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang