SURI : Tiga tahun lalu.
"Buu, Ibu di mana?"
Aku berdiri di depan rumah bercat biru, tanganku menggenggam handphone dan benda itu tertempel di telinga. Suara rintikan hujan mengisi kekosongan saat ini sementara mataku memandang ke sekeliling yang terlihat lembab. Hujan mengesalkanku kali ini karena aku terkurung di luar rumah."Maaf nak, tidak mengabari. Ibu tadi buru-buru karena mendapatkan telepon dari rumah sakit."
Aku terkejut mendengar hal itu. Setelah mendapatkan alamat rumah sakit, aku mengirimkan pesan singkat ke ayah dan bergegas pergi ke sana.Bau karbol menguar pekat begitu aku memasuki rumah sakit. Kaki kulangkahkan ke ruangan di mana ibu berada sekarang.
Dan disini aku berada. Tepat dihadapan seorang gadis yang terbaring lemah, dengan selang infus sebagai topangannya. Setahuku tadi pagi dia berangkat ke sekolah seperti biasa, tapi keadaan dibadannya tidak menunjukkan dia baik-baik saja.
Beberapa lumpur yang menempel di tangan, serta bajunya menjadi hal yang menonjol darinya. Uta ... apa yang sebenarnya terjadi?
Suasana ruang UGD terasa lenggang, hujan mungkin menjadi penyebab orang-orang enggan beraktifitas di luar ruangan. Aku sendiri masih menunggu kedatangan ibu yang keluar tak lama setelah aku duduk di sisi ranjang Uta.
Srek
Aku berdiri memandang orang yang datang dengan senyuman lemah, wajahnya terlihat lelah, sementara matanya memerah, seperti telah menangis, kulihat tangannya menggenggam sebuah kantong.
"Kamu belum makan kan, nak?" Ibu mengangsurkan kresek itu ke hadapanku. Aku ambil dan membuka kresek yang tadi diberikannya, Ayam goreng. Aku langsung menoleh ke arah ibu yang tengah memandang Uta dengan tatapan sedih.
Beberapa detik, ibu memandangku dan berkata "Makanlah. Besok kamu harus sekolah." Aku menganguk dan mengalihkan pandanganku ke arah makanan yang sudah kutaruh di atas meja dan memakannya. Di ekor mataku kulihat ibu berjalan mendekati Uta yang masih terbaring lemah. Tangannya meraih pucuk kepalanya seraya mengelus lembut penuh kasih. Aku yang melirik sekilas hanya bisa merasakan sakit yang sulit terlukis ketika menyaksikan hal tersebut.
De
Ja
vuIbu selalu menangis untuk Uta, dahulu dan sekarang. Baik saat Ayah membawa pulang dengan lumpur di sekujur tubuh Uta maupun sekarang saat ia ditemukan di rumah sakit.
Setelah selesai makan aku pamit ke kamar mandi dengan sekantong sampah--sisa makanan-- yang ku bawa keluar. Selama perjalanan dari UGD ke kamar mandi aku menatap beberapa orang yang duduk mengantri untuk mengambil obat. Satu dua orang masuk ke dalam rumah sakit dalam keadaan basah kuyup, menandakan hujan masih betah menyapa bumi. Mungkin awan terlalu rindu dengan tanah, hingga pesan yang dititipkannya pada hujan terus terkirim, belum berhenti.
Setelah keluar kamar mandi aku merogoh handphone yang berada di saku. Mencoba menghubungi ayah, tapi disapa oleh nada peringatan : sebuah pesan suara.
Aku menyapu ruangan dan tertarik pada seseorang yang berlari cepat menuju ruangan UGD. Rambut dan bajunya terlihat basah dan dia terlihat kalut.
Itu Ayah!
Refleks tangan kuangkat untuk memberitahukan keberadaanku, namun tidak disadarinya.
Aku urungkan niatku untuk memanggilnya dan kembali melihat sekeliling daerah yang kulewati. Aku membeli air mineral dari sebuah alat penjualan minuman elektrik yang kulewati dan kembali melanjutkan perjalanku ke arah UGD.Di ujung pintu aku terdiam, tanganku menggengam rok seragam yang mulai mengering, hingga botol dalam gengamanku terjatuh. Dari luar UGD aku mendengar sesuatu yang tidak pernah terdengar sebelumnya, tangisan memilukan Ibu. Seketika dadaku terasa sakit, aku menunduk menahan rasa sakit. Air mataku menetes satu demi satu, tanganku saling mengepal dan aku berusaha menguatkan diri sendiri.
Aku masuk sambil menuduk, ayah dan ibu memanggilku seraya memberi gerakan membuka tangan, ingin memeluk. Aku berjalan ragu-ragu, hingga sampai ke pelukan mereka. Kami saling berpelukan. Saling mengisi rasa sakit seperti obat dan berusaha untuk menegakkan saling menguatkan.
****
Ayah mengantar aku dan ibu ke rumah, kemudian kembali ke rumah sakit untuk menjaga Uta. Sesekali ku lihat ibu mematung, seperti ada selaput yang menghalanginya dengan kami. Kejadian ini mengagetkan dan menyakiti kami. Jadi menjadi waras adalah cara bagi kami bertahan.Suasana rumah membeku seiring dengan berjalannya waktu. Aku sering mendengar ibu menangis ketika malam hari dan ayah yang sering membanting telepon gengamnya setelah menelepon entah siapa. Tapi anehnya setiap kami; aku, ayah dan ibu berkumpul semuanya memakai topeng, seakan semua baik-baik saja.
Seakan tak ada masalah.
Uta masih dirawat di rumah sakit, aku sendiri masih sering menjenguknya sepulang sekolah. Saat melihatnya di sana, aku dihadapkan oleh sebuah patung hidup. Semuanya baik-baik saja. Luka lebam dan lumpur yang sebelumnya terlihat sudah tak berbekas di tubuhnya, tapi satu hal yang hilang darinya. Senyumannya, keceriaannya dan yang paling parah adalah kesadarannya.
Ya, tubuh Uta mungkin hidup, tak ada yang sakit di tubuhnya, semua normal. Tetapi aku melihat dia menatapku dengan sebuah tatapan kosong.
****
"Kita harus segera membawanya ke spesialis.""Jangan! Dia tidak gila, yah."
Aku berada di luar ruang kerja ayah. Di malam hari aku kehausan, dan suara yang terlampau lantang itu mencuri perhatianku. Seharusnya aku tidak di sini--mencuri dengar di ujung pintu. Seharusnya aku langsung ke dapur, mengambil air dan langsung pergi ke kamar."Kamu jangan egois! Kamu terlalu gengsi menghadapi kenyataan ini !"
Aku kaget begitu mendengar ayah mengatakan hal itu dengan keras. Ayah adalah satu-satunya lelaki di rumah ini, tapi tidak pernah sekalipun bersikap otoriter. Beliau biasanya selalu meminta pendapat anggota keluarga lainnya saat ada masalah.Tapi tidak kali ini.
Setelahnya tak terdengar suara apapun, susasana di dalam ruangan ayah terasa sangat dingin. Pintu yang sedikit terbuka membuatku penasaran untuk mengintip keadaan di dalam ruangan.
Nihil.
Karena yang terlihat dari luar tempatku berdiri hanyalah sebuah karpet yang senada dengan warna dinding yang berada di dalam ruangan tersebut.
Aku kembali memusatkan otakku untuk mendengar peristiwa apa yang terjadi di dalam ruang kerja ayah, dari sana aku dengar suara tangisan.
Ibu menangis, dengan suara yang lebih keras dari tangisan yang biasa disembunyikan pada malam hari, lebih menyayat dari yang pernah ku tahu dan dadaku terasa teriris. Ingin rasanya aku membuka pintu dan berlari memeluk ibu tapi aku bertahan dengan kepalan tanganku. Aku kembali mendengar keadaan di dalam ruangan itu dengan nafas yang terasa berat. Kudengar sebuah langkah kaki dan deritan sofa.
"Kita tidak membuang Uta, aku bertanggung jawab akan hal itu. Uta punya masa depan dan menunda pengobatannya hanya akan menghambat kesembuhannya. Kita juga masih punya Suri yang selama ini terabaikan. Pernahkah kamu menanyakan Suri tentang sekolahnya, apakah ada kesulitan?atau menanyakan keinginan Suri melanjutkan ke sekolah menengah mana?"
Aku terdiam dengan air mata yang dengan lancangnya hadir. Aku tahu bahwa selama ini mereka mengabaikanku. Awalnya aku merasa marah dengan keadaan ini, sampai akhirnya aku menyangkal dan tidak peduli pada keadaan rumah. Ya, aku bertahan untuk diriku sendiri.
"Kita hadapi bersama, tapi jangan mengorbankan siapapun. Suri juga berhak mendapatkan perhatian dari kita."
Aku bergegas ke kamar dan melupakan tujuanku ke bawah. Di kamar aku kembali mencerna akan apa yang terjadi. Aku berjalan ke arah meja dan melihat kalender. Satu bulan lagi aku akan menghadapi ujian kelulusan. Aku pun menarik nafas dan membulatkan tekad, sebelum bergegas tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Q (Sebuah Prototipe)
Mystery / ThrillerSelamat datang di Q indonesia. kamu tepilih sebagai peserta dalam event yang sedang berlangsung di Q regional ini. Kami tunggu kontribusinya Itu adalah kata-kata yang tertulis dalam pesan yang baru saja kubuka. Aku kira ini adalah penyambutan untu...