9

7 2 0
                                    

Dia Ruby.

Seketika tanganku bergetar mengingat nama itu, dadaku berdegup begitu kencang. Otakku tidak bisa berpikir akan apapun. Hal yang pertama kali aku ingat adalah hacker itu.

Ya.

Aku butuh pertolongannya sekarang.

Aku butuh bantuannya.

Aku mencoba menarik nafasku dalam. Menormalkannya dan menjernihkan pikiranku. Tanganku langsung beralih ke arah mouse dan kembali membuka forum hacker tersebut.

Di sana terdapat banyak informasi tentang teknologi, gadget atau apapun. Aku tidak terlalu memikirkan hal itu, karena user name itu terus terngiang di pikiranku. Di berandaku tidak ada umpan balik apapun darinya, termasuk pesan pribadi. Akupun beralih ke profilnya dan mencari tahu aktifitas terakhirnya. Tidak ada yang berbeda.

Karena aktifitas terakhirnya adalah tepat saat dia memperingatiku.

****
( Ruby : 3 tahun lalu)

"Tak bisakah kamu memikirkan dirimu sendiri."
Aku menoleh begitu mendengar suara itu. Adit bersuara saat aku berada di UKS bersama Lyra.

Senyuman langsung aku berikan dan kembali melanjutkan kegiatanku, memperban tangan Lyra yang terluka seperti biasa.

"Aku hanya takut jika tangannya tidak kunjung sembuh. lihat lukanya!" Aku menunjuk beberapa luka tambahan yang membuat aku berpikir apa yang dia lakukan sebenarnya. "Lyr, Tidak bisakah kamu berhenti membuatku khawatir?" Aku katakan itu sambil mengobati beberapa lukanya dengan obat merah.

"Aku ... baru akan mengerjakan pekerjaan rumah tanpa sadar aku terjatuh. Kupikir tak ada masalah selain lebam di lutut tapi ... aduh jangan keras-keras ... sakit." Lyra berkata seakan itu hal biasa, tapi luka di tangan itu mengatakan sebaliknya.

Aku kembali memandang goresan luka yang ada di sana, melihat seberapa dalam luka itu. Air mataku menetes saat lukanya kusentuh dan dia meringis atas usapanku. Dia tidak pernah mau mengatakan hal sebenarnya. Karena aku tahu lukanya bukan hanya akibat kecerobohannya. Pasti lebih dari itu, dan parahnya aku tidak tahu apa itu.

"By, jangan sedih. A ... aku minta maaf. Ini akan segera sembuh," dia membulak balikkan tangan yang selesai kuobati,"karena aku punya perawat handal di sini." Kemudian mengukir senyum tak bersalahnya dihadapanku, memelukku kaku dan aku tak bisa berbuat banyak.

Adit yang sejak tadi berada di belakangku tidak berkata apapun. Aku berkesimpulan bahwa dia menggeleng kepala karena setelahnya Lyra tersenyum serba salah kembali ke arah belakangku. Ke arah Adit.

***
"Menurutmu dia kenapa? Kenapa selalu ada luka di tubuhnya?" Aku bertanya pada Adit saat kami pulang sekolah. Adit hanya menggeleng tidak tahu.

"Jangan terlalu memikirkan orang lain, aku takut kebaikanmu hanya akan menyakitimu secara perlahan." Aku menoleh ke arahnya tidak mengerti dan dijawab Adit dengan mengangkat bahu, tidak peduli.

Dalam perjalanan pulang, aku kembali mengingat kehadirannya di sekolah kami.

Dia Lyra Fibonacci murid baru di sekolah ini. Namanya diambil dari salah satu istilah matematika karena orang tuanya yang sangat menyukai bidang itu.

Aku teringat saat dia datang ke kelas. Baju yang kusut dengan rambut yang berantakan menjadi pemandangan yang mencolok untuk siswi yang datang ke sekolah, memperkenalkan diri sebagai murid baru. Aku sampai termenung dan penasaran apa yang dilakukannya sebelum berangkat sekolah hingga bajunya seberantakan ini. Tapi diantara semua keanehannya, satu hal yang membuat aku penasaran dengannya adalah senyuman yang tidak pernah hilang, bahkan saat pertama kali dia datang memperkenalkan diri.

Wali kelas langsung menunjukku sebagai teman sebangku dan memintaku mengenalkan apa saja yang ada di sekolah ini. Semua murid merasa dirinya aneh begitu dia berjalan melewati beberapa kursi, dan dibalas dengan senyuman tulusnya.

Gadis itu awalnya tidak menyadari kehadirannya merisihkan banyak orang. Dia baru merasa ada yang aneh saat ada tugas yang mengharuskannya berkelompok secara bebas dan berakhir dengan kesendiriannya.

Dia bahkan tersenyum saat seorang guru menanyakan teman kelompoknya.
"Aku... terlalu asik mengerjakan tugasnya, hingga tidak menyadari kalau itu tugas kelompok." Aku melihatnya tersenyum lebar setelah mengatakan hal itu. Kemudian kulihat guru itu membisikkan beberapa hal yang dibalas dengan beberapa anggukan.

Aku terpaku menatapnya. Penasaran lebih tepatnya.

****

"Tidakkah anda takut jika sistem Q nanti dihancurkan oleh hacker?"

Aku bertanya saat kami sudah mengumumkan tujuh puluh peserta yang akan berlanjut ke babak selanjutnya. Aku menatap punggung pemimpin Q yang sedang berfokus terhadap tujuh puluh profil peserta yang sudah terpilih.

"Hacker?" Bapak tua itu bertanya sambil melanjutkan aktifitasnya membaca satu persatu peserta kami.

"Kenapa takut, aku bahkan berencana untuk memberikan sebuah tawaran yang sulit ditolak, bahkan oleh hacker sekalipun."

Bapak itu kemudian memintaku mengerjakan pekerjaan yang biasa aku lakukan tanpa mengganggu aktifitasnya. Aku dia akan menjadikan para peserta sebagai pemain untuk memainkan drama yang disukainya.

****
(Ruby :sekarang)

Aku memutuskan untuk menyendiri di pekarangan ketika istirahat, tanpa memikirkan apa yang terjadi selanjutnya, termasuk Q.

"Sudah jangan melamun."
Aku terkejut begitu mendengar suara itu.

"A... dit?"aku menatapnya berjalan mendekatiku. Kerinduanku padanya membuncahkan pikiran. Aku sangat ingin bertemu dengannya tapi tidak bisa berkata-kata saat dia sini--duduk memeluk lulutnya, di sampingku. Sekarang.

Air mata menetes dan aku hanya bisa mengeratkan kedua lututku, sambil menantapnya tidak percaya.

"Aku tidak percaya kalau kamu masih cengeng seperti dulu." Dia mengacak rambutku hingga membuat aku kesal.

"Dan aku masih tidak percaya wajahmu masih sama dengan saat terakhir kali kita bertemu." Aku melihat dia memunculkan senyumnya dihadapanku.

"Memujiku... eh" dia tersenyum jahil saat mengatakan hal itu.

"Dalam mimpimu." Aku memeletkan lidahku dan kembali dibalas dengan tangannya yang berusaha mengacak rambutku berlanjut dengan tangannya yang meraih leherku, karena aku menghindari gerakan tangannya--yang ingin kembali mengacak rambutku.

"Hahaha" kami berdua tertawa, diawali dengan tawa yang keras dan lepas. Kemudian tawa yang renggang dan tanggung. Ini terasa canggung. Ini terasa aneh.

Kami terdiam setelahnya. Membiarkan suara hewan ataupun suara angin yang menyapa tumpukan daun lebih mendominasi di sini.

"Jadi?"dia bertanya, mencoba memecah keheningan yang menyelimuti kami. Aku menengok memandang wajahnya.

"Jadi?" Aku kembali bertanya karena tidak mengerti sepenggal kata yang dia ucapkan.

"Bagaimana kabar keluargamu?" Dia menoleh menatapku.

"Baik, kau dapat memastikannya kalau tidak percaya." Entah mengapa aku merasa senang dia tidak melupakan mereka.

"Hahaha, kurasa tubuhku tidak akan utuh begitu keluar dari rumahmu, mengingat aku tidak bisa menjaga anak perempuannya tempo hari." Aku menatap ke depan. Di ekor mataku, kulihat dia masih terdiam menatapku.

"Tenang saja, mereka sudah melupakan kejadian itu ... kurasa." Mata kupejamkan sejenak sambil menikmati angin yang menyapa wajahku lembut.

"Kalau kamu? Apakah kamu sudah melupakannya ... kejadian itu?" Aku membuka mataku mencoba menerawang ke depan, sementara dia masih menatapku, terdiam seakan menunggu jawabanku.

Aku masih diam membiarkan keheningan menemani pertemuan kami hingga kurasakan sebuah tepukan bahu, menyadarkanku sejenak.

"Kamu beruntung mendapatkan kesempatan kedua. Jangan sia-siakan hal itu."

Setelah itu dia kembali mengacak rambutku ringan dan berjalan pergi. Meninggalkanku berkontemplasi akan segala yang dia ucap juga segala yang aku alami.

Sebuah bel sekolah menyadarkanku bahwa aku masih berseragam SMA dan bersekolah di sini.

Black Q (Sebuah Prototipe)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang