Bukti Nyata

59 12 0
                                    

Ami datang tepat sebelum Pak Pandi masuk kekelas. Mendahului Pak Pandi yang hendak masuk. Beruntung ada kakak kelas yang mengajak Pak Pandi ngobrol terlebih dahulu.

Hari ini Ami selamat. Jika tidak, ia akan berdiri di ujung papan tulis sampai 10 menit sebagai hukuman keterlambatannya.

"Huft!...haaah, yeah gak telat." Ami menaruh tasnya disamping bangku Bibah.

Ami menengok kearah sampingnya. "Bib, aku gak telat. Seneng deh." Ami menampakkan kesenangannya dengan menampilkan deretan giginya dan menepuk-nepuk kedua tangannya.

Yang diajak bicara hanya memandang datar. Lalu mengangguk kecil. Ami menatap mata Bibah. Ada yang lain.

Wajahnya yang sendu. Kantung mata yang agak membengkak dan sisa-sisa air mata dipipinya.

"Bib, habis nangis yah?" Ami mendekatkan wajahnya, melihat lebih jelas mata Bibah yang sembab.

"Enggak."

"Sesama wanita gak bisa dibohongi loh." Sepasang senyum tertera diwajah Ami. Menandakan seolah-olah ia bisa membaca pikiran kawan sebangkunya."Kenapa?" Lanjutnya.

"Emang keliatan banget yah?" Tangan Bibah menyentuh kantung matanya. Meraba-raba kemudian mengambil ujung kerudungnya. Menutupi mukanya.

"Kenapa?" Ami mengulang kembali pertanyaannya.

Yang ditanya hanya diam tak bergeming. Tetap pada posisi duduknya dengan kerudung yang menutupi wajahnya.

"Kalo gak mau cerita yaudah. Jangan pasang wajah kayak gitu, jelas banget habis nangisnya tahu!" Tangan Ami bergerak membuka resleting tasnya. Mengeluarkan buku catatan akuntansi dan tepak pensil pink kesayangannya. Menaruhnya diatas meja. Bibah mengikutinya.

Suara derap langkah kaki diiringi dengan salam membuat semua siswa terdiam. Yap! Pak Pandi sudah selesai mengobrol dengan kakak kelas tadi.

Ia berjalan menuju meja guru dan menaruh semua alat ajarnya diatas meja.

"Seperti yang dijanjikan kemarin.." Suara khasnya mulai memenuhi ruang kelas. "Hari ini kita akan mengadakan ulangan tentang jurnal umum. Eu, dimohon dalan ulangan kali ini, kalian tidak melakukan kerjasama dan saling meniru jawaban teman kalian yah." Ucapnya.

Beliau selalu mengingatkan, dalam ulangan bukan hasil yang dicari. Melainkan sebuah kejujuran.

Tapi, siswa mana peduli. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Karena pada faktanya, banyak orang menilai nilai itu lebih penting dari kejujuran.

"Baik, Bapak akan beri kalian waktu 10 menit untuk menghafal dan memahami materi yang akan diulangkan. Silahkan."

Pak Pandi bukanlah guru killer. Dia guru yang sangat bersahaja, rajin dan pengertian terhadap para siswanya. Meskipun begitu, ia tetap tegas dalam mengajar.

Kalian tahu kenapa beliau sangat rajin masuk kelas? Beliau pernah berkata, "Tugas seorang guru adalah mengajar. Karena itulah kami digaji. Jika Bapak tidak masuk, berarti uang yang Bapak makan adalah uang yang bukan hak Bapak."

Kata-katanya sungguh mengesankan. Pak Pandi sangat merasa bersalah kalau beliau tidak bisa masuk karena suatu halangan. Padahal, murid-muridnya sama sekali tidak merasa rugi saat Pak Pandi tidak masuk. Yah, begitulah anak sekolah.

Seisi kelas mulai sibuk dengan bukunya masing-masing. Entah itu benar menghafal ataupun mencatatnya di meja. Mereka mulai fokus dengan usahanya mendapatkan nilai yang baik.

Begitu pula dengan Ami dan Bibah. Mereka fokus dengan buku dihadapan mereka. Sesekali, suara kertas dibalik terdengar.

"Lana sama Firly.."

Mendengarnya, Ami mengangkat kepalanya. Menatap Bibah yang juga sedang melihat kearahnya dengan tatapan sendu.

#

"Fir, minjem buku  catatan sosiologi kamu sih!" Dari tempat duduknya, Ami berteriak memanggil Firly.

"Hah? Apa?" Yang ditanya malah gak denger. Entah suara Ami kurang keras atau Firly yang pendegarannya kurang atau suasana kelas yang terlalu ramai? Entahlah.

"Buku sosiologi, minjem!" Ami menekankan tiap katanya.

"Aku gak nulis Mi."

"Bukan catatan hari ini, yang kemaren-kemaren aku belum nyatet."

Firly megangguk-anggukan kepalanya. Antara mengerti dan bingung. Untuk apa Ami meminjam buku catatannya? Padahal, dalam urusan mencatat Ami lebih rajin.

Tapi, dengan begitu, Firly tetap meminjamkannya. Ia mengoper buku catatan sosiologinya hingga sampai ditempat duduk Ami.

"Minjem dulu yah?" Ucap Ami ketika buku catatan tersebut sudah sampai ditangannya.

Ami langsung membukanya. Bukan catatan Firly yang ia lihat. Bukan. Tapi, halaman belakang bukunya lah yang ingin ia lihat.

Ketika membacanya, Ami membulat sempurna. Ia tak menyangka dengan tulisan tangan yang ia baca.

Hal ini sama sekali tak pernah terbayang oleh fikirannya. Ia memutar kepalanya kearah teman sebangkunya.

Ami merasa ikut sedih. Ia takut pertemanan mereka akan renggang. Ia tak mau jika hal seperti itu akan memecahkan pertemanan yang mereka jalin. Ia tidak ingin.

Kepercayaan yang pernah ada akan hilang ketika sebuah bukti tertera didepan mata. Meskipun bukti tersebut semu.

DIA-KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang