Different situation?

66 10 0
                                    

Setelah melihat lembar terakhir catatan sosiologi Firly, Ami menatap kosong.

Ia bingung dengan situasi sekarang ini.

Firly adalah teman dekatnya. Bibah pun teman sebangkunya. Ami tak bisa memilih ia harus berpihak dengan siapa.

Jika ia harus memihak yang benar, menurutnya tak ada yang benar diantara mereka.

Ami yakin, setelah ini Bibah dan Firly akan saling menjauh.

Pepatah mengatakan bahwa masalah harus dihadapi bukan dihindari.

Nyatanya, orang-orang mengganti rumusnya dengan 'masalah harus dihindari'.

Dan apa yang Ami fikirkan benar, mereka menjauh.

#

"Fir, mau ikut jajan gak?" Ami bertanya.

"Ayo jajan!" Ajak Via dan Firda.

"Iya, duluan aja. Aku mau di kelas aja." Firly menjawab dengan senyum yang....dibuat-buat? Maybe.

Tanpa Firly, mereka bersembilan menuju tempat yang biasa mereka kunjungi saat istirahat. Mereka menyebutnya 'bundaran'. Karena tempat tersebut berbentuk lingkaran dan mereka selalu duduk secara melingkar di sana.

Mungkin, selain Ami dan Via tidak ada yang menyadari ada yang berbeda diantara mereka.

Masih mengobrol seperti biasa. Masih bersikap seperti biasa. Masih tersenyum seperti biasa.

"Eh, habis ini Jepang apa Indo dulu ya?" Riefa sambil menyeruput kuah bakso bertanya.

"Indo dulu bukan sih?" Pertanyaan balik yang terlontar dari Firda.

Sambil berfikir dan tetap makan, Fristhy ikut menimpali. "Jepang dulu...eh," ia memutar bola matanya "Apa Indo dulu ya?"

"Dih sekarang tuh Geografi kan?" Bibah dengan jawaban ngaconya ikut menimpali.

"Dih apasih Bibah? Ngaco!" Via bicara skiptis, memandang Bibah dengan mata menyipit.

"Apasih apanya?!" Dengan lirikan tajam dan raut muka kesal, ia menjawab pertanyaan Via yang terdengar nyolot.

"Ya orang Riefa nanya Inggris apa Indo malah jawab Geo! Ngaco dih!" Via menjawab dengan santai, tapi terdengar sangat sinis bagi Bibah.

"Biasa aja dong gak usah nyolot!" Suara Bibah meninggi.

"Siapa juga yang nyolot?"

"Yaudah kalo gak ngerasa mah gak usah jawab."

"Kan kamu lagi bicara sama aku, ya jelas ngerasa lah!"

"Tahu deh!" Bibah mengangkat bahunya. Memilih diam.

Hening.

Semua memilih fokus. Fokus dengan makanan masing-masing. Fokus dengan makanan yang sekarang rasanya sudah hambar.

Bibah memang selalu seperti itu. Tidak suka jika ada yang nyolot dengannya. Well, siapasih yang suka disolotin?

"Udah deh, jangan pada diem-dieman gini dong! Hening banget. Hehehe." Aida yang tak suka dengan suasana horror seperti itu angkat bicara. Bermaksud melerai.

Kalian tahu apa reaksi yang lain?

Hening.

Masih hening.

Masih belum ada yang berani angkat bicara.

Ami disudut sana hanya senyum-senyum disamping Aida. Sesekali menyikut lengan Aida. Juga melirik Via yang duduk berhadapan dengannya. Memberi kode.

KRIING!
KRIIING!

Huft!

Semua menarik nafas. Nafas kelegaan.

Kali ini mereka berterimakasih pada bel masuk yang telah memisahkan mereka dari situasi horror.

Riefa sigap berdiri. Membersihkan sisa-sisa kotoran dibagian belakang roknya.

"Ayulah masuk! Daripada diem doang disini, kayak patung." Riefa mengulurkan tangannya. "Ayu Kak Fris!"

Fristhy menyambut tangannya. Ikut berdiri. Yang lain pun mengikuti. Kembali menuju kelas dengan selingan canda yang dibuat untuk menetralkan suasana.

#

Kini mereka sudah singgah dibangku masing-masing.

Ami melirik kearah Bibah. Yang dilirik sedang memangku dagu dengan tangan kirinya. Tangan kanannya? Mencoret-coret tak jelas dihalaman belakang bukunya.

Yah, Ami memaklumi mood Bibah yang sedang jelek. Mudah tersinggung kayak perempuan lagi PMS.

Sesekali Ami tersenyum. Cinta memang pengokoh yang menghancurkan. Ungkapnya dalam hati.

Sekarang situasinya memang berbeda.

Ami melirik kesamping kiri, menatap kearah jendela. Terpaku. Hanya sesaat, lalu bersikap senormal mungkin.

"Dia-ku." Ami bergumam.

DIA-KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang