Gadis Mataram

49 11 8
                                    

  Shafira segera bangkit dan menghampiri tas itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat tubuh kakaknya terkapar lemah di atas tanah. Berlumuran darah yang terlihat sudah agak mengering di pelipis Fatur. 

"Abang! bangun, Bang!" panggil Shafira sambil mengguncang tubuh Fatur pelan. Sambil terisak, Shafira terus memanggil nama Fatur. Agar Fatur mau membuka matanya. Shafira terus berteriak meminta tolong, berharap akan orang yang mendengar teriakannya dan menolongnya. Tapi nihil, tak ada satu pun orang yang mendengar teriakan Shafira.

Perlahan, Shafira mengangkat kepala Fatur pelan. Dengan hati-hati, diletakkannya kepala Fatur ke pangkuan Shafira. Dipegangnya denyut nadi pada pergelangan tangan Fatur. "Masih berdetak, alhamdulillah," batin Shafira.

****

"Pak, kita sangat yakin kalau Fatur dan Shafira masih hidup. Sebaiknya kita lanjutkan pencarian ini, Pak!" ucap Fakhri tegas. Berkali-kali Fakhri dan teman-teman nya meyakinkan pihak tim sar dan para relawan untuk melanjutkan pencarian.

Namun, mereka menolak dengan alasan sudah tiga hari tapi Fatur dan Shafira belum juga ditemukan. Belum lagi tidak ada tanda-tanda dari keberadaan mereka.

"Kami sungguh minta maaf, Mas. Kita semua pun sudah berusaha mencari mereka, mengerahkan semua tenaga kita. Ini sudah tiga hari, tapi korban belum juga ditemukan. Jadi ... dengan berat hati, pencarian korban kami hentikan," jelas Kepala Tim Sar dengan nada kekecewaan.

Diam, semuanya diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrahkan semuanya kepada Allah.

"Maaf ... permisi, apa ini milik dari salah satu korban hilang?" Tiba-tiba di tengah keheningan, muncul lelaki bertubuh tegap, dengan ransel yang masih melekat di pundaknya. Wajahnya sedikit kumal, penampilan urakan, namun masih terlihat berwibawa.

Lelaki itu menyodorkan bros kupu-kupu berwarna biru. Zahra pun menghampiri lelaki tersebut. Dia bukan anggota Mapala dari kampusnya. Tak pernah dia lihat lelaki ini sebelumnya.

"Boleh saya lihat?" tanya Zahra pada lelaki itu.

"Silahkan," jawabnya sambil menyerahkan bros warna biru pada Zahra.

"Ini milik Shafira. Di mana Anda menemukan ini?" tanya Zahra.

"Kamu yakin, Dek, itu milik Shafira?" tanya Fakhri meyakinkan.

"Aku yakin!  Ini bros pemberianku untuk Shafira sewaktu di Puncak tadi. Di mana Anda menemukannya?" Zahra mengulangi pertanyaannya.

"Saya menemukannya di ujung sana, dekat jurang." jawab lelaki tadi.

Mata mereka tampak berbinar mendengar kabar baik ini. Keberadaan Fatur dan Shafira mulai menemui titik jelas.

****

Shafira kembali memejamkan matanya. "Lapar," gumamnya sambil memegang perutnya. Sudah hampir tiga hari dia tidak makan. Hanya air mineral dan satu bungkus biskuit yang masih berada di dalam tasnya. Beruntung, saat Shafira terjatuh ke dalam jurang, tas kecil yang dia bawa saat naik ke puncak untuk tempat logistik masih melekat di punggung Shafira.

Pandangannya masih kabur, Fatur mengerjapkan matanya berkali-kali. "Dek," panggilnya lirih, sangat lirih. Tangannya mencoba menyentuh lengan Shafira agar dia membuka matanya. Dan, cara itu berhasil membangunkan Shafira dari tidurnya.

"Abang, sudah sadar? Alhamdulillah," seru Shafira sambil memeluk Fatur. 

"Kaki Abang sakit banget, Dek. Kepala Abang pusing," rintih Fatur.

"Mana yang sakit, Bang?" 

"Kaki kanan Abang, Dek," jawab Fatur sambil memegangi kaki kanannya.

Shafira pun melihatnya, mengulum celana panjang Fatur, dan mendapati luka lebam pada betis Fatur. "Ya Allah, Abang. Ini parah Bang, harus segera di tangani dokter. Tapi... Kita harus segera keluar dari sini, Bang."

****

"Shafira! Fatur!" teriak Fakhri memanggil nama Fatur dan Shafira.
Pendengaran Shafira masih jelas. Shafira yang mendengar suara Fakhri langsung teriak meminta tolong.

Tak perlu menunggu lama, Fakhri pun menemukan Shafira dan Fatur dalam kondisi lemah.

Dan mereka segera dievakuasi oleh tim medis. Jarum infus menancap di pembuluh darah Fatur. Tubuhnya masih tergolek lemah di atas ranjang rumah sakit. Dilihatnya Shafira yang sedang tertidur pulas.

"Alhamdulillah, kau tak apa-apa, Dek," gumam Fatur sembari mengelus dadanya.

"Aawww...." rintihnya saat merasakan nyeri di kaki kanannya.

Shafira yang mendengar rintihan Fatur langsung terbangun dari tidurnya dan menghampiri Fatur.  "Abang, ada apa?" tanya Shafira panik.

"Kenapa kaki Abang sakit sekali, Dek?"

"Abang jangan banyak bergerak dulu, kaki Abang cidera akibat benturan keras saat Abang terjatuh ke jurang."

Terdengar suara ketukan pintu dan terlihat dua orang wanita cantik dengan balutan hijab masuk dengan menenteng lembar kerjanya. Seorang perawat dan dokter masuk untuk mengecek keadaan Fatur.

"Permisi... Saya cek dulu ya keadaan pasien," ucap seorang dokter. 

"Silakan, Dok," Shafira membiarkan dokter dan perawat mengecek keadaan kakak nya.

Tiba-tiba saja terdengar suara orang mengetuk pintu ruang rawat Fatur. Shafira segera membuka pintu itu dan betapa terkejutnya Shafira melihat siapa yang ada di hadapannya. 

"Pak Yusuf dan Bu Zulaika?" mata Shafira terbelalak melihat kehadiran mereka. Bu Zulaika langsung saja memeluk Shafira,

"Kau baik-baik saja kan, Nak? tidak ada yang luka kan?" ucap Bu Zulaika sambil menelisik tubuh Shafira takut-takut ada yang luka. 

"Ibu, Shafira tidak apa-apa. Tapi Abang, Bu... kaki Abang cipdera," ucapnya lirih sambil melirik Fatur yang sedang diperiksa oleh dokter.

"Masya Allah, Bapak sama Ibu khawatir benar dengan keadaan kalian. Apalagi saat kami mendapat kabar bahwa kamu hilang dan belum ditemukan. Lantas, kami bergegas ke Lombok, Nak," jelas Pak Yusuf.

Setelah selesai pemeriksaan, dokter dan perawat pun pamit dari ruang perawatan Fatur. Tapi, langkah Sang Perawat terhenti saat melihat Bu Zulaika dan Pak Yusuf.

"Bibi Zulaika," ucap Sang Perawat.

Ibu Zulaika yang merasa namanya dipanggil segera mencari sumber suara tersebut.

"Humaira, ini benar kamu Humaira?" ucap bu Zulaika. "Masya Allah, Bibi sangat merindukanmu, Nak," lanjut Zulaika.

Pak Yusuf yang sedang terfokus melihat kondisi Fatur pun mengalihkan pandangannya ke arah istrinya dan perawat yang dipanggil Humaira tadi.

"Subhanallah, Humaira. Kamu kerja di sini?" tanya Pak Yusuf.

"Iya Paman, Bibi. Humaira kerja di sini. Paman dan Bibi sedang apa di sini?" tanya Humaira.

"Ceritanya panjang, Nak. Kapan kamu pulang ke Jakarta?" tanya Zulaika.

"Entahlah, Bi. Nanti Humaira ke sini lagi ya, Bi, Paman. Humaira ingin melanjutkan pekerjaan Humaira dulu. Assalamualaikum."

Fatur dan Shafira pun hanya beradu pandang dan Shafira mengendikan bahunya. Seolah mata Fatur bertanya 'ada apa?' dan bahu Shafira menjawab 'tidak tahu'.

Sementara Zulaika dan Yusuf hanya menatap punggung Humaira hingga menghilang tak terlihat.

Alhamdulillah, selesai juga part 8...
Maaf kalau masih banyak typo...
Hihihi

Pintu SenaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang