Janji yang Pernah Ia Ucapkan Padaku

103 5 5
                                    

Bukankah nada-nada ini menyiratkan keindahan? Keindahan yang terasa menyakitkan karena kita tahu kalau kita harus direnggut paksa darinya suatu saat nanti. Tentunya kita tidak bisa selalu bersama keindahan yang memilukan ini, namun alangkah baiknya kalau saja kita bisa menikmatinya selagi sempat. Selagi kita bisa.

"Ga, kamu tahu nggak apa harapan terbesarku saat ini?", ujarku setengah berbisik ketika aku menatap rindu ke arah gemerisik karpet padi keemasan dari rumah batu kami.

Aga hanya menggeleng menanggapi pertanyaanku, namun sedetik kemudian ia tersenyum samar seolah mendapatkan sebuah ide. "Mungkin aku bisa menebaknya karena bisa jadi itu juga merupakan harapan terbesarku saat ini", ujarnya penuh misteri.

Ah, iya, mengenai rumah batu.... Kami sendiri menyebutnya rumah batu karena bagi kami, bagiku dan Aga, tumpukan batu-batu besar di tepi sebuah anak sungai di pinggir sawah yang ada di bawah naungan kokoh sebatang pohon sukun itu nampak lebih menyerupai rumah bermain daripada tempat lainnya yang bisa kami pikirkan. Dan kami telah sepakat menyebutnya dengan nama itu sejak kali pertama kami menemukannya di sana pada suatu senja yang syahdu.

"Memangnya apa harapan terbesarmu saat ini?", tanyaku penasaran, sedikit sangsi kalau harapan kami mungkin saja sama kali ini. Tidak-tidak... harapan kami lainnya mungkin memang boleh jadi sama, tapi tidak untuk yang satu ini. Aga terlalu rasional untuk berpikir mengenai suatu hal impulsif seperti ini. Ini jelas bukan gayanya!

"Aku? Hm... mungkin akan kujawab kalau kau mau memberitahuku terlebih dahulu apa harapan terbesarmu saat ini", cengirnya tanpa dosa.

"Ish... curang!", rengekku seperti anak kecil.

"Biarin aja, wek!", ia menjulurkan lidah dan memasang tampang mengejeknya yang biasa.

"Yah... kurasa akhirnya aku harus memberitahumu juga. Apa bedanya kalau aku memberitahumu sekarang atau dua hari lagi?", ujarku akhirnya.

Aga hanya tersenyum mendengar penuturanku. Dari sudut mataku... aku bisa tahu bahwa kini ia tengah menatapku dengan kelewat penasaran.

"Harapanku adalah... aku ingin terus menjadi anak kecil", ujarku lamat-lamat namun tegas.

Sedetik. Dua detik. Aga hanya mematung.

"Ha? Ap... apa tadi kau bilang? Kau ingin terus menjadi anak kecil?" ujar Aga ketika ia mendapatkan suara emasnya kembali. Aga kelihatannya lebih syok daripada dugaanku sebelumnya. Apa seharusnya tadi aku tidak usah bilang padanya, ya?

Akhirnya aku hanya mengangguk kuat-kuat. Toh, sudah kepalang tanggung. Kalau dia bertanya nanti, akan kuceritakan saja semuanya, tekadku.

"Tapi mengapa?", tanyanya tidak mengerti. Ia nampak hampir sama frustrasinya denganku ketika Putra berhasil menang lomba lari dari Rahma tempo hari.

"Karena... aku tidak ingin semua ini berubah", ujarku penuh keyakinan. "Aku hanya tidak ingin semua ini terlupakan. Hari ini dan hari-hari sebelumnya, aku tidak ingin melupakan hari-hari emas ketika kita bersama. Ketika kita bermain bersama, tertawa bersama, saling mengejek, saling bersaing, aku tidak ingin semua itu sirna dan terlupakan suatu hari nanti ketika kita telah tumbuh dewasa. Kau tahu kan, Ga? Otak manusia cenderung hanya mengingat memori yang dianggapnya penting? Lalu bagaimana nantinya nasib semua kenangan ini ketika otak kita tidak lagi menganggapnya sepenting sekarang?", ujarku panjang lebar.

Aga tampak serius sekali memikirkan perkataanku barusan, kurasa kini ia tengah berpikir keras karena kedua alisnya yang tebal mulai bertaut. Begitu khas dirinya!

"Kenapa sih? Manusia harus tumbuh dewasa... dan berubah... dan menikah?!", ujarku frustrasi di sela-sela keheningan senja orange yang menyilaukan ini.

Aga yang tadinya super serius, kini nyegir karena mendengar kalimatku barusan. "Kau mengutip kata-kata Anne", ujarnya. "Tak kusangka kau masih ingat pada bagian yang kita baca bersama-sama minggu lalu", ujar Aga lagi, lebih kelihatan puas daripada kecewa.

"Karena rasanya... kini aku benar-benar bisa memahami bagaimana perasaan Anne", dalihku. Aku mendesah kecewa menanggapi cengiran samar yang masih tersungging di bibirnya.

"Kau pasti sudah merenungkan ini selama seminggu sampai berani mengatakannya padaku", tebak Aga.

Dan kau tahu apa? Dia benar! Aku bahkan tidak terkejut lagi mengapa dia bisa tahu. Mungkin, harus kukatakan bahwa... dia sudah hafal sifat dan kebiasaanku luar-dalam. Hampir sama seperti aku sendiri yang telah mengenal dirinya dengan cara yang sama.

"Kau tahu? Kadang-kadang aku merasa kalau kau lebih memahamiku daripada diriku sendiri", ujarku kaku. "Dan ya... harus kuakui kalau hal itu terasa sedikit... aneh?", ujarku kemudian.

"Ha... ha... ha...", Aga tertawa. "Sedikit ya?", ujarnya di sela-sela tawa renyahnya itu. Aku mengganguk sambil mengernyitkan dahi. 'Mengapa ia malah tertawa di situasi ini?', batinku keheranan.

"Kau tahu, Rin? Kurasa kini aku paham apa yang tengah kau alami", ujar Aga, masih susah payah meredakan tawanya yang kelewat renyah itu.

"Memangnya apa?", tanyaku sangsi.

"Kau pasti terkena sindrom Peterpan", ujar Aga kelewat tegas.

"Sindrom apa? Peterpan kan anak laki-laki yang... hah?!", aku terkesiap karena menyadari sesuatu. 'Apa iya, sih, aku begitu?', pikirku kemudian.

"Peterpan adalah anak laki-laki yang tidak bisa tumbuh dewasa. Itu semua karena kecelakaan kecil yang melibatkannya dengan debu bintang. Kau masih ingat cerita itu, kan?", tanya Aga retoris. Aku mengangguk dan Aga pun kembali melanjutkan, "Kemarin lusa aku membaca sebuah artikel kesehatan tentang penyakit itu. Entah itu hanya sebuah kebetulan atau ayahku memang sengaja meletakkan artikel itu di meja ruang tengah supaya aku bisa leluasa membacanya. Tapi yang pasti, Rin, kita kini sudah tahu dan kita telah sepakat pada pelajaran IPA kemarin kalau manusia itu tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun mentalnya", ujarnya merangkum pelajaran kemarin. Melihat bahwa aku tidak tampak kesulitan untuk mengingat, ia pun kembali melanjutkan, "Ada kalanya kita tidak siap untuk menjadi dewasa dan menginginkan waktu berhenti di suatu titik di sini. Tapi, kurasa itu hanya berlangsung sementara. Yah, bagi sebagian besar orang, sih... begitu, tapi tidak menutup kemungkinan kalau ada beberapa yang masih tidak terbiasa bahkan ketika mereka telah tumbuh dewasa. Rasanya aneh, bukan? Aku berbicara panjang lebar begini tapi nyatanya aku juga belum rela jika masa kecilku harus direnggut paksa dariku. Dan suka atau tidak, rela atau tidak... mau tidak mau kita akan mengalami hal itu sebentar lagi", tukasnya penuh kesedihan.

Dan anehnya adalah... saat itu aku justru berpikir, 'Aku tidak bisa membayangkan ada orang lain yang mengatakan hal itu selain Aga'. Dan kukira, jika pun ada yang mengatakan hal serupa... aku tidak akan bisa lebih memercayai orang itu daripada Aga. Kurasa aku juga... tidak akan bisa memahaminya sebaik aku memahami perasaan Aga saat ini.

"Hei! Tapi bukankah ini masih terlalu awal untuk merasa khawatir?", Aga mengernyit seolah baru sadar karena "siapa" dia kini jadi memikirkan semua ini sekarang. Aku hanya memasang cengiran tanpa dosa, berharap ia mau memaklumi diriku yang labil dan impulsif ini.

"Yah, apapun itu... kau tidak perlu khawatir", ujar Aga dalam nada serius yang berbeda dari biasanya. Aku menatapnya tak mengerti, masih berusaha mencari-cari bagian mana yang seharusnya tak layak untuk kukhawatirkan. Dan aku masih belum menemukannya!

"Jangan memikirkan hal itu teralu keras!", ujar Aga sarkastik ketika aku mulai tampak seperti melamun.

Aku hampir memukulnya karena lagi-lagi dia malah mengejekku kalau saja waktu itu dia tak keburu berkata, "Aku akan ada di sini melewati semua itu bersamamu. Karenanya... kau tidak perlu merasa khawatir ataupun takut. Setidaknya, kau tidak akan melewati masa-masa itu seorang diri. Aku berjanji", ujarnya penuh tekad. Aga balas menatapku yang kini tengah menatapnya kelewat takjub.

'Kuharap kau benar Aga. Dan aku sungguh-sungguh berharap bahwa kita bisa melewati masa-masa itu bersama', batinku tulus.

Sisa senja itu akhirnya hanya kami habiskan dengan menikmati semburat magenta yang perlahan memudar dalam keheningan lembut yang sama. Hanya saja... persis sama seperti hari-hari sebelumnya. Dan hal itu semakin membuatku tak rela jika memikirkan kalau mungkin suatu saat nanti aku harus kehilangannya.

Dan aku benar! Sejak saat itu, sejak detik itu... senja tak pernah lagi terasa sama tanpa Pangeran Senyum di sisiku.

Pangeran Senyum dan Gadis PemimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang