"Tidak ada... tidak ada... di sini juga tidak ada!", ujarku kelewat panik ketika mengobrak-abrik seluruh isi tasku.
"Cari apa, Rin?", ujar sebuah suara yang tak lagi asing di telingaku. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik suara jernih itu.
"Ah, Aga... ini... aku lagi cari buku paket seni musik milikku, tapi sepertinya tertinggal di rumah", ujarku masih dengan kepanikan yang sama. Aku masih berusaha mengingat-ingat dimana terakhir kali aku meletakkan buku itu ketika aku teringat sesuatu. "Ah, iya! Sepertinya aku meninggalkannya di meja makan. Oh, tidak!", ujarku histeris.
"Kalau gitu pakai punyaku saja", ujarnya santai. Refleks, aku menoleh pada Aga yang tengah mengambil buku paket berwarna kuning orange dari dalam tas ranselnya. Ada apa ini? Kenapa si rangking satu tiba-tiba jadi baik begini padaku?
"Kamu serius? Boleh, nih?", aku menatapnya ragu-ragu, tepatnya aku tengah menatap buku kuning orange di tangannya sembari menimbang-nimbang. 'Terima tidak, ya?', batinku.
Ia mengangguk mantap sembari menyunggingkan seulas senyum khas miliknya, menampakkan deretan gigi putih nan rapi yang jelas-jelas dirawat baik oleh pemiliknya. Dan seolah masih belum cukup meyakinkanku, dia pun berkata, "Tentu saja, kayak aku nggak tahu kebiasaanmu aja. Kamu kan selalu me-review apa yang telah kamu pelajari setiap ada waktu". Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan, "Ya, kan, Rin-Ai?", godanya.
Oke, untuk kali ini saja dia akan kumaafkan berhubung sepertinya aku memang butuh buku paket miliknya. Sebagai info saja, aku mulai jenuh dipanggil Rin-Ai. Bukan jenuh, sih, tapi lebih tepatnya aku merasa aneh karena julukan itu telah melekat pada diriku sejak aku mulai bersekolah di sini dan semua orang sudah tahu julukan itu, berkat "seseorang" tentunya. Itu terdengar seperti Rin-Ai dan bukannya Airin. Itu tidak terdengar seperti nama asliku. Kadang aku merasa bahwa julukan itu membangunkan sisi lain dalam diriku. Tidak, bukan sisi gelap, ini lebih seperti membangunkan sisi paling terang yang sudah lama tertidur. Dan entah mengapa, untuk beberapa alasan, aku sedikit merasa takut untuk menghadapi sisi lain diriku. Mungkin kalian bisa menebak siapa kiranya yang mulai membolak-balikkan namaku, bukan? Satu hal lagi, anehnya, meskipun julukan itu telah melekat pada diriku sejak aku mulai bersekolah di sini, hanya Aga saja yang memanggilku demikian.
Tapi, tunggu...! Seolah baru tersadar akan sesuatu, aku pun cepat-cepat berkata, "Tapi, kan... kamu juga selalu me-review pelajaran setiap kali ada waktu seperti ini? Dan lagi, hari ini kan memang jadwal UAS Seni Musik?", ujarku masih menatap ragu ke arah buku paket seni musik yang kini telah disodorkannya. Ah iya! Aku hampir lupa memberitahumu. Soal kata seperti 'review' adalah satu contoh dari puluhan kata-kata canggih yang sering kami gunakan. Aku dan Aga memang tanpa sengaja memiliki kebiasaan aneh untuk meggunakan kata-kata canggih yang kami temukan di buku. Bukan untuk ajang pamer atau apa, tapi kami memang benar-benar menyukai kata-kata itu. Rasanya terdengar begitu cocok dan pas tiap kali kami menemukan kosa kata baru. Aku tahu hal itu karena aku telah menayakannya pada Aga dahulu sekali, ketika aku baru bersekolah di sini selama sekitar satu minggu. Tentu saja hanya aku dan Aga yang sering bertukar kosa kata dan menggunakan kata-kata itu. Anak-anak seusia kami lainnya tampaknya tidak begitu tertarik dan malah menganggap kami aneh. Tidak masalah, toh itu tidak mengganggu kami.
"Udah, terima aja. Aku udah cukup belajar kok, semalam!", ujar Aga memaksa. Ia sukses membuyarkan lamunanku. Kini ia kembali memamerkan deretan gigi yang seputih kelinci salju itu untuk meyakinkanku. Aku akhirnya menerima buku itu ragu-ragu, masih dipenuhi perasaan tidak nyaman karena merepotkan si rangking satu. Benar, Aga memang selalu rangking satu di kelasku. Terus terang aku sangat ingin merebut posisi itu karena sejak kepindahanku yang mendadak ke SD ini, aku sama sekali belum beranjak dari rangking 2. Menyebalkan!
Ah, tapi... "Tidak, ah... aku tidak boleh merepotkanmu", ujarku tegas, tapi masih dengan menggenggam erat buku paket miliknya. Aga menyeringai melihat tingkahku. Apanya yang lucu, coba! Apa-apaan tatapan geli itu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Senyum dan Gadis Pemimpi
RomanceAku hanyalah setangkai gulma... bagimu. Kau terlalu indah untuk kugapai. Harapan yang melambung ini serasa tak berbentuk dan terus menghantuiku. Bahkan hingga kini, kau masih sering datang mengunjungiku dalam kesendirian yang menjemukan. Aku ingat t...