Airin duduk bersila di lantai kamar kosnya yang kecil dan rapi. Ia menjulurkan buku sketsanya ke depan, mengamatinya dengan saksama, lalu mulai memperbaiki sketsa gambarnya yang masih banyak kekurangan di sana-sini, sungguh masih jauh dari kata selesai. Seperti biasanya, sekolahnya libur di hari Sabtu. Ia tidak punya jadwal piket kos hari ini sehingga awalnya ia memutuskan untuk membaca novel yang baru dipinjamnya kemarin dari perpustakaan, tetapi begitu menemukan buku sketsanya yang terselip di antara tumpukan buku pelajarannya, ia melupakan rencana awal dan akhirnya asyik menggoreskan pensil di sana-sini sambil mendengarkan musik klasik.
"Wow!", Airin tersenyum puas dan menggerak-gerakkan buku sketsanya, mengagumi hasil karyanya sendiri.
Tiba-tiba, hujan turun dengan deras. Airin menyembulkan kepalanya melewati jendela dan menengadah menatap langit. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali ia menengadah menatap hujan seperti itu. Dulu, ia sering melakukan hal itu bersama Aga setiap kali hujan turun. Entah mengapa, kenangannya bersama Aga selalu terngiang semenjak mereka berpisah sekolah karena diterima di SMP yang berbeda. Akan tetapi, lebih aneh lagi menyadari bahwa kenangan itu lebih sering muncul semenjak mereka kembali dipertemukan di SMA sekarang ini. Meskipun begitu, tampaknya semuanya telah berubah.
Hujan selalu membawa tetes-tetes kenangan, membawanya agar tak ada seorang pun yang dilupakan. Hari ini, hujan kembali turun. Airin jadi teringat pada suatu periode aneh di masa ketika ia masih berada di sekolah dasar. Masa-masa yang indah dan tak terlupakan. Masa dimana dirinya bebas tertawa dan bergurau. Masa dimana ia menemukan kebebasan! Jangan bayangkan sekolahnya adalah sekolah elit! Sekolahnya tidaklah besar atau luas, hanya saja berada di dekat jalan raya, di dekat sebuah sungai tepatnya. Bahkan, kalau hujan tiba, tak jarang sekolah mereka pun ikut terkena dampaknya. Banjir. Ya, begitulah... tapi, Airin selalu senang mengingat semua kenangan yang ada di dalamnya. Di sanalah ia bertemu Aga, cinta pertamanya.
Airin menerawang menatap hujan, teringat kenangan beberapa tahun yang lalu. Rasanya baru kemarin. Masih segar dalam ingatannya ketika...
"Opolah... Rin-ai we", ujar Aga dengan nada mengejek.
"Biarin week", ujarku menyerang balik ledekannya sembari menjulurkan lidah.
Tiba-tiba, Bu Jia masuk dan kami bergegas untuk duduk di bangku kami masing-masing.
"Mulai hari ini, sekolah akan mengatur tempat duduk kalian", ujar beliau.
"Yah...", keluh semuanya serentak, kecewa karena harus duduk dengan entah siapa nantinya.
"Sttt... tenang-tenang, kalian kan sudah kelas 6, kalian harus bisa saling bahu-membahu menolong teman kalian yang mengalami kesulitan dalam belajar. Jadi, anak yang rangking 1 akan duduk berdampingan dengan anak yang rangking 40, rangking 2 dengan rangking 39, dan begitu seterusnya, apa kalian paham?", ujar Bu Jia tegas.
"Paham, Bu...", jawab kami serentak meskipun dengan nada setengah hati dan tak ikhlas yang sangat mendominasi.
"Sekarang, kerjakan LKS IPA halaman 20. Ibu ada rapat sebentar, kalian jangan ramai, ya?", beliau berpesan.
"Iya, Bu!", kami serentak mengiyakan.
Aku terdiam. Benar juga, Rahma telah pindah ke Bogor, jadi kebetulan tidak akan ada yang duduk sendirian. Aku tetap saja merasa sedih... karena dia harus pindah sekolah di saat-saat terakhir kami duduk di bangku sekolah dasar. Pastilah sangat berat baginya, harus menyesuaikan diri lagi dari awal, di sekolah yang baru pula! Sungguh, aku bahkan tak sanggup membayangkannya. Ia begitu banyak meninggalkan kenangan untukku. Begitu banyak... dan aku telah berjanji tidak akan pernah melupakannya.
"Hei", sapa seseorang.
Aku menoleh dengan raut wajah masam, sial... lamunanku jadi terganggu karenanya.
"Oh, Widy...", gumamku malas.
"Mohon bantuannya ya, Rin", ujarnya seraya tersenyum.Aku hanya mengangguk dan kembali melamun, kenapa juga aku harus mengacuhkan kodok keceng yang menyebalkan ini! Dia sebenarnya baik, tapi... entah mengapa teman-teman menjauhinya. Untuk menjaga supaya aku tidak ikut dikucilkan, jadilah aku terpaksa ikut-ikutan mengucilkannya. Sebenarnya aku sangat tidak suka dengan hal ini, karena aku tahu, aku tidak akan senang bila dikucilkan oleh orang lain. Aku sungguh egois, ya? Tapi, mau bagaimana lagi? Gap ini sungguh sulit dihilangkan karena pengaruh besar dari geng Putra cs dan geng Ana cs. Ya, begitulah kami menyebut mereka. Para penguasa kelas yang begitu ditakuti semua anak. Aku tidak terlalu takut pada mereka. Aku tidak takut karena aku tahu aku bisa mengalahkan mereka dalam hal pelajaran. Tentu saja, olahraga menjadi pengecualian karena aku lemah dalam praktek lapangan. Tapi, tetap saja... kalau ujian olahraga hanya teori saja aku yakin aku pasti bisa mengalahkan geng penguasa itu!
"Hei...", seseorang berbisik padaku. Sudah pasti itu Widy.
"Apa?", sambarku malas.
"Kok dari tadi ngelamun? Kan suruh ngerjain LKS IPA halaman 30", ujarnya serius.
Apa katanya? Aku geleng-geleng kepala karena tak habis pikir.
"Perlu tahu aja ya, kita disuruh ngerjain LKS halaman 20 bukan 30", ralatku.
"Oh... yang bener?", tanyanya kelewat polos.
"Nah, kan... sekarang ketahuan, deh! Mana yang pikirannya di kelas mana yang enggak", ujarku pedas. Sebenarnya aku merasa tidak enak, tapi aku paling benci kalau ada yang menggangguku di saat jam bebas seperti ini.
"Kok, kamu santai-santai aja?", tanyanya sambil menopangkan dagunya di antara kedua telapak tangan.
"Aku udah ngerjain", jawabku jujur.
"Hebat! Kok aku bisa lupa ya, kalo kamu itu rajin?", ujarnya terkesima.
"Mana kutahu? Aga juga udah ngerjain satu LKS tuh, sama kayak aku!", jawabku tanpa berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Senyum dan Gadis Pemimpi
Roman d'amourAku hanyalah setangkai gulma... bagimu. Kau terlalu indah untuk kugapai. Harapan yang melambung ini serasa tak berbentuk dan terus menghantuiku. Bahkan hingga kini, kau masih sering datang mengunjungiku dalam kesendirian yang menjemukan. Aku ingat t...