Komposisi Chopin mengalun lembut ketika angin menarik lembut ujung rambutku.
“Kau tahu, Ro, saat aku berusia 12 tahun, setiap kali rasanya mimpiku akan terasa kelewat nyata. Semisal aku membayangkan menjadi seorang tuan Putri, maka aku akan benar-benar bisa membayangkan bahwa akulah pemeran utamanya. Saat aku membayangkan menjadi seseorang yang kuinginkan, rasanya terlalu mudah untuk bersikap seperti yang kuinginkan. Sayangnya, meskipun aku masuk ke klub teater, aku bahkan tidak punya kesempatan untuk menunjukkan bakatku. Pelatih kami terlalu fokus pada anak-anak kelas 8 dan kami... anak-anak kelas 7 hanya menjadi penggembira yang entah mengapa terasa seperti membuang waktu saja. Aku benar-benar berharap bahwa KIR di SMP ku berjalan saat itu, tapi sayangnya meskipun aku telah mendaftar, rupanya ekskul yang satu itu hanya menjadi wacana. Makanya, saat ada KIR di SMA, aku tidak perlu repot berpikir dua kali untuk mendaftar. Aku menyukainya, seperti yang kubayangkan jika aku masuk KIR saat SMP. Kau tahu? Ketika kita membayangkan melakukan hal yang kita sukai, maka kita akan merasakan separuh dari kegembiraan jika hal itu benar-benar kita lakukan. Mungkin hal itulah yang membuatku sering terlihat kelewat bersemangat atau kelewat fokus. Oh, jangan memberiku tatapan bagaimana kau bahkan bisa menyadarinya. Karena aku tahu aku adalah pemeran utama dalam hidupku, Ro. Aku hanya tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa begitu. Dan kau tahu, tidak? Sangat sulit untuk tidak memikirkan segala kemungkinan dan mengetahui itu adalah diriku saat aku merasa menjadi pemeran utamanya. Yah, tapi... kupikir tidak akan ada yang menyadariku merasa begitu, kan? Lagi pula, aku sangsi apakah ada orang yang bisa memahamiku sebaik diriku sendiri. Terlebih, kupikir orang-orang hanya bisa melihat sifat diriku yang ingin mereka lihat, karena aku juga berusaha membuat keinginan mereka nyata? Ha! Lucu! Kenapa juga aku bisa cerita panjang lebar gini, sih? Aku tahu aku cerewet dan mungkin kau sudah menyadarinya, tapi... ah... aku hanya tidah menyangka akan berbicara sebanyak ini padamu”, ujarku kelewat merasa bersalah pada diri sendiri lebih dari apa yang kumaksudkan untuk kutunjukkan padanya.
“Kenapa?”, tanya Ro setelah memberiku tatapan menerawang yang tanpa ekspresi.
“Kenapa... apanya?”, tanyaku tak paham, sibuk mencerna pertanyaannya yang bagiku tampak ambigu setelah aku menceritakan terlalu banyak melebihi yang kukehendaki sebelumnya.
“Kenapa kamu berpikir bahwa tidak akan ada orang yang sanggup memahamimu sebaik dirimu sendiri? Kenapa kamu pikir semua orang hanya bisa melihat sifat dirimu yang ingin mereka lihat? Kenapa kamu harus berusaha membuat keinginan mereka nyata? Kenapa kamu tidak bisa lebih jujur ingin menjadi seperti apa?”, ujarnya bertubi-tubi. Aku baru saja hendak berusaha menjawab satu-persatu pertanyaannya ketika tiba-tiba ia menggumam dengan nada lirih yang entah mengapa terdengar jelas di telingaku.
“Kau tahu, Rin? Bagaimana jika ada seseorang yang sanggup memahamimu sebaik dirimu sendiri tanpa orang itu perlu mengusahakannya? Bagaimana jika dia bisa melihat sisi ‘asli’ dirimu? Bagaimana jika...”, kata-kata Ro selanjutnya seolah teredam begitu saja sebab aku merinding ketika membayangkan bahwa kemungkinan ada seseorang yang bisa melihat sisi asliku. Bagaimana bisa aku yang penuh rencana dengan pemikiran-pemikiran akan berbagai kemungkinan yang patut diantisipasi ini tidak menyadari kemungkinan sekrusial ini sebelumnya? Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, membuang jauh pikiran bahwa bisa saja aku tampak begitu transparan di mata entah siapa ‘seseorang’ itu ketika aku mendengar Ro berkata lambat-lambat, “Bagaimana jika ‘akulah seseorang itu?’”, ujar Ro pasti.
Tunggu dulu... apa? Aku begitu syok dan ngeri sekaligus tak percaya dengan pendengaranku sendiri hingga tanpa sadar aku menyuarakan pemikiranku keras-keras.
“Apa?!”, ujarku. Dan tampaknya aku menyuarakan pemikiranku kelewat keras karena Ro tiba-tiba saja sudah berada pada posisi berjengit ngeri sembari mengeluarkan tatapan tak habis pikirnya yang khas itu kepadaku.
“Apanya yang apa?”, ujar Ro ketika berhasil mendapatkan suaranya kembali dan memecah keheningan yang canggung ini. Aku sendiri masih belum bisa berkata apa-apa dan masih terjebak dalam keadaan setengah melamun. “Memangnya apa yang salah jika aku bisa memahamimu?”, lanjutnya kelewat santai dari yang seharusnya dilakukannya dalam posisi itu jika keadaannya normal. Memangnya dia pikir ini tebak-tebakan atau apa? Oh, yang benar saja!
“Tunggu, Ro... tapi maksudku kau benar-benar ‘memahamiku’?”, tanyaku sangsi setelah akhirnya berhasil mendapatkan suaraku kembali.
“Kalau iya memangnya kenapa?” ujarnya dengan tatapan menantang yang siap menenggelamkanku ke perut bumi kalau saja saat itu aku tidak sedang mencengkram pegangan salah satu rak buku di ruang klub kami.
“Maksudku... kau tahu? Kau menyadari bahwa selama ini aku berpura-pura? Ah, tapi... bagaimana bisa?”, erangku putus asa. Siapa juga yang menyangka bahwa di usiaku yang baru menginjak 16 tahun ini akan ada yang berhasil mengetahui ‘diriku’ di balik topeng kepura-puraan yang sudah melekat entah sejak kapan?
“Iya, aku tahu... begitu saja. Aku hanya... tahu, entah bagaimana”, ujarnya tampak hampir sama putus asanya dengan diriku ketika aku mencoba bermain anagram. Oh, tapi bukankah Ro tidak pernah satu kalipun kesulitan ketika bermain anagram atau scrabble? Jadi, dari mana dia mendapatkan rasa keputusasaan yang nyaris hampir sama denganku?
“Sekarang, jika kau tidak keberatan, bagaimana jika kau... tidak, bukan... maukah kau menceritakan semuanya... padaku?”, ujarku berusaha menggapai kembali realitas yang masih tersisa.
“Maksudmu termasuk perasaanku?”, ujarnya canggung.
“Ha? Perasaanmu? Apa yang... kau...”, aku menangkup mulutku dengan kedua tangan seolah baru menyadari sesuatu. Refleks aku hendak berlari meninggalkan ruang klub yang hanya menyisakan kami berdua itu kalau saja Ro tidak berhasil menahan tanganku tepat waktu.
“Tunggu...”, ujarnya “Aku akan menceritakan semuanya... dari awal”, lanjut Ro yang telah menunduk dan menyembunyikan ekspresi apapun itu yang kini dibuatnya.
“Ah, iya... uhm... oke.... Maaf, aku... hanya terlalu terkejut dengan semuanya dan...”, ujarku salah tingkah.
“Kamu tidak perlu menjelaskannya, aku bisa memahami tindakanmu barusan”, potongnya singkat.
“Ya, ah... oke, jadi... haruskah kita duduk di bangku?”, sepertinya aku telah menunjukkan tatapan memohon karena Ro telah mengangguk dan bergerak mendahuluiku seperti biasanya.
Jadi, di sinilah kami sekarang, tengah duduk berhadapan dengan canggungnya di antara rak-rak buku yang praktis mengitari ruang diskusi sebuah klub science. Aku bahkan tidak berani mencuri pandang ke arah Ro, takut dengan kemungkinan akan melihat ekspresi "entah apa" yang mungkin akan terukir di wajah seriusnya itu.
Lima menit yang bagiku terasa bagaikan setengah abad kini telah berlalu dan belum ada seorang pun dari kami yang berusaha untuk memulai pembicaraan. Aku baru mau memberanikan diri untuk memulai pertanyaan yang sedari tadi terkunci di ujung lidahku ketika Ro mulai berkata, “Awalnya... aku hanya penasaran”, ujarnya memulai.
“Ya?”, ujarku seperti orang bodoh.
Ro tampaknya tidak merasa terganggu dengan pertanyaanku yang retoris dan kembali melanjutkan, “Aku penasaran ketika pertama kali melihatmu kelewat fokus di diklat KIR, GAMA, GADING. Lalu, tanpa sadar aku mulai mengamatimu dan menganalisis penyebab perilakumu yang unik”, ujarnya sembari tersenyum mengingat kejadian itu. Aku sendiri hanya mengangguk-angguk mengamini ketika mengingat perilakuku yang berusaha tak mengacuhkan siapapun saat itu.
“Untuk beberapa alasan, aku bisa melihat diriku sendiri ketika melihatmu”, lanjutnya dengan senyum ganjil. Tunggu dulu... apa? Bagaimana bisa dia melihat dirinya sendiri dalam diriku? Apa kami memiliki lebih banyak kesamaan yang tidak kuketahui selain ketertarikan pada dunia sains dan karya-karya Chopin?
Tanpa sadar aku telah melongo mendengarnya. Ketika aku tengah mengatur ulang ekspresiku, dia tertawa renyah ketika melihat tingkahku sebelum akhirnya kembali berkata, “Kau tahu, kau seperti memiliki ribuan topeng siap pakai, sama sepertiku”, seringainya yang baru sekali ini kulihat kini telah muncul ke permukaan. “Tapi, anehnya... dengan mudah aku bisa melihat dirimu yang asli di balik semua topeng kepura-puraan itu”, ujarnya serius. Mustahil! Ini mengejutkan! Mana mungkin, kan, dia bisa mengenali diriku yang ‘asli’?
“Kau mungkin akan menyangkalnya, tapi aku tahu kalau kau merasa amat kesepian. Jauh di lubuk hatimu, aku tahu kau hanya ingin membuat semua orang di sekitarmu merasa bahagia, sama... sepertiku”, ujarnya dengan ketegasan yang mengejutkan. Tapi, itu memang benar! Aku memang merasa kesepian meskipun berusaha tampak selalu ceria di luar dan... tunggu, bagaimana dia bisa tahu?
“Meskipun kau tidak pernah menyatakannya secara terbuka, aku tahu kalau kau adalah tipe orang sentimentil yang benci dengan orang pemalas. Dan kau sedikit egois jika hal itu menyangkut prestasi. Hei, jangan memberiku tatapan terkejut karena aku bahkan belum selesai mengatakan semua hal yang ingin kukatakan”, ujarnya dengan sebelah alis terangkat.
Oke, aku tidak bisa tidak terkejut setelah mendengar semua ini, kan? Maksudku, orang normal mana sih, yang masih bisa berpura-pura tenang ketika seseorang menilai dirimu seobjektif ini?
“Lalu, selanjutnya karena feromon sial ini aku jadi semakin sulit untuk mengendalikan diri dari godaan memperhatikanmu”, ujarnya sembari membuang muka. Ha? Feromon apa? Tadi, Ro bilang apa? Rasa-rasanya baru kali ini aku mendengar Ro menggumamkan kata umpatan? Oh, yang benar saja! Ini... tidak seperti Ro yang biasanya! Ini... seperti bukan Ro yang kukenal?
“Aku jadi menunggu waktu kumpul KIR yang selanjutnya bahkan ketika kita baru memulai pertemuan minggu ini. Aku benar-benar bertindak seperti orang bodoh. Tanpa sadar, setelah sekian lama mengamatimu, aku jadi hafal setiap kebiasaan kecil yang kaulakukan, aku tahu apa yang berusaha kau sembunyikan di balik senyummu ketika seseorang ingin meminjam catatan yang sudah susah payah kau tulis sembari mendengarkan guru”, ia tersenyum simpul ketika mengatakannya. Aku? Aku rasa aku bisa memahaminya, karena seperti itulah tepatnya diriku ketika menunggu-nunggu untuk bertemu Aga sejak pertemuan pertama kami di SMA ini. Entah mengapa, Ro yang seperti ini membuatku harus memulai terapi pernapasan cepat atau lambat.
“Aku tidak menyalahkanmu, karena aku juga merasakan hal yang sama. Maksudku, bedanya adalah... kau terlalu pandai menyembunyikan perasaanmu di hadapan orang lain. Kau memilih untuk menjadi sopan dan terluka daripada membiarkan orang lain terluka, meskipun orang itu adalah orang pemalas yang kau benci sekalipun. Kau mengingatkanku akan diriku sendiri setiap kali aku berusaha menganalisismu. Mungkin kau kini berpikir bahwa aku memiliki gangguan kepribadian, ya?”, lagi-lagi ia tersenyum ganjil saat mengatakannya. Sejujurnya, iya! Aku rasa kau memiliki gangguan kepribadian karena masih bisa tersenyum ganjil saat mengatakan rahasiamu kepadaku seperti ini, Ro! Tapi, ya... tentu saja aku lebih tidak tega untuk mengatakan hal ini padanya. Ini aneh, biasanya aku tidak menjadi pendengar sebaik ini, kan? Maksudku, biasanya akulah yang cerewet dan mengatakan semua hal secara tanpa sadar ketika aku berubah menjadi terlalu impulsif. Tunggu, barusan... apa dia bisa membaca pikiran?
“Tahu, tidak?”, lanjutnya. “Sesungguhnya, aku selalu menjadi terlalu canggung terhadap orang yang kusayangi, karena itulah aku jadi sulit untuk mengekspreksikan diriku di rumah, di sekolah, atau di mana pun itu”. Ini... aku baru tahu! Kupikir Ro tidak memiliki masalah apapun karena dia selalu tampak santai bahkan ketika mengikuti bimbingan OSN dengan dosen yang membosankan? Mungkin menyadari keterkejutanku yang tiba-tiba, ia buru-buru menambahkan, “Tapi, kau adalah anomali yang baru sekali ini kutemui. Maksudku, kau adalah kasus langka dimana aku tidak menjadi canggung ketika berada di dekatmu, meskipun aku tahu kalau aku menyayangimu. Jadi, kupikir ini adalah jenis perasaan yang lain. Perasaan yang menurut orang lain adalah perasaan suka terhadap lawan jenis”, ia tampak sengaja memberi jeda sejenak, mungkin untuk melihat reaksiku terhadap kata-katanya barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Senyum dan Gadis Pemimpi
RomansaAku hanyalah setangkai gulma... bagimu. Kau terlalu indah untuk kugapai. Harapan yang melambung ini serasa tak berbentuk dan terus menghantuiku. Bahkan hingga kini, kau masih sering datang mengunjungiku dalam kesendirian yang menjemukan. Aku ingat t...