Suatu Hari Dimana Kesalahpahaman Itu Terjadi

33 4 2
                                    

Kalau ada satu kesalahpahaman yang tidak akan pernah kusesali, mungkin aku akan merujuk pada suatu hari dimana kesalahpahaman itu terjadi. Kesalahpahaman yang menggelikan, antara kau... dan aku....

Suatu hari yang terik, di tengah-tengah jam pelajaran IPA yang serius, Bu Jia tengah menerangkan tentang peredaran darah manusia.

"Ring ding ding... ring ding ding...", tiba-tiba terdengar suara HP berdering. Rupanya itu HP milik Bu Jia. Beliau pun segera mengangkatnya.

"Halo... iya, iya, baik Pak, saya akan segera ke kantor guru", ujar Bu Jia kepada seseorang di seberang sana, kupikir itu pastilah telepon dari Kepala Sekolah.

"Maaf anak-anak, sisa jam ini kalian harus belajar sendiri. Ibu ada rapat mendadak dengan Pak Kepala Sekolah dan guru-guru lainnya. Kalian harap berdiskusi lembar kerja 6 dengan teman sebangku. Ah... tidak, supaya kalian bisa akrab, kali ini kalian harus berdiskusi dengan teman yang duduk di depan/ di belakang bangku kalian. Ingat ya, jangan berisik selama Ibu tinggal!", pesan Bu Jia.

"Baik, Bu", ujar kami serempak dengan kepatuhan yang tidak disangka-sangka. Bu Jia bahkan sempat tersenyum sebelum menutup pintu di belakangnya. Mungkin agak terkejut dengan kepatuhan dan kekompakan kami?

Tak lama kemudian semua siswa dengan patuh mulai membalik posisi kursi mereka supaya lebih leluasa berdiskusi dengan teman di belakang/ di depan mereka. Dan di sinilah aku... tengah berhadap-hadapan dengan Aga. Tari sendiri, teman sebangkuku, berhadap-hadapan dengan Zain.

Tak terasa, 30 menit telah berlalu... aku dan Aga telah selesai berdiskusi. Kami menghabiskan 15 menit terakhir untuk bergantian menuliskan jawaban kami pada selembar kertas. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Putra tengah bertengkar dengan Ana, mungkin adu argumen. Tari dan Zain tampak sangat canggung, jadi kukira mereka masih belum akrab meskipun telah berada di kelas yang sama selama 4 tahun belakangan. Yah, kupikir belum ada anak lain yang selesai selain kami, jadi pastilah kami yang pertama menyelesaikan tugas ini. Kenyataan itu membuatku sedikit puas tanpa sebab yang jelas. Aku tersenyum tanpa sadar.

"Ngapain senyam-senyum, Rin?", tanya Aga usil.

"Eh, nggak... cuma seneng aja karena udah selesai ngerjain lebih dulu daripada yang lain", ujarku kelewat jujur. Sontak saja aku merasakan lirikan tajam dari Tari dan Zain yang berada di dekat kami.

Aga malah menahan tawa, mungkin geli melihat tingkahku yang kelewat jujur atau malah heran melihat tingkah kedua teman kami yang entah kenapa hari ini menjadi super sensitif. Atau keduanya? Ah, entahlah... yang jelas, aku bersyukur karena sekarang Tari dan Zain telah kembali sibuk kepada diskusi mereka yang tadi sempat tertunda karena celetukanku. Meskipun ya... bagiku mereka masih saja tampak canggung.

"Rin, kalau jantung itu selalu berdetak kan, ya?", celetuk Aga tiba-tiba, sukses membuyarkan lamunanku yang baru saja hampir tiba di pulau awan terbang.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mengernyit sebentar, mengangkat sebelah alis, dan menjawab, "Tentu saja!", ujarku tak habis pikir. Mengapa Aga menanyakan hal dasar seperti ini? Hanya saja, ini... tidak seperti dirinya! Bukankah kami baru saja selesai mendiskusikan aliran jantung dari serambi, bilik, dan sebagainya? Maksudku, tentu saja jantung kita selalu berdetak selama kita masih hidup, kan?

"Ada apa memangnya? Ini tidak seperti dirimu tiba-tiba menanyakan hal yang sudah sangat jelas begini", tanyaku tak habis pikir.

"Begitu, kan? Seharusnya kita bisa merasakan detak jantung kita sendiri, kan?", pada tingkat ini Aga mulai terdengar cemas.

"Memangnya ada masalah apa? Apa kau tidak bisa merasakan detak jantungmu sendiri?", aku bertanya cemas karena Aga tiba-tiba hanya diam ketika memegangi dadanya.

"Apa kau merasa tidak enak badan? Apa aku perlu mengantarmu ke UKS?", ujarku semakin panik karena ia tak kunjung menjawab dan hanya menunduk diam. Ada apa sebenarnya dengan Aga? Perasaan semenit yang lalu ia masih baik-baik saja.

"A-ga?", aku mengguncang bahunya pelan. Takut kalau-kalau ia mungkin akan pingsan di tempat. Tapi, tiba-tiba saja Aga tahu-tahu sudah mendongak dan berkata, "Apa aku sudah mati?", dengan wajah pucat yang dibayangi rasa takut. Wajahku pias karena cemas.

"Kau gila? Tentu saja tidak!", ujarku agak terlalu keras daripada yang kumaksudkan. Tapi sepertinya tidak cukup keras untuk menarik perhatian seisi kelas. Hanya Tari dan Zain saja yang sempat menoleh sebentar ke arah kami.

"Lalu, mengapa... aku tidak bisa merasakan detak jantungku sendiri?", Aga seperti mematung dan setengah melamun ketika mengatakannya. Ini benar-benar tidak seperti dirinya! Mungkin kalau aku yang melamun tanpa sadar, aku masih bisa memakluminya, tapi masalahnya... ini adalah Aga! Seorang Aga!

"Omong kosong! Itu tidak mungkin!", ujarku bertambah panik.

"Kalau kau tidak percaya, coba kau rasakan sendiri", ujarnya semakin pucat.

Lalu, tanpa membuang waktu sedetikpun, tanpa mengindahkan persetujuanku, tahu-tahu saja Aga telah menarik tangan kananku ke dadanya.

Lho? Kenapa tidak berdetak?

Wajahku semakin pias dan parahnya, wajah Aga kini tampak seperti orang yang siap untuk pingsan kapan saja. Tapi, tunggu... berpikir, Rin... berpikir....

Ah! Tiba-tiba saja aku seperti mendapatkan pencerahan. Tentu saja tidak berdetak, ia meletakkannya di sisi yang salah! Mungkin karena terlalu panik? Aku tidak percaya ada kalanya seorang Aga yang kukenal bisa menjadi ceroboh seperti ini.

Segera saja setelah aku menggeser posisi tanganku ke dada sebelah kirinya, aku mulai bisa merasakan jantungnya berdetak... DUG... DUG... DUG... DUG.... Mulanya denyutnya terdengar teratur, tapi ketika tangan Aga mulai menindih tanganku yang masih memegang dadanya, ritme denyutnya mulai menjadi tidak beraturan dan semakin cepat. Atau mungkin itu denyut jantungku sendiri? Ah, aku pasti mulai berdelusi karena semua kepanikan yang tiba-tiba ini! Iya, pasti begitu!

Tiba-tiba Aga mendongakkan kepala dan aku menatap tepat ke dalam matanya. Untuk sesaat, aku seperti merasakan kerinduan dan... kehangatan? Eh?

"Hah...", tanpa sadar kami berdua sama-sama mendesah penuh kelegaan. Tapi, mengapa tiba-tiba seisi kelas mendadak hening, ya? Bukankah beberapa saat yang lalu sepertinya tidak setentram ini? Kenapa aku tidak mendengar suara gaduh yang dibuat Aji beberapa waktu yang lalu?

Aku dan Aga sama-sama menelan ludah. Dengan posisi duduk kami yang seperti ini, tanganku yang masih terjulur ke dadanya, dan tangan Aga yang menindih tangan kananku... sepertinya kami sama-sama bisa merasakan tatapan menyelidik seluruh kelas tanpa perlu mengedarkan pandangan sekalipun. Lewat sudut mata pun aku masih bisa merasakannya!

"Ehm... sedang apa kalian?", tanya Zain tanpa tendeng aling-aling, memecah suasana hening yang rasanya setipis es itu.

"Ah!", ujar kami bersamaan, seakan kalimat Zain barusan telah mengembalikan kami ke waktu sekarang. Aku menarik tanganku dengan agak canggung. Begitu pula Aga yang tiba-tiba saja telah salah tingkah di depanku.

"Eh! Em... itu... tadi kami hanya menguji apakah jantungku masih berdetak!", ujar Aga di tengah kepanikan yang jarang sekali ia perlihatkan.

"I-iya! Iya... iya... tadi kami hanya menghitung detak jantung seperti yang dilakukan dokter-dokter di rumah sakit", ujarku menimpali dalam kepanikan dan kecanggungan yang semakin menjadi-jadi. Di tengah semua tatapan dan keheningan yang aneh ini, siapa sih... yang masih bisa tenang dan berpikir jernih? 'Oh, ayolah! Yang benar saja!', batinku frustrasi. Pasti akan terasa lebih aneh lagi kalau kami bersikap seolah biasa saja di situasi ini dan melanjutkan aktivitas selanjutnya. Kan?

"Cie... cie...", sontak kami mendengar riuh rendah teriakan seisi kelas yang tadinya begitu hening. Tapi, aneh... di antara semuanya, aku tidak mendengar suara Putra yang biasanya paling heboh jika ada hal-hal semacam ini. Atau mungkin, ini hanya perasaanku saja? Ah, entahlah... aku tidak tahu lagi! Hari itu... baik wajahku maupun wajah Aga pastilah nampak bagaikan kepiting rebus yang kepanasan. Atau meminjam istilah dari Tari, merah-padam.

Dan teriakan-terikan itu pun akhirnya berhasil reda dengan kedatangan Bu Jia yang tergopoh-gopoh dari arah kantor guru.

Pangeran Senyum dan Gadis PemimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang