Lima tahun lalu...
"Lagi apa?"
Suara itu...
"Aga?", tanya Airin heran, setengah terkejut mendapati Aga tengah berjongkok di sampingnya.
"Lagi apa?", ujar Aga mengulangi pertanyaannya.
"Kamu... ngapain di sini?", ujar Airin balik bertanya.
Aga memutar bola matanya sekali sebelum akhirnya menjawab, "Bertanya padamu apa yang tengah kau lakukan di sini?", ujarnya sedikit kesal.
"Eh... aku sedang mengikuti semut dari lapangan dan... oh, bagaimana aku bisa berakhir di sini?", ujar Airin setengah ngeri, setengah heran pada dirinya sendiri.
"Semut? Setelah hama dan tanaman, sekarang semut?", tanya Aga hampir-hampir tak percaya.
"He... he... he... ", Airin tertawa karena teringat tingkahnya beberapa hari yang lalu.
Waktu itu, kalau saja Aga tidak datang dan menyadarkannya, ia pasti akan terlambat masuk ke kelas saat tengah asyik mengamati tanaman.
"Terima kasih ya, buat yang waktu itu...", ujar Airin kikuk, malu pada tingkahnya sendiri.
"Iya, sama-sama", ujarnya.
Aga lalu mengacak pelan rambut Airin dan berkata, "Kau ini... benar-benar...", ragu-ragu ia menyelesaikan ucapannya.
"Aneh?", Airin mencoba membantu Aga menyelesaikan kalimatnya yang masih menggantung.
"Bukan, kau tidak aneh... hanya saja, unik", ujar Aga akhirnya.
"U... unik?", ujar Airin yang setengah tidak percaya pada ucapan Aga barusan. Mungkin ia hanya salah dengar tadi.
"Iya, kau itu... unik. Makanya, kau memang cocok menjadi temanku", ujar Aga kemudian.
"Eh...?", hanya itu yang bisa keluar dari mulut Airin saat itu.Oke, sekarang apa lagi ini?
Airin menggeleng-gelengkan kepalanya untuk membuat dirinya tersadar kembali. Yang tadi itu... apa? Deja vu...?Kembali lagi ke waktu sekarang...
"Oke, KTI untuk lomba LKIR saja belum selesai, sekarang kau harus jadi pemakalah novel dalam seminar sastra dan masih punya waktu untuk melamun? Airin, aku tidak percaya kau memang pandai untuk membuat dirimu selalu sibuk!", ujar Airin setengah menyesal pada dirinya sendiri.
Selain menyelesaikan KTI yang sangat ia gemari, ia juga harus menyelesaikan makalah kerena ia suka berbicara di depan banyak orang dan menjadi pemakalah dalam sebuah seminar? Oh, ayolah... di waktu yang hampir bersamaan pula? Sadarlah, Rin!
Airin menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat dirinya kembali tersadar untuk kesekian kalinya hari ini. 'Setidaknya aku telah belajar bagaimana caranya untuk kembali ke dunia nyata tanpa harus disadarkan oleh... seseorang', ujar Airin dalam hati.Airin masih sibuk bercakap-cakap dengan dirinya saat...
"Lagi apa?", ujar seseorang.
'Suara itu... lagi? Apa kali ini nyata? Atau jangan-jangan... aku masih terjebak di alam imajinasiku sendiri?', tanya Airin dalam hati.
Airin akhirnya menoleh untuk memastikan dan malah membelalakkan matanya tak percaya.
"Aga?", tanya Airin heran, terkejut mendapati Aga yang asli tengah duduk di sampingnya. Sejak kapan... dia ada di sini? Jangan bilang dia...
"Lagi apa?", ujar Aga mengulangi pertanyaannya.
Oh, oke... dia baru tiba rupanya.
"Kamu... ngapain di sini?", ujar Airin balik bertanya.
'Lho, kenapa aku harus balik bertanya seperti waktu itu?', rutuknya dalam hati.
Aga memutar bola matanya sekali sebelum akhirnya menjawab, "Bertanya padamu apa yang tengah kau lakukan di sini?", ujarnya sedikit kesal, seperti waktu itu.
"Eh... aku sedang membuat makalah dan... oh... KTI juga. Itulah bagaimana aku bisa berakhir di sini", ujar Airin, tidak lagi sengeri waktu itu ketika ia terkejut mendapati dirinya sendiri.
"Makalah... seminar?", tebak Aga.
"Iya", jawab Airin singkat.
"Setelah hama, tanaman, dan semut... sekarang makalah dan KTI?", tanya Aga hampir-hampir tak percaya.
"He... he... he...", Airin tertawa karena teringat tingkahnya dulu. Waktu itu, kalau saja Aga tidak datang dan menyadarkannya, ia pasti akan terlambat masuk ke kelas saat tengah asyik mengamati tanaman.
Lho, deja vu?
'Terima kasih, buat yang waktu itu...', ujar Airin kikuk, malu pada tingkahnya sendiri. Kata-katanya dulu kini kembali terngiang di benaknya. Airin kembali sadar dari lamunannya saat Aga kembali berkata, "Kau ini... benar-benar...", Aga lagi-lagi ragu menyelesaikan ucapannya.
"Unik?", Airin kembali mencoba membantu Aga menyelesaikan kalimatnya yang masih menggantung.
"O-oh kau masih ingat rupanya. Iya, kau tidak aneh... hanya saja, unik", ujar Aga akhirnya.Untuk sesaat, tidak ada yang bicara di beranda perpustakaan itu. Hanya kicau burung pipit yang memecah suasana lengang yang tercipta di antara keduanya. Mereka berdua... sama-sama terkenang akan peristiwa yang telah terjadi beberapa tahun yang lalu.
"U... unik, ya?", ujar Airin memecah keheningan itu, masih setengah tidak percaya pada ucapan Aga barusan. Tapi, tidak mungkin ia hanya salah dengar kali ini.
"Iya, kau itu... unik. Makanya, kau memang cocok menjadi temanku", ujar Aga melanjutkan ucapannya, persis sama seperti waktu itu.
"Eh...?", hanya itu pula yang bisa keluar dari mulut Airin saat ini. Beberapa hal memang tidak bisa berubah dengan mudah seperti dugaannya. Dia masih ingat? Oke, sekarang apa lagi ini?
Airin menggelengkan kepalanya untuk membuat dirinya kembali tersadar.
"Kau... sedikit berubah, ya?", ujar Aga berusaha mencairkan suasana yang kembali hening.
"Sedikit?", tanya Airin heran.
"Iya, beberapa hal memang sudah berubah, tapi aku masih bisa mengenali bagian dirimu yang dulu", Aga menjelaskan tanpa berani menatap mata Airin.
"Kau juga... sedikit... tidak, maksudku...", ujar Airin menggantung begitu saja.
"Aku banyak berubah, ya?", Aga mencoba membantu Airin menyelesaikan kalimatnya yang masih menggantung. Airin mengangguk, kemudian menggeleng.
"Hm...?", Aga mengernyit heran, tidak mengerti.
"Iya, aku tidak bisa menyangkal bahwa kau memang sudah banyak berubah... tapi, aku juga masih bisa mengenali bagian dirimu yang dulu", Airin menjelaskan tanpa berani menatap mata Aga.
'Sebenarnya, ada apa dengan hari ini?', pikir Airin dalam hati.
Tidak ada dari keduanya yang menyadari kehadiran Ro saat itu. Bahkan, Ro sendiri tidak ingin percaya kalau dia ada di situ saat itu dan melihat semuanya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Senyum dan Gadis Pemimpi
RomansaAku hanyalah setangkai gulma... bagimu. Kau terlalu indah untuk kugapai. Harapan yang melambung ini serasa tak berbentuk dan terus menghantuiku. Bahkan hingga kini, kau masih sering datang mengunjungiku dalam kesendirian yang menjemukan. Aku ingat t...