The Signal Man[3]

31 3 0
                                    

Kuakui memang hanya itu saja yang kukatakan. Aku mengucapkannya karena aku melihatmu di bawah.”

“Tidak ada alasan lain?”

“Alasan lain seperti apa?”

“Kau tidak merasa bahwa kata-kata itu kau lontarkan dengan cara supranatural?”

“Tidak.”

Dia mengucapkan selamat malam padaku dan menaikkan senternya. Aku berjalan menelusuri rel (dengan perasaan tidak nyaman karena membayangkan ada kereta yang datang dari belakangku) sampai aku menemukan jalan semula. Ternyata lebih mudah mendaki daripada menuruni. Akhirnya aku pulang ke penginapan dan sampai dengan selamat.

Dengan bersikap tepat waktu, aku sudah menapakkan kaki di atas jalan menurun yang berliku-liku saat jam di tanganku menunjukkan hampir pukul sebelas. Dia sedang menungguku di bawah dengan senter di tangannya. “Aku belum memanggilmu,” ucapku ketika kami sudah dekat; “Boleh aku bicara sekarang?” “Silahkan, sir.” “Kalau begitu, selamat malam, dan ini tanganku.” “Selamat malam, sir, dan ini tanganku.” Setelah itu kami berjalan berdampingan ke posnya, masuk, menutup pintu, lalu duduk di dekat perapian.

“Aku sudah memutuskan, sir,” ujarnya dengan membungkukkan badan ke arahku saat kami baru duduk, dan dia berbicara dengan nada yang sedikit lebih keras daripada bisikan, “bahwa aku harus mengatakan apa yang membuatku resah sekarang juga. Kemarin malam aku mengira kau seseorang yang kukenal. Itulah yang meresahkanku.”

“Salah orang?”

“Orang lain.”

“Siapa?”

“Entahlah.”

“Mirip denganku?”

“Aku tidak tahu. Aku tidak pernah melihat wajahnya. Tangan kirinya menutup mata, dan tangan kanannya melambai dengan kencang. Seperti ini.”

Kulihat dia menirukannya, dan itu tampak seperti orang yang menggunakan gerakan tangan ketika sedang berbicara dengan sangat berapi-api, “Ya Tuhan, minggir!”

“Suatu malam, ketika rembulan bersinar,” ucapnya, “aku sedang duduk di sini, lalu mendengar sebuah teriakan, ‘Hei! Yang di bawah sana!’ Aku pun bangkit dengan terkejut, menengok dari pintu, dan melihat Orang Lain ini sedang berdiri di samping lampu merah dekat terowongan dan melambai seperti yang kutirukan tadi. Suaranya parau karena berteriak kencang, dan dia terus berteriak, ‘Awas! Awas!’ kemudian, ‘Hei! Yang di bawah sana! Awas!’ Aku raih senterku, menyalakan lampu merahnya, dan berlari ke arahnya sambil memanggil, ‘Ada apa? Apa yang terjadi? Di mana?’ Dia tetap berdiri di luar kegelapan terowongan. Aku berlari sampai sangat dekat dengannya dan melihat dia menutup mata dengan lengannya. Aku mendekat dan saat aku hendak menyingkirkan lengannya, dia menghilang.”

“Ke dalam terowongan?” tanyaku.

“Tidak. Aku terus berlari ke dalam terowongan sampai lima ratus yard. Aku berhenti, dan menaikkan senterku setinggi kepala, dan melihat sosoknya telah berada di kejauhan, lalu aku melihat ada rembesan air menetes dari langit-langit terowongan. Aku pun berlari lagi dengan sangat kencang (karena aku ketakutan setengah mati dengan tempat itu), dan aku memeriksa sekitar lampu merah dengan lampu merahku, lalu memanjat tangga besi ke bagian atas, kemudian turun kembali, dan berlari pulang kemari. Aku mengirim telegram ke kedua jalur, ‘Aku menerima tanda peringatan. Apa ada masalah?’ Jawaban pun datang dari kedua jalur, ‘Semua baik-baik saja.’”

Sambil berusaha keras melawan sensasi dingin yang merasuk sampai ke tulang sum-sumku, aku katakan padanya bahwa sosok orang itu pasti hanyalah halusinasi dari indera penglihatannya; dan bahwa sosok itu hanyalah hasil dari sebuah penyakit saraf yang merusak fungsi mata, dan telah ditemukan di beberapa pasien yang beberapanya sadar dengan penyakitnya itu dan telah membuktikannya dengan melakukan percobaan dengan diri mereka sendiri. “Sedangkan tentang halusinasi teriakan,” jelasku, “coba dengarkan suara angin di bukit aneh ini barang sebentar, mungkin itu hanyalah suara aingin yang membentur kabel telegraf.”

Horor Thriller Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang